SOSOK KEHADIRAN PEMIMPIN MILINEAL DAN BERKUALITAS BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KONAWE SELATAN PADA KONSTALASI PILKADA 2020

Image
Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sejumlah nama dari kader-kader potensial partai politik (Parpol) mulai bermunculan. Ada 270 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak salah satunya di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Ada tiga kandidat yang kini ramai diperbincangkan dikalangan masyarakat saat ini, selain itu ada muncul bakal calon bupati dari kalangan milienal. Hal ini menarik dibicarakan. Hal ini disampaikan Ode Undu yang menjabat sebagai Sektaris Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswah K...

Makalah PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN

PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN



Oleh :
  Kelompok VII :

SAHRUN ( M1A1 16 174 )
DWI HANDAYANI (M1A1 16 109     )

KEHUTANAN C



PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017

KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul ‘‘Perubahan Sifat Fisika Ultisol Akibat Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian’’ pada mata kuliah dasar-dasar ilmu tanah. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami permasalahan tanah terutama dalam tanah ultisol.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini masih jauh dalam kesempurnaan, oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.




                                                                         Kendari,     April  2017

                                                                    Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………………………………………….1
Rumusan Masalah……………………………………………………………2
Tujuan …………….………………………………………………………….3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian Umum Tanah Ultisol…………..…………………………………8
Proses  Pembentukan Tanah Ultisol………..………………………………...9
Penggunanaan Tanah Terhadap Kawasan Hutan……….…………..………10
Sifat kimia tanah Ultisol……………...……………………………………..12
Teknologi Pengelolaan Ultisol………………………………………………13
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan……………………………………………………..……………15
Saran ………………………………………………………………………...15
DAFTAR PUSTAKA





BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanah Ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya erosi tanah. Penelitian menunjukkan bahwa pengapuran, sistem pertanaman lorong, serta pemupukan dengan pupuk organik maupun anorganik dapat mengatasi kendala pemanfaatan tanah Ultisol. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman perkebunan relatif tidak menghadapi kendala, tetapi untuk tanaman pangan umumnya terkendala oleh sifat-sifat kimia tersebut yang dirasakan berat bagi petani untuk mengatasinya, karena kondisi ekonomi dan pengetahuan yang umumnya lemah.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993). Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
Apa pengertian umum tanah ultisol ?
Bagaimana pengaruh tanah ultisol pada pemanfaatan hutan menjadi lahan pertanian ?
Bagaimana proses pembentukan tanah ultisol ?
bagaimana perubahan sifat fisika ultisol akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian
Bagaimana  teknologi pengelolaan ultisol ?
Tujuan 
Adapun tujuan makalah ini yaitu :
Dapat mengetahui Kandungan Bahan Organik, Bobot Volume, Total Ruang Pori, dan Permeabilitas Tanah
Dapat memahami pengaruh tanah ultisol pada pemanfaatan hutan menjadi lahan pertanian
Dapat menyebutkan prosespembentukan tanah ultisol
 Dapat mengetahui perubahan sifat fisika ultisol akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian
Dapat menyebutkan dan menjelaskan teknologi pengelolaan ultisol






