SOSOK KEHADIRAN PEMIMPIN MILINEAL DAN BERKUALITAS BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KONAWE SELATAN PADA KONSTALASI PILKADA 2020

Image
Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sejumlah nama dari kader-kader potensial partai politik (Parpol) mulai bermunculan. Ada 270 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak salah satunya di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Ada tiga kandidat yang kini ramai diperbincangkan dikalangan masyarakat saat ini, selain itu ada muncul bakal calon bupati dari kalangan milienal. Hal ini menarik dibicarakan. Hal ini disampaikan Ode Undu yang menjabat sebagai Sektaris Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswah K...

MAKALAH PERHUTANAN SOSIAL

MAKALAH PERHUTANAN MASYARAKAT
 “Hutan Kemasyarakatan”





OLEH :
LA ODE ANANDO. D
M1A1 16 17
KEHUTANAN B





JURUSAN  KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
2019

KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas nikmat dan karunia-Nya Saya masih diberi kesahatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dan tak lupa pula dipanjatkan salam  kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW sebagaiman Beliau telah membawa perubahan kepada kita dari masa kegelapan ke masa yang terang benderang seperti saat ini.
Pembuatan makalah ini “ Pengelolaan Hutan Desa Sebagai Satu Alternatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Terutama Dalam Kaitanya Dengan Wacana Otonomi Daerah, Khususnya Otonomi Desa”, program studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, dalam lingkup Universitas Haluoleo, Kendari.
Saya menyadari  bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Saya harapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat membangun. Sekian dan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat  dan memberikan infomasi kepada pembaca.
Wassalamuallaikum warahtullahi wabarakatu.

                                                                 Kendari, 17 Oktober 2019
 Penyusun





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................   i
DAFTAR ISI...........................................................................................................   ii
BAB 1 
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang...................................................................................................   1
1.2. Rumusan masalah.............................................................................................   2
1.3. Tujuan...............................................................................................................   2
1.4. Manfaat..............................................................................................................   2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Masalah dan Kondisi Hutan.............................................................................   3
2.2. Otonomi Daerah................................................................................................   6
2.3. Desentralisasi Kehutanan..................................................................................  10
2.4. Otonomi desa....................................................................................................  12
2.5. Apa Itu Hutan Desa..........................................................................................  12
2.6. Mensejahterakan Masyarakat Pedesaan Dengan Hutan Desa..........................  14


BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan.......................................................................................................   18
3.2.Saran................................................................................................................    18
DAFTAR PUSTAKA




BAB 1
PENDAHULUAN
 Latar Belakang
Hutan merupakan sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah tersebut hutan mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam bagi kepentingan umat manusia. Dengan segala kekayaan alam yang dikandungnya, hutan memberikan kehidupan bagi makhluk hidup di bumi ini terutama bagi umat manusia. Hutan tidak saja memberikan kehidupan bagi masyarakat yang menempatinya tetapi juga masyarakat di perkotaan.
Namun demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Pengelolaan hutan lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata, dan bahkan negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan. Sebagai akibat dari pengelolaan hutan dengan cara tersebut hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat tajam. Luas hutan berkurang drastis, sedangkan hutan yang tersisa juga mengalami kerusakan yang cukup parah.

