TUGAS BAHASA IBDONESIA
UPACARA PANEN JAGUNG DI DAERAH LAKANSAI Buton Utara
OLEH
OKI RAHMAN
M1A116160
KELAS D
JURUSAN EHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINHGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaiakan karya ilmiah yang berjudul “Upacara Panen Jagung”. Meskipun banyak hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaannya, tapi penulis berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Upacara panen jagung merupakan suatu upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat suku Buton pada saat sebelum memanen. Upacara ini dilaksanakan sebagai ucapan syukur dan terima kasih kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) dan Empo (para leluhur) atas segala penyertaan dalam segala usaha masyarakat khususnya di bidang pertanian dan perkebunan, sehingga jagung siap untuk dipanen.
Setiap upacara adat yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat lakansai khususnya masyarakat suku Buton, disiapkan bahan haroa, merupakan sebuah simbol penghargaan kepada Tuhan Sang Pencipta dan para leluhur yang tidak kelihatan wujudnya.
Dalam upacara panen jagung, terkandung salah satu nilai yang sangat penting yakni menghargai Sang Pencipta, leluhur dan sesama. Sebagai salah satu anggota dari masyarakat suku Buton dan pewaris kebudayaan tersebut, maka penulis menghargai campur tangan orang-orang dalam penyelesaian makalah ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih .
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kendari, Desember 2016
OKI RAHMAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI .....................................................................................................……..ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... . 1
I.I.Latar Belakang.............................................................................................. 1
I.2 Rumusan masaala…………………………………………………………..2
I.3.Tujuan Penulisan ..........................................................................................2
I.4. Manfaat penulisan ………………………………………………………...2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... …4
2.I. Proses pelaksanan panen jagung ………………………………………...4 2.2. Nilai –nilai yang terkandung dalam upacara panen jagung …………….6 2.3. Akhir upacara……………………………………………………………..8
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………...9
3.I. Kesimpulan ………………………………………………………………9 3.2. Saran …………………………………………………………………….10
3.3. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..11
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyaraka Lakansai merupakan masyarakat agraris, hal ini ditandai dengan kehidupan masyarakat yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan bertani dan berkebun. Sehingga tidak heran kalau daerah Lakansai terkenal dengan hasil-hasil pertanian dan perkebunan seperti jagung, , cengkeh, jambu mente dan sebagainya. Selain bertani dan berkebun, masyarakat Lakansai juga hidup beternak. Hewan ternak tersebut antara lain ayam, kambing, sapi dan sebagainya.
Tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Lakansai yang hidup dengan bercocok tanam, maka dikenal upacara-upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai, diantaranya: upacara adat lingko (upacara untuk membuka kebun baru), upacara nongko gejur (upacara yang dilaksanakan sebelum memanen) dan upacara penti (upacara/syukuran kepada Mori Jari Dedek/Tuhan Sang Pencipta dan arwah para leluhur).
Corak religius masyarakat Lakansai tetap terkait erat dengan norma dan jenis upacara adat serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Upacara-upacara adat yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai merupakan rangkaian kehidupan atau bagian dari kehidupan masyarakat; karenanya semua upacara itu selain sebagai upacara-upacara adat tetapi juga berfungsi sebagai pendidikan masyarakat, karena upacara-upacara yang dimaksud diharapkan dapat dilakukan secara turun-temurun.
Salah satu warisan leluhur yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Manggarai adalah upacara adat nongko gejur. Upacara nongko gejur merupakan sebuah upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai untuk mensyukuri atas segala berkat yang telah diberikan Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) atas tanaman Jagung yang telah siap untuk di panen, sehingga telah tiba saatnya untuk memetik hasil-hasil pertanian tersebut.