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 Ultisol adalah tanah dengan horizon subpermukaan yang berasal dari akumulasi liat. Ultisol memiliki kejenuhan basah kurang dari 35% pada kedalaman 125 cm di bawah batas atas dari horizon argilik atau kandik (tidak lebih dari 200 cm di bawah permukaan tanah mineral) atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral jika epipedon kelas – butir berpasir dan paling dangkal terdapat pada 125 cm di bawah batas atas horizon argilik atau kandik atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral (Soil survey staff. 2014). Horizon bawah tanah ultisol berwarna merah dan kuning dan terlihat jelas timbunan oksida besi bebas. Ultisol masih mempunyai mineral yang dapat melapuk dan terbentuk di atas permukaan tanah tua (Buckman dan Brady, 1982). 
Ultisol memiliki memiliki tingkat kemasaman kurang dari 5,5, bahan organik rendah sampai sedang,dan nutrisi rendah. Ultisol memiliki kandungan Al yang tinggi dan menyebabkan terfiksasinya unsur fosfat sehingga ketersediaan fosfat di dalam larutan tanah berkisar 0-3 ppm (Munir, 1996). Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada Ultisol yang berasal dari bahan sedimen dan granit yaitu >60% dan paling rendah terdapat pada Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping yaitu 0%. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan dan pencucian. Proses pelapukan terjadi pada saat pembentukan batuan sedimen dan saat pembentukan tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
 Ultisol memiliki sifat fisik tanah yaitu daya pegang air rendah, tekstur berlempung liat, permeabilitas tanah yang semakin rendah dari lapisan atas tanah ke lapisan bawah tanah (Junaedi, 2010). Ultisol memiliki solum dengan kedalaman sedang, berwarna merah sampai kuning, dan memiliki struktur berbentuk blocking pada horizon Bt (Munir, 1996). Ultisol merupakan jenis tanah yang banyak tersebar di indonesia hingga mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan indonesia (Subagyo, dkk. 2004). Sebaran terluas tanah Ultisol terdapat di Kalimantan (21.938.000), Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Tanah Ultisol yang sangat luas merupakan lahan kering. Tanah Ultisol ini biasanya dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, perluasan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri. Hal ini berdampak pada timbulnya masalah baru yaitu hilangnya lapisan top soil akibat pemerataan permukaan tanah dan yang tersisa adalah lapisan sub soil yang kurang subur. Ultisol berpotensi menjadi lahan persawahan apabila tersedia air yang cukup. Ultisol lebih sesuai digunakan untuk tanaman kelapa sawit yang dikombinasikan dengan tanaman pakan ternak berupa legume sebagai pengendali limpasan permukaan (Munir, 1996).