 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam kalah ini ialah :
Apa Itu Hutan Desa?
Bagaimana Masalah dan Kondisi Hutan? 
Mensejahterakan Masyarakat Pedesaan Dengan Hutan Desa?
 Manfaat
Adapun manfaat yang ditemukan dalam pembuatan makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber ilmu, literature, maupun dasar ilmu pengetahuan terutama dalam kajian tentang perhutanan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Masalah dan Kondisi Hutan
Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang makin terganggu.
Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini telah menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Pemerintah pusat mendominasi pengelolaan hutan melalui beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau memberikan konsesi kepada swasta. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepentingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah. Sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat hanya mensejahterakan segelintir orang dan bahkan juga menimbulkan penderitaan bagi masyarakat setempat. Kesalahan pengelolaan hutan oleh pusat dan penyalahgunaan HPH oleh beberapa pengusaha telah mengakibatkan luas hutan berkurang drastis dan kerusakan hutan semakin parah. Setiap tahunnya terjadi degradasi hutan sebesar 1,7 juta Ha, sehingga di Sumatera luas hutan tinggal 27% dan Kalimantan 34%. Penyebab kerusakan lainnya adalah penebangan liar (ilegal), kebakaran hutan dan penjarahan hutan yang dilakukan masyarakat maupun perusahaan swasta.
Jika diidentifikasi lebih lanjut penyebab dari kondisi hutan saat ini adalah kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan. Penyusunan rencana kegiatan dan penetapan kebijakan pengelolaan kehutanan selayaknya melibatkan pemerintah dan masyarakat di daerah. Namun demikian pusat selama ini tidak melibatkan daerah dalam penyusunan rencana dan penetapan regulasi tersebut. Sehingga pada pelaksanaan di lapangan sering timbul permasalahan dan konflik dengan masyarakat setempat.
Demikian juga dengan pemberian konsesi atau HPH kepada swasta maupun BUMN, pemerintah pusat tidak pernah membahas terlebih dahulu dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah biasanya dilibatkan setelah timbulnya permasalahan dan konflik dengan masyarakat. Selanjutnya sebagai faktor pendorong percepatan kerusakan hutan adalah lemahnya pengawasan pusat terhadap pengelolaan hutan oleh BUMN maupun swasta dan penjarahan serta penebangan liar oleh oknum masyarakat.
 Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa kondisi hutan saat ini merupakan hasil dari suatu rangkaian kesalahan mulai dari sentralisasi perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan sampai kepada lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan hutan.
2.2. Otonomi Daerah
 Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa nuansa dan semangat baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Melalui undang-undang tersebut dilakukan revitalisasi terhadap semangat desentralisasi. Diharapkan undang-undang otonomi daerah yang telah mengakui hak dan kewenangan daerah tersebut dapat menjadi acuan bagi undang-udang maupun regulasi lainnya yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan negara sehingga tidak timbul kerancuan dan kebingungan bagi penyelenggara pemerintahan sendiri, masyarakat dan dunia usah.
Dengan otonomi daerah yang luas dan utuh yang diberikan kepada kabupaten/kota serta otonomi daerah terbatas kepada propinsi, UU 22/1999 mengakui hak-hak yang dimiliki dalam mengelola segala aspirasi, tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini juga sekaligus mendorong timbul dan tumbuhnya kreativitas daerah dalam mengelola segala sumber daya yang terdapat di daerah untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Otonomi daerah menjunjung nilai dan prinsip dari demokrasi. Dengan nilai kebersamaan, kebebasan, dan keadilan, peran serta masyarakat dapat digali, dikembangkan dan dimanfaatkan bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui otonomi daerah juga kepada seluruh daerah diberikan kesempatan untuk menikmati pemerataan keadilan.
Pengelolaan kekayaan sumber daya alam daerah khususnya bidang kehutanan membutuhkan dukungan dari penyelenggaraan otonomi daerah yang luas dan utuh. Desentralisasi kebijakan dan pengelolaan kehutanan akan dapat mendorong peran serta masyarakat menggali dan memanfaatkan serta menjaga kelestarian sumber daya alam secara optimal.
2.3. Desentralisasi Kehutanan
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta sistem sosial di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah mulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan kehutanan.
Dengan desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialami selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal itu dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya kewenangan yang memadai bagi daerah (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut.