Seiring perkembangan zaman, tanda-tanda erosi cenderung muncul karena nilai-nilai itu harus mampu mereplikasi perubahan, jika tidak beberapa sub sistem nilai-nilai itu akan beradaptasi dengan perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena kehidupan manusia sangat dipengaruhi lingkungan. Sebagai contoh adalah sebagai berikut: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mulai mempengaruhi pola pikir masyarakat Lakansai; di mana semakin suburnya nilai egoisme diri atau kelompok tertentu sehingga merenggangnya nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Lakansaii khususnya masyarakat suku Butondi Desa Lakansai Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Demikian pula halnya dalam upacara adat nongko gejur, masyarakat jarang melaksanakan upacara tersebut, sehingga tidaklah heran jika upacara adat nongko gejur dari generasi ke generasi jarang dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai khususnya masyarakat Suku Buton di Desa Lakansai Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian tentang pelaksanaan upacara nongko gejur dalam kehidupan masyarakat suku Buton di Desa Lakansai Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah proses pelaksanaan upacara nongko gejur dalam kehidupan masyarakat suku Buton di Desa Lakansai Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara?
2. Nilai-nilai apakah yang terkandung dalam upacara nongko gejur?
3. Bagaimanakah Akhir Upacara nongko gejur?
1.3. Tujuan penulisan
Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan upacara nongko gejur dalam kehidupan masyarakat suku Buton di Desa Lakansai Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
b. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam upacara nongko gejur.
c. Untuk mengetahui akhir dari upacara nongko gejur.
1.4. Manfaat penulisan
a. Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lakansai Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Penentuan lokasi ini atas pertimbangan bahwa di Desa Lakansai biasa dilaksanakan upacara nongko gejur dan secara sosial maupun budaya, peneliti mengenal masyarakat setempat. Dengan demikian maka sangat memudahkan peneliti dalam memperoleh data yang sesuai dengan masalah penelitian.
b. Penentuan Informan.
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang kondisi latar penelitian, jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian (Moleong,2008:90). Dalam penelitian ini, penentuan informan dilakukan dengan cara snowball sampling yaitu peneliti menentukan informan kunci untuk diwawancarai, dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih berusia 50 tahun ke atas, memiliki pengetahuan atau pengalaman tentang upacara, sehat jasmani dan rohani, serta dapat dipercayai karena memberikan data yang obyektif. Selanjutnya peneliti mewawancara informan berikutnya atas petunjuk dari informan pertama. Oleh karena itu yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah tua adat pada suku Buton di Desa Buton Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara.
c. Sumber Data
Ada dua (2) sumber data dalam penulisan ini, yaitu :
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung dari sumbernya tanpa perantara atau juga dapat dikatakan sebagai data yang diperoleh dari kesaksian seseorang dengan mata kepala sendiri sebagai orang yang mengetahui tentang obyek dan masalah penulisan (Margono, 2005). Dalam penelitian ini, data diperoleh dari informan (sumber data primer) melalui proses wawancara. Data yang diambil langsung dari sumbernya adalah tentang pelaksanaan, pelaku, perlengkapan, atribut yang digunakan serta nilai-nilai dari upacara nongko gejur.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari siapapun yang bukan merupakan saksi yang terlibat yakni yang dapat memberikan keterangan atau data pelengkap sebagai bahan pembanding (Margono, 2005). Selain data yang diperoleh langsung dari sumbernya, peneliti juga menggunakan kepustakaan sebagai bahan acuan tentang teori maupun informasi yang relevan dengan pelaksanaan upacara nongko gejur.
d. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara (interview) adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula (Margono,2005:165). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu jenis wawancara yaitu wawancara berstruktur. Di mana peneliti memberikan pertanyaan kepada informan dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang telah disediakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan masalah penelitian. Untuk memudahkan peneliti dalam proses wawancara, maka disiapkan alat bantu berupa alat tulis dan buku catatan.
b. Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian (Margono,2005:158). Obyek yang diteliti meliputi pelaksanaan upacara nongko gejur, pelaku, perlengkapan, serta atribut yang digunakan dalam pelaksanaan upacara nongko gejur. Teknik observasi dilakukan dengan cara mencatat masalah yang dilihat, diungkapkan dan didengar oleh peneliti selama berada di lokasi penelitian.
e. Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono (2008:335), analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan, sehingga mudah dipahami oleh penulis maupun orang lain. Hasil analisis akan dideskripsikan secara naratif tetapi tetap memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah seperti rasional, obyektif, sistematis dan komfrehensif.