BAB III
PEMBAHASAN

Pengertian Umum Tanah Ultisol
Tanah ultisol pada umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di daerah, dengan bahan induk batuan liat. Tanah ultisol merupakan bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum digunakan untuk pertanian, tersebar di daerah sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Daerah-daerah ini direncanakan sebagai daerah perluasan arel pertanian dan pembinaan transmigrasi. Sebagian besar merupakan hutan tropika dan padang alang-alang. Problema tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga menjadi racun hara rendah, diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan (Hardjowigen, 2003).
Kata ultisol sendiri berasal dari kata’’ultimus’’ yang artinya terakhir dan ‘’sola’’ artinya tanah. Dengan demikian ultisol merupakan tanah yang mengalami pelapukan lanjut dan hal tersebut memperlihatkan pencucian intensif dan paling akhir serta mempunyai lapisan yang mengandung akumulasi liat (Buckman,19820 ditambahkan Hardjowigeno (3003) ultisol hanya ditemukan didaerah-daerah dengan suhu rata-rata lebih dari 8 derajat Celsius. Ultisol adalah tanah dengan horizon argilik atau kandik bersifat masam dengan kejenuan basa rendah. Kejenuan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 m dari permukaan tanah <35%sedang kejenuan basa pada kedalaman kurang dari 1,8 m dapat lebih rendah atau tinggi dari 35%. Horizon argilik merupakan horizon liat (BT) (1) Bila horizon eluviasi mengandung liat lebih 3% dari horizon eluviasi. (2) Bila mengandung liat 15-40%, maka harus mengandung liat1,2 kali lebih banyak  dari horizon eluviasi. (3) Bila mengandung liat >40%, maka harus mengandung liat lebih dari 8% dari horizon eluviasi.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha) ,Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha) dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga berpegunungan. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basah, namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam.  
Proses  Pembentukan Tanah Ultisol
 Faktor-faktor pembentuk tanah yang banyak mempengaruhi pembentukan Ultisol   adalah Bahan induk : bahan induk tua, misalnya batuan liat, atau batuan vulkanik masam. Iklim : bahan harus cukup panas (warm) dan basah (humid), di daerah iklim sedang dengan tanah rata-rata lebih dari 80C, sampai di daerah tropika.
 Vegetasi : di daerah iklim sedang di dominasi oleh pinus. Di Indonesia vegetasi  hutan tropika. Relief : berombak sampai berbukit Umur : tua
Proses pembentukan tanah ultisol meliputi beberapa proses sebagai berikut :
 Pencucian yang ekstensif terhadap basa-basa merupakan prasarat. Pencucian berjalan sangat lanjut sehingga tanah bereaksi masam, dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan). 
Karena suhu yang cukup panas (lebih dari 80C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, akibatnya adalah terjadi pelapukan yang kuat terhadap mineral mudah lapuk, terjadi pembentukan mineral liat sekunder dan oksida-oksida. Mineral liat yang terbentuk biasanya didominasi oleh kaolinit dan gibsit.
Lessivage (pencucian liat), menghasilkan horizon albik di lapisan atas ( eluviasi)dan horizon argilik di lapisan bawah (iluviasi). Sebagian liat di horizon argilik merupakan hasil pembentukan setempat (in situ) dari bahan induk. Di daerah tropika horizon E mempunyai tekstur lebih halus, mengandung bahan organic dan besi lebih tinggi daripada di daerah iklim sedang. Bersamaan proses lessivage tersebut terjadi pula proses podsolisasi di mana seskuioksida (terutama besi) dipindahkan dari horison albik ke horison argilik. 
Biocycling Meskipun terjadi pencucian yang intensif tetapi jumlah basa-basa di permukaan tanah lebih cukup tinggi dan menurun dengan kedalaman. Hal ini disebabkan karena proses biocycling basa-basa tersebut oleh vegetasi yang ada di situ.
Pembentukan plinthite dan fragipan.
Plinthite dan fragipan bukan sifat yang menentukan tetapi sering ditemukan pada Ultisol. Biasanya ditemukan pada subsoil di daerah tua.
Plinthite : terlihat sebagian karatan berwarna merah terang. Karatan ini terbentuk karena proses reduksi dan oksidasi yang berganti-ganti. Kalau muncul dipermukaan menjadi keras irreversibie dan disebut laterit. Karatan merah yang tidak mengeras kalu kering berlebihan bukanlah plinthit.
Plintrhite ditemukan mulai pada kedalaman yang dipengaruhi oleh fluktuasi air tanah. Hanya plinthite yang dapat menghambat drainase yang diperhitungkan dalam taksonomi tanah (yaitu mengandung 10 – 15 persen volume atau lebih plinthite = plintaquult).
Fragipan : pada ultisol yang drainase buruk, seperti halnya plinthite, fragipan menghambat pergerakan air dalam tanah. Proses pembentukan fragipan masih belum jelas.
   Perubahan horizon umbrik menjadi mollik.
Ultisol dengan epipedon umbrik (Umbraquult) dapat berubah menjadi epipedon mollik akibat pengapuran. Walaupun demikian klasifikasi tanah tidak berubah selama lapisan-lapisan yang lebih dalam mempunyai kejenuhan basa ditetapkan pada kedalaman 1,25 m dari permukaan horizon argilik atau 1,80 m dari permukaan tanah (kejenuhan basa kurang dari 35 persen). Hal ini disebabkan untuk menunjukan adanya pencucian yang intensif dan agar klasifikasi tanah tidak berubah akibat pengelolaan tanah.
Penggunanaan Tanah Terhadap Kawasan Hutan
   Ultisol merupakan daerah luas di dunia yang masih tersisa untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. Air daerah ini umumnya cukup tersedia dari curah hujan yang cukup tinggi. Banyak meerupakan daerah perladangan petani primitive. Biasanya member produksi yang baik pada beberapa tahun pertama, selama unsure-unsur hara di permukaan tanah yang terkumpul melalui proses biocycle belum habis. Reaksi tanah yang masam , kejenuhan basa rendah, kadar Al yang tinggi, kadar unsure hara yang rendah merupakan penghambat utama untuk pertanian. Untuk penggunaan yang baik diperlukan pengapuran, pemupukan dan pengelolaan yang tepat.
    Penggunaan sebagai hutan dapat mempertahankan kesuburan tanah karena proses recycling. Basa-basa yang yang tercuci ke bagian bawah tanah, diserap oleh akar-akar tanaman hutan dan dikembalikan ke permukaan melalui daun-daun yang gugur. Bila hutan ditebang, maka tanaman semusim atau alang-alang tidak dapat melakukan recyle basa-basa (unsur hara) karena akar-akarnya tidak dalam.
Persoalan ketahanan pangan nasional tampaknya masih terus akan menjadi isu strategis bagi Indonesia. Berkenaan dengan aspek kecukupan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang mempunyai dimensi sangat luas, terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu dari ketiga aspek tersebut merupakan implikasi dari besarnya jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 266 juta jiwa, (Mahfudz, 2001). Hal ini memacu para pelaku usahatani untuk meningkatkan produksi sektor pertanian baik pangan, hortikultura, perkebunan, dll., yang salah satunya adalah melalui perluasan lahan pertanian dengan memanfaatkan lahan hutan dengan order Ultisol.
 Ultisol termasuk tanah tua dengan tingkat pelapukan lanjut, pencucian hebat, dan kesuburan kimia, fisika, serta biologi yang sangat rendah. Kendala sifat fisika Ultisol yang kurang baik, diantaranya daya pegang air rendah, tekstur lempung berliat, struktur kurang mantap dan permeabilitas makin kebawah makin rendah. Penggunan jenis tanaman yang ditanam dan pengelolaan lahan pada tanah hutan yang dikonversi, terutama lahan pertanian akan berpengaruh terhadap sifat-sifat fisika tanah. 
Konversi hutan menjadi lahan pertanian akan menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama degradasi lahan akibat erosi. Pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian umumnya dilakukan dengan cara tebang bakar dan pembersihan permukaan tanah. Kegiatan ini diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan porositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi permukaan tanah dan peningkatan limpasan permukaan. Hasil penelitian Partoyo dan Shiddieq (2007) menunjukkan bahwa perubahan hutan pinus menjadi lahan pertanian pada Ultisol menurunkan beberapa sifat fisika tanah seperti berat jenis, porositas, dan kemantapan agregat. Hasil penelitian Sunarti et al., (2008), menunjukkan bahwa aliran permukaan dan erosi pada tanah dengan tutupan hutan sekunder lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan dan erosi pada lahan usahatani karet dan kelapa sawit. Hal ini dikarenakan tutupan permukaan lahan yang baik oleh hutan menyebabkan sifat fisika tanahnya juga lebih baik dibandingkan dengan lahan usaha tani karet dan kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan beberapa sifat fisika tanah pada beberapa pengunaan lahan pertanian yang dikonversi dari hutan.