Pengelolaan hutan melalui sistem desentralisasi juga akan memberikan kesempatan bagi pengembangan otonomi daerah. Diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola hutan berarti mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dimana diakuinya hak-hak daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini juga memberikan hak kepada daerah untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan demikian kebutuhan finansial daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagian akan terpenuhi dari hasil pengelolaan hutan.
Selanjutnya dengan desentralisasi kehutanan dapat ditingkatkan pemanfaatan sumber daya alam hutan secara optimal. Hal ini dapat dilakukan karena melibatkan secara langsung unsur daerah (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Karena pemerintah daerah dan masyarakat mungkin lebih mengetahui dan memahami karakterisktik sumber daya alam yang dimiliki daerahnya.
Keterlibatan dan keikutsertaan daerah dalam pengelolaan hutan dalam kerangka desentralisasi kehutanan diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Karena pemerintah daerah bertanggung jawab kepada masyarakat melalui institusi perwakilan rakyat, maka setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan akan diawasi oleh masyarakat. Maka kemungkinan lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang membahayakan kelestarian dan keseimbangan alam dapat dieleminir.
Kemudian melalui desentralisasi pengelolaan kehutanan juga dapat mengurangi (mengeliminir) konflik-konflik kepentingan antara pusat-daerah dan pemerintah- masyarakat yang terjadi selama ini. Karena konflik yang timbul selama ini lebih banyak disebabkan oleh sentralisasi pengelolaan kehutanan dimana daerah tidak diikutkan untuk berpartisipasi. Melalui desentralisasi pengelolaan kehutanan akan dapat dilakukan koreksi terhadap kebijakan sentralisasi pengelolaan hutan selama ini dan selanjutnya dapat diakomodasikan berbagai kepentingan dari pihak-pihak yang terkait.
Melalui pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai pemberi mandat bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dapat diupayakan adanya akuntabilitas dari setiap kebijakan dan regulasi yang diambil oleh pemerintah daerah. Masyarakat melalui DPRD, pers maupun LSM dapat senantiasa melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Dan akhirnya pada saatnya desentralisasi pengelolaan kehutanan akan dapat mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat dan pengembangan dunia usaha di daerah. Melalui prinsip keadilan dan pemerataan dunia usaha daerah akan dapat dikembangkan dan dilindungi dari upaya monopoli ”konglomerat”.
Untuk dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan kehutanan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan dan regulasi tentang kehutanan yang ada selama ini. Disamping menyesuaikan kebijakan dan regulasi lama yang ditetapkan sebelum lahirnya UU 22/1999 juga mungkin perlu peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah nomor 53 Tahun 1998 tentang Perhutani dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sehingga dapat sesuai dan sejalan dengan jiwa dan semangat UU 22/1999. Akhirnya dapat kita simpulkan disini bahwa pengelolaan kehutanan selama ini :
Menimbulkan degradasi sumber daya alam hutan dari kuantitas maupun kualitas hutan yang akhirnya mendatangkan dampak negatif terhadap lingkungan yang memicu terjadinya bencana alam.
Menimbulkan berbagai konflik kepentingan antara pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat.
Menimbulkan monopoli pengusahaan kehutanan di kalangan pengusaha besar.
Permasalahan yang ditimbulkan tersebut merupakan dampak pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik. Untuk menjawab permasalahan tersebut sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU 22/1999 maka perlu diadakan desentralisasi pengelolaan kehutanan. Dengan semangat demokratisasi, pengembangan hak dan kreativitas serta keanekaragaman potensi dan karakteristik sumberdaya alam daerah maka desentralisasi pengelolaan kehutanan diharapkan dapat melakukan koreksi terhadap kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
Wajah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam kita masih silang-sengkarut. Tarik menarik kepentingan antara negara tentu saja didukung kekuatan korporasi besar dan rakyat dipihak yang dilemahkan masih terus berlangsung. Hegemoni negara masih mewujud dalam berbagai aturan kebijakan yang state based, sentralistik, sektoral, eksploitatif. Perubahan paradigma yang digelindingkan banyak pihak menjadi pengelolaan berbasis masyarakat, desentralisasi, lokal specifik, lebih banyak menjadi tumpukan dokumen saja. Tengoklah berbagai perundangan sektoral seperti kehutanan, pertambangan, dan air disamping masih sentralistik juga kentara sekali berpihak pada pemodal besar. Kasus yang masih hangat diperdebatkan adalah desakan pengusaha tambang untuk mengamandemen Undang-undang kehutanan No. 41/1999 yang melarang pertambangan terbuka di areal hutan lindung. Kasus lainnya adalah molornya pengesahaan RUU Sumberdaya air karena ada klausul tentang privatisasi sumberdaya air, yang memungkinkan para pengusaha menguasai sumberdaya air yang mestinya sebagai barang publik. Ujung-ujungnyanya rakyat juga yang akan menanggung semua deritanya. Ketika hutan semakin rusak akibat over eksploitasi dan konversinya menjadi berbagai areal transmigrasi, perkebunan, bahkan pertambangan, maka rakyat sekitar hutanlah yang paling dulu mengalami dampak ekologis maupun sosialnya. Ketika benar nanti sumberdaya air diprivatisasi dan rakyat harus beli maka genaplah sudah penderitaannya.
