LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN DAS
“Potensi Penggunaan Lahan Pertanian Pada Daerah Aliran Sungai di Kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Dengan Menggunakan Arcgis”
Oleh :
NAMA : SAHRUN
NIM : M1A1 16 174
KELAS : KEHUTANAN C
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Potensi Penggunaan Lahan Pertanian Pada Daerah Aliran
Sungai di Kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Dengan Menggunakan Arcgis
Nama : Sahrun
Stambuk : M1A1 16 174
Kelas : Kehutanan C
Jurusan : Kehutanan
Fakultas : Kehutanan dan Ilmu Lingkungan
Nama Kelompok : V
Sahrun (M1A1 16 174)
Nurul Ajun Alam (M1A1 16 178)
Oki Rahman (M1A1 16 160)
Husnul Usman (M1A1 16 022)
Wa Ode Asriani Anisa (M1A1 16 212)
Muhammad Iksan (M1A1 16 219)
Asisten Praktikum
(...........................)
I. PENDAHLUAN
Latar Belakang
Penggunaan lahan merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dari dari citra. Penggunaan lahan tersebut biasanya berupa pertanian atau perkebunan, pemukiman, pertambakan, pengelolaan hutan produksi, pertambangan, dan lain-lain. Penggunaan lahan telah dikaji dari beberapa sudut pandang yang berlainan, sehingga tidak ada satu definisi yang bebar-benar tepat didalam keseluruhan konteks yang berbeda. Contoh penggunaan lahan semacam lahan pertanian. Lahan pertanian adalah lahan yang ditujukan atau cocok untuk dijadikan lahan usaha tani untuk memproduksi tanaman pertanian maupun hewan ternak. Lahan pertanian merupakan salah satu sumber daya utama pada usaha tani. Lahan pertanian di buka biasanya dekat dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebab, wilayah ini cocok dilakukan penggarapan lahan pada musim kemarau tiba. Penggunaan lahan dekat area DAS sangat baik dilakukan akan tetapi tetap memperhatian kondisi DAS agar tidak rusak. Hal ini menguntungkan pada saat musin kemarau tiba akibat tanaman kekurangan air sebab dapat dilakukan penyiraman dengan mudah.
Degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2017).
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuarake danau atau laut. Istilah yang juga umumdigunakan untuk DAS adalah daerah tangkapan air (DTA) atau catchment atau watershed. Batas DAS adalahpunggung perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya. Karena air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah sepanjang lereng maka garis batas sebuah DAS adalah punggung bukit sekeliling sebuah sungai. Garis batas DAS tersebut merupakan garis khayal yang tidak bisa dilihat, tetapi dapat digambarkan pada peta (Fahmudin et al, 2004).
Kawasan Sub DAS Sengarit sendiri digunakan untuk pembukaan lahan, kegiatan pertanian, perkebunan, pembuangan limbah pabrik, kawasan tempat tinggal, dan kebutuhan air lainnya. Hal ini menyebabkan timbulnya dampak negatif terhadap kondisi perairan dan fungsi hidrologis Sub DAS Sengarit. Dampak negatif ini dapat dilihat pada aliran sungai yang menjadi kotor, adanya ikan yang mati dan juga ditemukan alur-alur sungai baru yang di sekitarnya terdapat lokasi seperti gurun-gurun kecil, selain itu tumbuhan yang berada di sekitar aliran tidak dapat tumbuh dengan baik (Imliyani dan Junaidi, 2017).
Kondisi sub DAS Sengarit saat ini telah banyak mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Pemanfaatan lahan dengan membuka lahan baru, baik untuk
kegiatan pertanian, perkebunan, pemukiman penduduk, maupun industri sering
tidak memperhatikan keberlanjutan kelestarian alam, sehingga menyebabkan
terjadinya perubahan ekosistem. Akibatnya adalah kerusakan alam, sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem. Akibatnya adalah kerusakan pada
sub DAS Sengarit. Kerusakan ini ditandai dengan sering terjadinya banjir pada
musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.
ArcGIS merupakan salah satu softwere yang dikembangkan oleh ESRI (Environt Science and Research Institue) yang merupakan kompilasi fungsi-fungsi dari berbagai macam softwere GIS yng berbeda seperti GIS desktop, server, dan GIS berbasis web. Melalui ArcGIS dapat digunakan untuk membuat peta potensi penggunaan lahan pertanian pada Daerah Aliran Sungai (DAS).
Berdasarkan uraian diatas dalam meningkatkan pemahaman mengenai DAS, maka perlu dilakukan praktikum yang berjudul “Potensi Penggunaan Lahan Pertanian Pada Daerah Aliran Sungai di Kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Dengan Menggunakan Arcgis”.