Sifat kimia tanah Ultisol
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik.
Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping ang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi
Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping (0%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah.
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organikhanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.
Peningkatan fraksi liat yang membentuk horizon argilik pada tanah Ultisol cukup merugikan karena horizon ini akan menghalangi aliran air secara vertikal, sebaliknya aliran horizontal meningkat sehingga memperbesar daya erosivitas. Pembentukan horizon argilik merupakan proses alami yang sulit dicegah, namun erosi yang terjadi dapat dihindari atau dikurangi dampaknya. Masalah Al umumnya terjadi pada tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan (weathering) dan pencucian (leaching), baik pelapukan dari bahan volkan, batuan beku, batuan metamorf maupun campuran dari berbagai jenis batuan sehingga mineral penyusunnya sangat bergantung pada asal bahan yang melapuk.
Oleh karena itu, tanah Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua kali pelapukan, yang pertama pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang kedua pada waktu pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kandungan Al pada batuan sedimen sudah sangat tinggi. Kondisi ini akan berbeda bila tanah Ultisol terbentuk dari bahan volkan dan batuan beku. Pada tanah tersebut Al hanya berasal dari
 pelapukan batuan bahan induknya. Kondisi ini juga masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan induk yang bersifat basa, pelepasan Al tidak sebanyak pada batuan masam, karena pH tanah yang tinggi dapat mengurangi kelarutan hidroksida Al.
Teknologi Pengelolaan Ultisol
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH ratarata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan kandungan bahan organic rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan organic.
Konversi hutan menjadi lahan pertanian tidak mengakibatkan perubahan tekstur tanah. Meskipun persentase distribusi ukuran partikel masing-masing berbeda tetapi masih pada kelas tekstur yang sama yaitu lempung berliat (Tabel 2). Kelas tekstur yang relatif sama pada semua penggunaan lahan menunjukkan bahwa konversi hutan menjadi lahan pertanian tidak mempengaruhi zarah tanah karena pembentukan tekstur lebih dipengaruhi oleh iklim. Selain itu baik lahan hutan maupun ketiga lahan pertanian tersebut diperkirakan berasal dari bahan induk yang sama yang memerlukan rentang waktu yang lama dalam proses perubahannya dan hal ini berhubungan dengan proses pelapukan, baik pelapukan fisika maupun kimia. Sejalan dengan pendapat Darmawijaya (1997) bahwa tidak berbedanya kelas tekstur pada beberapa satuan lahan disebabkan oleh satuan lahan tersebut mempunyai bahan induk yang sama. Selain itu tekstur tanah merupakan sifat tanah yang sangat sukar mengalami perubahan. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Soepardi (1983) bahwa proses pembentukan tanah melalui pelapukan batuan dan mineral membutuhkan waktu yang lama yaitu diperkirakan antara 100-200 tahun. 