Semestinya pemerintah sebagai salah satu representasi negara mampu melindungi eksistensi dan kelestarian SDA . Bukan malah mengobral dengan harga murah, tidak mau susah sekedar ingin mendapatkan fee dan pajak hasil. Tragedi sumberdaya yang diramalkan Hardin di Afrika, cepat atau lambat atau bahkan sudah terjadi di negeri ini. Berbagai fenomena alam seperti perubahan musim, bencana alam, diakui atau tidak adalah akibat terdegradasinya sumber-sumber daya alam akibat salah urus dan kelola kita juga.
Bersamaan dengan dimulainya era orde baru, pada tahun 1967 lahir Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 sebagai unifikasi hukum nasional kehutanan. Undang-undang ini lahir dengan semangat bagaimana dalam jangka pendek mampu mengumpulkan pendapatan bagi negara. Terlihat sekali dari diabaikannya UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria yang tidak dijadikan konsideran dalam penyusunannya. Kebijakan ini disusun dengan dibukanya kran pemodal besar, terutama asing untuk turut serta mengeksploitasi SDA. Sampai tahun 1999, berbagai kebijakan yang menyertainya pun silih berganti, tetapi tidak mengubah paradigma state based dan eksploitasi. Sulaiman Sembiring (2002), mencatat 14 karakteristik negatif yang terdapat kebijakan kehutanan khususnya UU No 5/1967 sebelum tahun 1999, yaitu: (1) Hak menguasai pemerintah pusat (bukan negara), (2) sentralistik, (3) sektoral, (4) eksploitatif, (5) Skala Besar-masif misalnya pembangunan HPH & HTI, (6) monopoli dan oligopoli, (7) tidak ada transparansi, (8) tidak ada pelibatan masyarakat/publik, (9) tidak ada pertanggung gugatan, (10) militeristik/kekerasan, (11) penyeragaman, (12) tidak ada pengakuan atas hak adat (ada pasal yang membekukan hak adat jika bertentangan dengan kepentingan umum, (13) tidak ada supremasi hukum, (14) tidak ada sanksi pidana dalam UU itu, tidak ada mekanisme resolusi konflik. Karakteristik diatas tidak terlepas dari kuatnya rezim yang berkuasa saat itu yang memang mendewakan stabilitas politik dan peningkatan ekonomi pendukungnya.
Meskipun sejak tahun 1999 sudah ditetapkan UU No. 22 tentang Pemerintah Daerah dan juga UU kehutanan baru UU No. 41 tahun 1999, tetapi beberapa semangat dan karakteristik diatas masih sangat kentara dan belum ada perubahan. Sentralisasi perijinan di tangan Menteri, tidak ada klausul dalam batang tubuh yang mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat adat adalah beberapa contoh bahwa sejak reformasi pun belum ada perubahan yang siginifikan pada substansi kebijakan pengelolaan hutan dan SDA umumnya. Beberapa kebijakan yang memungkinkan keterlibatan masyarakat, seperti Hutan Kemasyarakatan, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan, Perhutanan Sosial (Social Forestry), belum menjadi mainstream perubahan di pengambil kebijakan. Yang pasti kebijakan tersebut lebih menjadi kebijakan populis menteri. Ketika terjadi pergantian menteri dan perubahan keorganisasi departemen maka kebijakan tersebut pun ikut muncul dan tenggelam. Kasus Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang sejak tahun 1995 sudah 5 kali terjadi pergantian SK Menteri (dari SK Menhut No.622/1995 – SK Menhut No. 31/2001), menjadi contoh bahwa kebijakan-kebijakan yang mengatasnamakan rakyat masih pada tataran populis guna mencari dukungan massa politik belaka. Sekarang ketika berganti menteri pun Hutan Kemasyarakatan (HKm), berubah nama menjadi Social Forestry meskipun secara substansi juga setali tiga uang dengan HKm.
Bentuk dan model pengelolaan Hutan Adat, Hutan Kampung, Simpunk (Kalimantan), Parak (sebagai salah satu aset Nagari di Sumbar), Repong Damar, Hutan Pekon, Hutan Desa, dan lain-lain, sudah eksis dan sebagai sumber penghidupan dan perekonomian lokal. Berbagai model pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, disamping berbasis individu juga kental dengan semangat komunalisme, karena merupakan aset wilayah desa, kampung, atau nagari. Aset-aset tersebut jika dicermati adalah sebagai sumber kekayaan desa yang diharapkan mampu mendorong percepatan pembaharuan desa dan masyarakatny
2.4. Otonomi Desa
Setelah sekian tahun berjalan, sampai saat ini, masyarakat desa masih belum menerima dampak positif dari desentralisasi. Apalagi dalam pengelolaan sumberdaya alam, terutama untuk kawasan suaka alam dan kawasan konservasi yang merupakan hak prerogatif pemerintah pusat, sehingga masyarakat seringkali hanya menjadi objek. Masalah desa memang harus diletakan dalam konteks kedaulatan rakyat. Pada saat desa diberi otonomi penuh/dimerdekakan, maka yang akan terjadi adalah konflik antara Bupati dengan Kepala Desa. Selain itu, apabila desa diberikan keleluasaan untuk membuat BUMDes, dan BUMDes diberi keleluasaan untuk membuat kerjasama dengan pihak luar, maka BUMDes bisa menjadi jalur bagi masuknya modal asing. Apabila ini yang terjadi, maka bagaimana akan mewujudkan kesejahteraan sebanyak-banyak rakyat? Beberapa pemikiran yang mengkhawatirkan dampak dari globalisasi dan terbukanya transaksi Desa dengan pihak luar, cukup beralasan. Jika transaksi tanpa kendali dalam kontek desa secara otonom mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan dirinya sendiri.