Setelah proses wawancara dan observasi dilaksanakan, data tersebut digabungkan dan dipilah data yang diperlukan. Setelah proses tersebut, peneliti kembali kepada informan untuk mereduksi data. Data yang telah direduksi tersebut merupakan data mentah yang kemudian disusun kembali sesuai dengan struktur bahasa Indonesia yang baik dan benar, setelah itu peneliti membuat laporan hasil penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Proses Pelaksanaan Upacara Nongko Gejur.
Arti Upacara Nongko Gejur.
Upacara nongko gejur merupakan suatu upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton pada saat Jagung mau mengetam atau akan dipanen. Upacara nongko gejur ini dilaksanakan sebagai tanda terima kasih kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) atas segala sesuatu yang telah diberikan-Nya, khususnya hasil jerih payah masyarakat di bidang pertanian maupun perkebunan dan juga sebagai ucapan terima kasih atas kesehatan bagi orang-orang yang merawat tanaman tersebut (Borgias Bero, 65: 11 Mei 2011, tokoh masyarakat).
Menurut Daniel Tunti (51: 13 Mei 2011, masyarakat biasa), upacara nongko gejur oleh masyarakat suku Buton harus dilaksanakan, apabila upacara ini tidak dilaksanakan maka dipercaya bahwa akan ditimpa mala petaka seperti penyakit. Dalam upacara nongko gejur, masyarakat memberikan sesajian kepada arwah para leluhur. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat Lakansai, khususnya masyarakat suku Buton menyembah berhala, tetapi dipercaya oleh masyarakat suku buton bahwa arwah para leluhur atau orang-orang yang telah meninggal yang tempatnya paling dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu, masyarakat suku Buton berdoa dan menyiapkan sesajian kepada Tuhan melalui para leluhur sebelum mengerjakan kebun atau dengan kata lain masyarakat suku Buton menyampaikan ujud atau permohonan mereka kepada Tuhan melalui perantara para leluhur atau orang-orang yang telah meninggal.
Menurut Yoseph Bang (69: 15 Mei 2011, tua adat), masyarakat suku Buton memberi sesajian kepada Tuhan melalui para leluhur karena ingin agar semua doa, permohonan dan permintaan mereka didengar oleh Tuhan; maksudnya adalah semua doa yang disampaikan oleh masyarakat suku Buton itu menggunakan bahasa adat, sehingga para arwah leluhurlah yang dipercaya berada di dekat Tuhan yang menterjemahkan doa-doa tersebut.
Dari pemaparan di atas tentang pemberian sesajian, maka dapat ditarik suatu benang merah tentang upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat suku buton yakni
Sejarah Upacara Nongko Gejur.
Menurut Tadeus Ragang (57: 17 Mei 2011, tokoh masyarakat), meyangkut sejarah upacara nongko gejur itu tidak ada pembatasan waktu yang pasti. Tetapi masyarakat suku Buton yakin dan tahu bahwa upacara nongko gejur ini sudah ada sejak masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton mengenal tentang cara bercocok tanam. Jadi oleh para leluhur masyarakat sukuButon, upacara nongko gejur telah dilaksanakan secara turun temurun.
Alasan yang mendasar sehingga tidak diketahui secara pasti tentang sejarah upacara nongko gejur yakni: sebelum manusia mengenal sistem perhitungan waktu yang pasti dan teknologi seperti jam, kalender, dan lain-lain, maka untuk memulai suatu kegiatan hanya mengandalkan atau berpatokan pada gejala-gejala alam. Sebagai contoh: nenek moyang masyarakat Lakansai biasanya akan memulai kegiatan menanam tergantung pada peristiwa terjadinya bulan sabit. Sedangkan zaman sekarang, peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh manusia dapat didokumentasi dan diarsipkan.
Upacara nongko gejur diwariskan oleh para leluhur masyarakat suku Buton, sehingga biasa dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai, khususnya masyarakat suku Buton secara turun temurun hingga sekarang. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa upacara nongko gejur selain sebagai suatu upacara melainkan juga sebagai pendidikan masyarat.
3. Tujuan Dilaksanakannya Upacara Nongko Gejur.
Upacara nongko gejur merupakan budaya asli masyarakat Lakani khususnya masyarakat suku Buton yang memiliki tujuan pertama dan terutama yakni tujuan religius, karena tujuan tersebut berkaitan dengan penyembahan dan penghormatan terhadap Tuhan Sang Pencipta (Mori Jari Dedek), roh leluhur (ende agu ma), dan roh alam (ata pele sina), yang diyakini sebagai kekuatan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan dan kebertahanan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat.