Tabel : Distribusi ukuran partikel tanah pada lahan hutan dan lahan pertanian











BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini yaitu :
Pada umumnya Ultisol mempunyai penampang tanah yang dalam sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Semua tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi (> 16 cmol/kg) sehingga sangat menunjang dalam pemupukan. Penampang tanah yang dalam dengan kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi menjadikan tanah Ultisol dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman. Namun demikian, faktor iklim dan relief perlu diperhatikan.
Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman perkebunan.
Konversi hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan beberapa sifat fisika Ultisol, diantaranya penurunan porositas, permeabilitas, pori drainase cepat, pori air tersedia dan peningkatan bobot volume.
Saran
Adapun saran pada dalam makalah ini yaitu :
1. Untuk memanfaatkan tanah Ultisol yang memiliki kemasaman tinggi, kandungan bahan organik yang rendah, dan erodibilitas tinggi maka harus dilakukan pengelolaan dan konservasi tanah yang baik dan benar.
2.  Tanah-tanah Ultisol baiknya di tanami oleh tanaman-tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri


DAFTAR PUSTAKA

Buckman, H. D dan N. C Brandy.982. The Nature And Properties of Soil. Terjemahan Soegiman. Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Darmawijaya, M. I. 1997. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia.Gajah Mada Universitas Press. Yokyakarta.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademik Presindo, Jakarta.
 Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 
Mahfudz. 2001. Peningkatan Produktivitas Lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui Usahatani Konservasi. Makalah Pribadi Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana, Institut  Pertanian Bogor.Bogor. http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/indiv2001/mahfudz.htm. Diakses 1 April 2010. 
PPT. 1994. Penuntun Analisis Fisika Tanah. Bogor. 
Partoyo dan D. Shiddieq. 2007. Perubahan Sifat Kimia dan Fisika Ultisol Akibat Konversi Hutan Alami dan Hutan Pinus Menjadi Lahan Pertanian. Dalam : Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI. Bogor, 17 – 18 Desember 2007. 
Soepardi, G. 1983. Sifat Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor. 
Sunarti, N. Sinukaban, B. Sanim, dan S. D. Tarigan. 2008. Konversi Hutan Menjadi Lahan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit serta Pengaruhnya Terhadap Aliran Permukaan dan Erosi Tanah di DAS Batang Pelepat. Jurnal Tanah Tropika 13:3: 253-260. 


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pencemaran Laut dari Tumpahan Minyak (Oil Spill))

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM INVENTARISASI SUMBER DAYA HUTAN “Angka Bentuk Pohon Hutan Tanaman Dan Struktur Serta Komposisi Tegakan Hutan Alam”

MAKALAH TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)