2.5. Apa Itu Hutan Desa?
Desa sejak dahulu tidak sekedar dipahami sebagai pemerintahan desa, tetapi seperti negara juga mencakup wilayah, masyarakat dan juga pengakuan dari luar, dalam hal ini negara. Desa biasanya mempunyai wilayah pangkuan desa yang dikelola baik sebagai sumber pendapatan ekonomi, konservasi maupun ‘kedaulatan’ desa. Wilayah itu bisa berwujud hutan dan atau tanah desa atau sering disebut tanah ulayat atau tanah adat. Tanah desa sendiri sekarang terdiri bermacam-macam seperti tanah bengkok, titi sara, tanah kas desa yang seringkali juga berwujud hutan atau kebun. Kemudian karena kondisi sosial politik negara yang kemudian menetapkan semua wilayah hutan yang secara formal tidak dibebani hak milik menjadi kawasan hutan negara, mengakibatkan wilayah pangkuan desa pun secara otomatis ‘diambil alih’ oleh negara menjadi yang kita kenal sekarang adalah Hutan Negara. Padahal kalau kita baca monografi desa-desa pasti masih terdapat hutan-hutan yang masuk wilayah administrasi desanya. Tetapi realitanya desa dan masyarakatnya hanya menjadi penonton dan kena getah pertama kali jika terjadi masalah pada hutan-hutan tersebut. Konfigurasi penyeragaman seperti terlihat dalam UU No. 5 tahun 1974 yang disusul pelemahan desa menjadi hanya sekedar wilayah administrasi terkecil dibawah Kecamatan yang tidak mempunyai kekuasaan mengatur diri sendiri, mengakibatkan berubahnya struktur, posisi, bahkan wilayah desa. Terjadi banyak pemekaran dan atau penggabungan desa-desa yang sering kali tidak memandang faktor asal usul dan kesejarahan, sehingga praktis identitas desa asal sebagai suatu wilayah otonom menjadi kabur dan bahkan hilang.
Sejak tumbangnya pemerintahan orde baru, kemudian memasuki era reformasi timbul semangat dan tuntutan baik dari arus bawah maupun tekanan internasional untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dan demokratis pada semua sektor. Wacana otonomi daerah mulai diimplementasikan dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. UU Kehutanan meski belum sepenuhnya ideal tetapi sudah ditetapkan dan menjadi acuan pengelolaan hutan Indonesia. Undang-undang kehutanan yang pada konsideran juga mengacu pada Undang-undang Agraria dan Undang-undang pemerintahan daerah, meski tidak konsisten tetapi sedikit banyak terdapat semangat pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan penyerahan sebagian urusan kehutanan kepada daerah kabupaten.
Entah faktor dan latar belakang apa pada penjelasan pasal 5 UU Kehutanan muncul istilah dan definisi Hutan Desa bersama-sama dengan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Adat. Hutan desa disebutkan sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa untuk kesejahteraan desa. Tidak ada penjelasan lebih lanjut karena ini memang diletakkan di penjelasan. Definisi tersebut tentu saja masih multi interpretasi, terutama menyangkut kelembagaan dan aktor pengelola, wilayah dan unit pengelolaan hutan desa, serta tujuan dan sistem pengelolaannya. Ketika desa hanya dipahami sebagai pemerintahan desa maka definisi ini masih berbasis negara. Bagaimanapun pemerintahan desa adalah representasi negara yang mau atau tidak mau dibebani hak dan kewajiban layaknya negara. Ketika desa dipahami utuh, mencakup pemerintahan, wilayah dan rakyat maka definisi tersebut bisa menjadi satu model baru pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Awang (2003) membagi pengertian Hutan Desa dari beberapa sisi pandang, yaitu; (a) dilihat dari aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah administrasi sebuah desa definitif dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat, (b) dilihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa, (c) dilihat dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah(hutan negara) yang terdapat dalam satu wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa. 
Damar (1999) pada awal menggulirkan konsep hutan desa mendefinisikan hutan desa sebagai kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu. Satu definisi yang masih umum dan cenderung mengikuti bahasa undang-undang. Dalam perjalananannya ketika berinteraksi langsung di lapangan, membicarakan pengelolaan hutan di desa memang harus holistik dan integrasi dengan pembangunan pedesaan. Sebagai satu kesatuan wilayah maka dari aspek status pengelolaan hutan desa harus mencakup status hutan negara dan hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Lembaga dan aktor pengelola akan tergantung pada kesiapan dan kondisi masing-masing lokasi. Yang pasti masyarakat desalah sebagai aktor utama pengelola, meskipun nantinya berbentuk kelompok tani, badan hukum perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Tabel. Realita dan Kebutuhan Kebijakan Pengelolaan Hutan Desa
No
Realita Kebijakan yang Mengatur Hutan Desa
Substansi Kebijakan
Kebutuhan Kebijakan