Apabila kita mencermati doa (tudak) dalam pelaksanaan upacara nongko gejur, maka akan tampak dua tujuan yang saling terkait dengan kebudayaan masyarakat Lakamsai khususnya masyarakat suku Buton sebagai kebudayaan induknya. Tujuan pertama adalah menyampaikan ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemilik alam semesta, roh leluhur, dan roh alam, atas segala berkat, rahmat, dan perlindungan yang sudah diberikan tersebut selama musim sebelumnya. Tujuan kedua adalah memohon kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar pada musim tanam yang akan datang, selalu diberi berkat, rahmat, dan perlindungan berupa kesejahteraan jiwani dan ragawi yang baik.
4. Sasaran Upacara Nongko Gejur.
Sesuai dengan beberapa tujuan yang dijelaskan di atas, sasaran yang ingin dicapai melalui pelaksanaan upacara nongko gejur adalah sebagai berikut: (1) Pemulihan dan mempertahankan hubungan dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar tetap selaras demi pencapaian kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat; (2) Pemulihan dan mempertahankan hubungan sosial kemasyarakatan yang selaras, yang nampak dari sikap dan perilaku verbal dan nonverbal yang mereka tampilkan setiap hari terhadap sesama.
Terkait dengan sasaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa upacara nongko gejur merupakan penghubung atau perantara dalam realitas sosial budaya masyarakat Lakansai khususnya masyarakat sukuButon, baik hubungannya dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam maupun hubungannya dengan sesama manusia.
5. Pelaksanaan Upacara Nongko Gejur.
Dalam pelaksanaannya, upacara nongko gejur dibagi ke dalam beberapa tahapan antara lain:
a.Tahap Persiapan
Sebelum upacara nongko gejur dilaksanakan, maka ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh masyarakat, diantaranya:
1.musyawarah
Dalam kehidupan masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton, sebelum melaksanakan suatu upacara adat yang melibatkan seluruh warga kampung atau suku, maka perlu dilaksanakan musyawarah untuk menyukseskan upacara adat tersebut.
Musyawarah adat pada masyarakat suku Buton biasanya dipimpin oleh Tua Tembong (orang yang menguasai suatu wilayah pegunungan) dan diikuti oleh Tua Teno (orang yang memiliki peran dalam upacara yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan) serta seluruh warga kampung atau suku. Dalam musyawarah tersebut, biasanya hal-hal yang disepakati antara lain: menentukan pemimpin upacara, dan persembahan lainnya yang dibutuhkan.
2. Persiapan Persembahan Lainnya
Dalam upacara nongko gejur disiapkan juga sesajian seperti sirih pinang dan sebutir telur ayam kampung. Sesajian ini ditujukan atau dipersembahkan khusus kepada arwah para leluhur dengan tujuan mengundang para leluhur untuk bersama-sama hadir dalam upacara adat yang akan dilaksanakan oleh warga. Sirih pinang biasanya dikonsumsi oleh orang tua masyarakat Lakansai,sehingga digunakan sebagai suatu bentuk sapaan sebelum menyampaikan permohonan. Sedangkan telur ayam kampung digunakan sebagai pengganti tuak dan juga merupakan suatu bentuk sapaan sebelum menyampaikan permohonan. Dengan demikian sirih pinang dan telur ayam kampung berfungsi sebagai perantara komunikasi antara manusia dan arwah para leluhur.
b. Tahap Pelaksanaan
Upacara nongko gejur merupakan suatu upacara yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton pada saat Jagung mau mengetam atau akan dipanen. Upacara nongko gejur ini dilaksanakan sebagai tanda terima kasih kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) atas segala sesuatu yang telah diberikan-Nya, khususnya hasil jerih payah masyarakat di bidang pertanian maupun perkebunan dan juga sebagai ucapan terima kasih atas kesehatan bagi orang-orang yang merawat tanaman tersebut.