1
UU No.41/1999 tentang Kehutanan pada Penjelasan Pasal 5
Hutan Desa, didefinisikan hutan negara yang dikelola oleh desa & dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa
Turunan kebijakannya, misalnya Peraturan Pemerintah atau aturan lain yang menjelaskan lebih jauh Hutan Desa

2
Kepmendagri No. 64 th 1999, tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, pasal 53
Hutan Desa, termasuk Kekayaan Desa
Peraturan Daerah dan  Peraturan Desa yang mengatur sumber pendapatan dan Kekayaan Desa

3
Perda kabupaten yang mengatur tentang Desa, juga menyebutkan adanya Hutan Desa sebagai salah satu sumber pendapatan dan kekayaan
Hutan desa seringkali hanya disebutkan, tapi tanpa pendefinisian dan penjelasan apa itu Hutan Desa dan bagaimana mekanisme pengelolaannya
Perda tanpa penjelasan seperti ini, memungkinkan banyak tafsir dan interpretasi. Pada tingkat desa bisa menjadi peluang untuk mengatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Desa yang partisipatif tentang pengaturan Kekayaan desa, baik hutan maupun sumberdaya

2.6. Mensejahterakan Masyarakat Pedesaan Dengan Hutan Desa
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendapat akses legal untuk mengelola hutan negara dimana mereka hidup dan bersosialisasi. Hutan negara yang dapat dikelola oleh masyarakat pedesaan disebut Hutan Desa. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.  Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota.
Untuk dapat mengelola hutan desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan,karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya Hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali.
Apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dalam Hutan Desa. Dan apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasill hutan kayu pada hutan alam maupun hutan tanaman. Selain itu pemungutannya dibatasi paling banyak 50 m3 tiap lembaga desa per tahun.
Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diijinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu.
Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. 
Beberapa rekomendasi:
Semangat pengaturan sebaiknya adalah agar daerah mampu mengatur diri.
Sebaiknya isu harus dalam konteks demokratisasi, liberalisasi, dan desentralisasi.
Pilihan kebijakan harus ditempatkan dalam konteks pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat.
Perlu dilakukan penelitian sejauh mana desa bisa diberi hak atas pengelolaan sumber daya, dan kepada siapakah hak diberikan, apakah kepada komunitas atau pada lembaga desa, serta perlu diatur bagaimana mencegah terjadinya elit capture.
Harus dijaga jangan sampai sumber daya yang sifatnya public goods kemudian malah diprivatisasi dan dibagi-bagi.
Kalaupun desa diberikan otonomi mengelola sumber daya, maka harus dijaga agar jangan sampai pihak luar yang mengambil profit. Perlu difikirkan bagaimana agar pengelolaan sumber daya alam itu dapat member manfaat terhadap masyarakat, terutama masyarakat yang paling dekat dengan sumber daya alam tersebut.
Agar karakteristik pemerintahan harus mengikuti karakteristik sumber daya alam, sehingga harus diidentifikasi secara jelas apa itu karakteristik sumber daya alam

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta sistem sosial di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah mulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan kehutanan. Dengan desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialami selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal itu dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya kewenangan yang memadai bagi daerah (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon.  
3.1. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam makalah ini ialah perlu adanya pembelajaran yang lebih intensif agar penguasaan materi lebih terserap dengan baik.






DAFTAR PUSTAKA

 Airlangga Z.C., 2008. Desentralisasi Pengelolaan Hutan : Masyarakat Menjadi Aktor Utama. www.kabarindonesia.com. 26 September 2008, 16;34;07 WIB.
Anonim, 2008. Hutan Desa Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Jambi.
Azhuri, M., 2007. Menyiasati Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Buletin Planolog Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2009.  Mensejahterakan Masyarakat Pedesaan Dengan Hutan Desa. Jakarta. http://www.dephut.go.id. Siaran Pers Nomor : S.443/PIK-1/2008 Kepala Pusat Informasi Kehutanan Jakarta. 8 Oktober 2008.
Departemen Kehutanan, 2009. Pencanangan Hutan Desa Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Direktur Bina  Perhutanan Sosial. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5275.
 Equador Harian, 2009. Sejahterakan Masyarakat Dengan Hutan Desa. Last Updated On Thursday, 27 August 2009 13:07 a.
Elnino. 2005. Berita. Hampir Tiada Tempat Bagi Hutan Desa. Pemerintah Hanya Targetkan 2%.
Firmansyah, Nurul. 2008. Artikel Umum. Hutan Nagari atau Hutan Desa. Koordinator Program Pembaruan Hukum Dan Kebijakan pada Perkumpulan Qbar. Padang. (www.Qbar.or.id).
Santoso, Hery. 2008. Selamat Datang Hutan Desa. Artikel. Pemerhati dan Praktisi Kehutanan. Working Group On Forest Land Tenure. Yogyakarta.
Suyanto. 2009. Pengaruh Perambah Terhadap Kerusakan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Di Wilayah Kabupaten Seluma. Seluma.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pencemaran Laut dari Tumpahan Minyak (Oil Spill))

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM INVENTARISASI SUMBER DAYA HUTAN “Angka Bentuk Pohon Hutan Tanaman Dan Struktur Serta Komposisi Tegakan Hutan Alam”

MAKALAH TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)