2.2. Nilai-nilai Yang Terkandung Dalam Upacara Nongko Gejur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, maka penulis mengemukakan beberapa nilai yang terkandung dalam upacara nongko gejur, yakni antara lain sebagai berikut:
1 Nilai Gotong Royong
Dalam hal menyelesaikan suatu pekerjaan seperti dalam mengelola lahan pertanian maupun perkebunan, masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton melakukannya secara bergotong royong sehingga mempermudah dalam penyelesaian sebuah pekerjaan. Nilai gotong royong ini telah tertanam kuat dalam diri masyarakat suku kolang karena dipandang sebagai suatu yang baik dan mempunyai arti atau nilai yang bermanfaat.
2 Nilai Spiritual.
Spiritual merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh dan timbul dari spirit (semangat) atau roh (gaya elastisitas hidup). Spiritual dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh rasio (akal dan imajinasi daya akal). Masyarakat suku Buton percaya akan adanya Tuhan (Mori’n) yang menciptakan dan memberikan kesejukan dan ketenangan serta memelihara dan menumbuhkan. Tempatnya tinggi jauh di atas langit. Tuhan digambarkan sebagai pusat matahari dan bulan sehingga disebut Mori’n Ata Jari Dedek (Tuhan Sang pencipta). Masyarakat suku Buton juga mempercayai arwah para leluhur dan orang yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa orang-orang yang telah meninggallah yang tempatnya lebih dekat dengan Tuhan, sehingga masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton melaksanakan upacara dan memberikan sesajian kepada para leluhur. Bukan berarti bahwa masyarakat Laansai khususnya masyarakat suku Buton menyembah berhala, melainkan mereka menyampaikan sujud atau permohonan kepada Tuhan melalui para leluhur dan orang yang telah meninggal yang tempatnya lebih dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain para leluhur diminta tolong sebagai perantara untuk menyampaikan ujud permohonan kepada Tuhan (mediator). Upacara nongko gejur memiliki ketaatan dan kesetiaan terhadap para leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tergambar dalam persembahan atau sesajian sebagai wujud hasil alam dan hasil bumi yang telah diperoleh. Selanjutnya upacara nongko gejur dilaksanakan sebagai wujud kewajiban moral yang wajib dijalankan karena melalui upacara tersebut, kehidupan sosial masyarakat dapat terjalin antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya.
mengungkapkan:“Tuhan Sang Pencipta, tanah di bawah, langit di atas, terbit di Timur, terbenam di Barat, kepala di Utara, kaki di Selatan”. Maknanya: masyarakat suku Buton percaya bahwa Tuhan yang menciptakan segalanya dan Tuhan pula yang mengatur dan merencanakannya. Segala sesuatu yang diperoleh manusia adalah menurut kehendak Tuhan, sehingga masyarakat suku Buton melaksanakan upacara nongko gejur untuk mensyukuri segala hasil yang diberikan Tuhan yang akan di panen. Nilai spiritual merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu diterapkan dalam pembentukan moral. Nilai spiritual berfungsi sebagai pengatur kehidupan manusia, yaitu: memberikan moral kepada manusia dalam beribadah kepada Tuhan, memberikan pedoman kepada manusia dalam kehidupan bermasyarakat, membantu memecahkan persoalan yang tidak dapat dijangkau oleh manusia, memberikan ketenangan jiwa dan ketabahan kepada manusia, menghindari manusia dari perilaku yang menyimpang, mempererat persaudaraan terutama antar pemeluk agama.
Nilai spiritual ini ada dan berkembang dalam keluarga dan dikembangkan pada kehidupan masyarakat, karena dapat memberikan nilai kepada setiap masyarakat tentang mana yang baik dan yang tidak baik sehingga dapat tercipta suasana yang harmonis baik antara sesama manusia maupun antara manusia dengan Tuhan.
3 Nilai Normatif.
Dalam kehidupan masyarakat Laansai khususnya masyarakat suku Buton, terdapat norma-norma yang mengatur pola hidup masyarakatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Upacara Adat dalam kaitannya dengan pertanian harus dilangsungkan pada musim tanam dan musim panen. Upacara dilakukan di titik pusat tersebut. Jika seorang tidak melakukannya, maka akan dikenakan sanksi adat dan dalam kurun waktu tertentu dia menjadi orang yang tidak beruntung seperti hasil panen gagal atau tanamannya dimakan oleh hama.
4 Nilai Demokrasi.
Nilai demokrasi dalam upacara nongko gejur dapat dilihat dari sistem pemerintahan adat masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton, di mana posisi tua adat dalam memimpin suatu musyawarah bukanlah segala-galanya, tua adat tidak boleh semena-mena dalam memimpin, segala kebijakannya harus dimusyawarahkan karena tetap melibatkan seluruh masyarakat yang ada dalam wilayah adatnya. Dalam suatu musyawarah, tua adat dapat dikatakan sebagai penengah saja sedangkan hasil keputusan diambil dari musyawarah yang melibatkan seluruh masyarakat adat.
5 Nilai Kekerabatan.
Upacara nongko gejur merupakan salah satu cara yang dapat membina dan membangun kekerabatan. Wujud dan nilai kekerabatan dengan sangat indah dilukiskan dalam ungkapan yang paling terkenal masyarakat Lakansai adalah totoro peronga-ronga (totoro artinya duduk, peronga-ronga artinya bersama-sama membentuk satu lingkaran). Lonto leok berarti duduk bersama dengan membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari ungkapan ini, tampak jelas dimensi atau aspek kekerabatan yang dibangun oleh orang Lakansai satu dengan yang lain. Totoro mperonga- ronga menggambarkan kesatuan, kekerabatan dan ikatan kekeluargaan yang sangat dalam satu dengan yang lain. Dalam upacara nongko gejur ini terungkap rasa kedekatan, ikatan batin yang kuat dan mendalam antara orang yang masih hidup dengan arwah nenek moyang. Perasaan kedekatan dan ikatan batin dengan arwah nenek moyang, akhirnya orang dibawa dan dihantar serta disadarkan untuk membangun relasi dengan Allah.
2.3. Akhir Upacara
Sebagai akhir atau penutup dari upacara nongko gejur, ada beberapa acara yang dilaksanakan setelah semua hasil panen dikumpulkan. Acara tersebut antara lain:
1. Mut numpung; Mut artinya hangat dan numpung artinya makanan atau bekal. Jadi mut numpung adalah padi yang telah berada di tempat yang hangat dan teduh atau aman (telah disimpan). Maksud dari mut numpung adalah upacara yang dilaksanakan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta) karena selalu menyertai dari awal, mulai dari proses menabur bibit sampai pada waktu padi disimpan di kotak penyimpanan dan sekaligus meminta jika padi tersebut dimakan, maka akan membawa kesehatan dan kekuatan untuk bisa mengolah kebun. Acara ini biasanya dilaksanakan di rumah masing-masing dan dipimpin oleh kepala keluarga atau orang yang lebih tua dengan memegang seekor ayam jantan berwarna putih (lalong bakok), sambil mengucapkan doa (tudak) sebagai berikut:
“Kerja gaku one uma, o hasil ga, o laku sau ga, se mut ga. Ho laku manuk te mut numpung”.
Artinya:
“Usaha saya di kebun, inilah hasilnya, telah saya kumpulkan, dan sekarang berada di rumah. Ini! Saya kurbankan seekor ayam”.
Setelah doa (tudak) diucapkan, ayam tersebut disembelih. Setelah dibakar, diambil hati dan bagian dada dari ayam tersebut untuk dipersembahkan kepada para leluhur. Menurut kepercayaan masyarakat Lakansai khususnya masyarakat suku Buton, bagian hati dan dada merupakan bagian inti. Maksudnya adalah mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan atau para leluhur. Dalam acara ini, biasanya dikurbankan seekor ayam jantan berbulu putih (manuk lalong bakok).
2. Peresmian atau pembuka untuk memakan jagung pertama atau jagung baru.
Dilaksanakannya acara mut numpung dan pelong latung, sudah merupakan suatu peresmian untuk memakan jagung pertama atau jagung baru. Oleh karena itu dalam peresmian untuk memakan jagung pertama, hanya diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh kepala keluarga (ayah) di rumah masing-masing keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Proses Pelaksanaan Upacara Nongko Gejur.
Pelaksanaan upacara nongko gejur dapat dibagi dalam beberapa tahap antara lain:
a. Tahap Persiapan Upacara.
Sebelum dilaksanakan upacara, ada beberapa hal yang merupakan suatu persiapan untuk menyukseskan upacara tersebut seperti: (1) Musyawarah untuk menentukan pemimpin upacara, haroa dan persembahan lainnya; (2)bahan haroa; (3) Persembahan lainnya seperti telur ayam kampung dan sirih pinang.
b. Tahap Pelaksanaan Upacara.
Tahap pelaksanaan upacara nongko gejur terdiri dari beberapa paket acara antara lain: upacara pada saat padi mengetam (ndereh), upacara untuk memanggil arwah dari tanaman yang dibawa oleh hama (tabar wini) dan panen panen jagung serta proses pengolahannya.
Dalam pelaksanaan upacara nongko gejur, oleh pemimpin upacara (tua teno) diucapkan doa-doa (tudak) sebagai ujud atau permintaan dari masyarakat suku Buton. Doa (tudak) tersebut menunjukkan bahwa mereka benar-benar percaya bahwa leluhur mereka menjaga, melindungi, serta membimbing mereka sehingga segala aktivitas berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang baik pula.
2. Tahap Akhir Upacara.
Upacara nongko gejur yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat suku Buton biasanya ditutup dengan beberapa acara seperti: upacara penyimpanan jagung dalam kotak penyimpanan (mut numpung) dan upacara penyimpanan jagung (pelong latung). Setelah uapacara tersebut dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara peresmian untuk makan jagung baru.
3. Nilai-nilai Dalam Pelaksanaan Upacara Nongko Gejur.
Upacara nongko gejur dalam kehidupan masyarakat suku Buton memiliki atau mengandung nilai-nilai sebagai suatu simbol yang melambangkan eratnya persatuan dan kesatuan masyarakat (nilai kekeluargaan) serta menunjukkan bahwa masyarakat suku Buton percaya pada hal-hal gaib atau dunia tidak nyata (nilai spiritual). Upacara nongko gejur juga merupakan pendidikan bagi masyarakat (nilai pendidikan) untuk belajar menghargai pemberian Tuhan Sang Pencipta (Mori Jari Dedek) serta belajar bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (nilai gotong royong), menjunjung tinggi norma-norma atau aturan-aturan (nilai normatif), dan musyawarah untuk mencapai suatu keputusan (nilai demokrasi), sehingga keberadaannya sangat perlu untuk dipertahankan
3.2. Saran
Mengingat bahwa upacara nongko gejur merupakan salah satu kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang dan terkandung di dalamnya nilai-nilai yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat Lakansai pada khususnya masyarakat suku Buton, maka sangat disayangkan jika kebudayaan tersebut lenyap oleh pengaruh perkembangan zaman. Untuk itu maka penulis menyampaikan beberapa saran demi tetap lestarinya kebudayaan tersebut, antara lain:
Kepada tua-tua adat dan tokoh masyarakat agar perlu dilakukan proses sosialisasi budaya terhadap generasi muda, sehingga kebudayaan Lakansai, khususnya upacara nongko gejur akan terus dilaksanakan dan tidak terjadi penyimpangan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Pemerintah Kabupaten Buton Utara dan pemerintah setempat dalam hal ini Kepala Desa Lakansai agar perlu mengkaji proses pelaksanaan upacara nongko gejur sebagai bentuk penghargaan dan upaya pelestarian terhadap budaya lokal yang ada.
Bagi peneliti-peneliti lanjutan yang berkenaan dengan kebudayan khususnya upacara nongko gejur, agar kajian yang dilakukan lebih mendalam lagi.
Bagi masyarakat suku Buton di Desa Lakansai, baik orang tua maupun kaum muda agar tetap melestarikan kebudayaan-kebudayan yang dimiliki, khususnya upacara nongko gejur agar kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat diwariskan kepada generasi mendatang, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut dapat tetap hidup dan tertanam kuat dalam pribadi setiap orang serta dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
3.3.
DAFTAR PUSTAKA
Stengeon blogspot.co.id
Dokumentasi Hutan di Daerah Lakansai
Comments
Post a Comment