1.1. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui potensi penggunaan lahan pertanian pada daerah aliran sungai di kawasan hutan pendidikan fakultas kehutanan dan ilmu lingkungan dengan menggunakan arcgis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan adalah bentuk wujud tutupan permukaan bumi, baik
secara alami atau intervensi manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan lahan adalah jenis-jenis bahan induk yang menentukan tingkat
kesuburan lahan, kemudian hal ini menentukan pola penggunaan lahan dan
pemusatan penduduk. Selain itu, faktor lereng dan ketinggian tempat juga
memiliki peranan penting. Bahan induk dan kelerengan memiliki kaitan yang erat
dengan faktor kedalaman efektif tanah. Jumlah penduduk, penyebaran penduduk
dan profesi serta tingkat penggunaan lahan juga menentukan pola penggunaan
lahan dan pemusatan penduduk (Sandy 1977 dalam Sya’diah, 2015).
Meningkatnya laju pembangunan di dorong oleh semakin meningkatnya pertambahan penduduk di kawasan perkotaan. Hal ini berdampak pada semakin meningkatnya tingkat kebutuhan lahan sehingga terjadi konversi lahan.
Kegiatan konversi ini menyebabkan pengrusakan habitat, fragmentasi, pergantian spesies yang sensitif terhadap pesies migrasi, dan degradasi habitat aqutik.Jika hal ini terus berlangsung maka keanekaragaman hayati terancam punah. Kemerosotan keanekaragaman hayati adalah susutnya keanekaragaman hayati dalam luasan, kondisi atau produktivitas yang berkelanjutan dari ekosistem dan susutnya jumlah, distribusi atau pemanfaatan berkelanjutan dari populasi jenis dan kepunahannnya. Pengelolaan lahan berpengaruh terhadap kebutuhan keanekaragaman hayati (Mahdi, 2008 dalam Surni et al, 2015).
Perubahan atau evaluasi penggunaan lahan di wilayah DKI Jakarta secara nyata telah mengakibatkan berbagai probelamatika lingkungan hidup di DKI yang membawa bencana dari waktu ke waktu. Perubahan lahan hijau (vegatasi) yang memiliki kapasitas resapan air relatif tinggi ke bentuk lahan terbangun (penuh bangunan) menyebabkan kapasitas resapan lahan semakin rendah karena kawasan terbangun sangat kedap air. Indikasi ini dapat dilihat dari frekuensi dan intensitas terjadinya genangan banjir di wilayah DKI Jakarta setiap tahun di musim penghujan (Aries, 2002; Asdak, 2001; Transtoto, 2004 dalam Kunu dan Lelolterry, 2010).
Pembangunan lahan suatu kawasan mencerminkan fungsi ruang hidrogelogi kawasan tersebut. Banyaknya konversi lahan akan memperluas permukaan kedap air sehingga menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunnya pasokan airtanah dan meningkatnya limpasan permukaan. Perubahan ini pada akhirnya akan mempengaruhi sistem neraca air, sehingga fungsi hidrogeologis akan bergeser seiring ruang dan waktu (Maria dan Lestiana, 2014).
` Solusi untuk mengatasi penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya adalah untuk pemukiman yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya adalah menyarankan kepada pemerintah daerah setempat bersama-sama DPRD nya untuk membuat Perda yang mengatur tentang pemukiman. Sementara untuk sawah di kelas kemampuan lahan VI disarankan untuk diganti dengan tegal atau kebun campur; dan sawah di kelas kemampuan lahan VIII disarankan untuk diganti dengan tanaman tetap atau hutan. Semak belukar yang berada di kelas kemampuan lahan VIII juga disarankan untuk diganti dengan tanaman tetap atau hutan (Supriyandono, 2016).
2.2. Jenis Tanah
Penyebaran jenis dan karakter tanah di suatu daerah, biasanya disusun dalam suatu bentuk Peta Tanah. Peta ini sangat berguna bagi para petani dan telah disusun berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan langsung (observasi) di lapangan. Para pengambil kebijakan sebaiknya mempertimbangkan pula penyebaran jenis tanah berdasarkan Peta Tanah yang telah dibuat. Jangan sampai suatu wilayah dengan potensi tanah dapat menghasilkan produk pertanian unggulan, malah dijadikan lokasi perdagangan dalam master plannya. Peta Tanah dibuat secara berjenjang, misalnya Peta Tanah seluas wilayah kabupaten atau kecamatan (Hasriyanti et al, 2016).
DTA Rawa Jombor memiliki lima jenis tanah dengan nilai erodibilitas tanah berkisar antara 0,201-0,304. Nilai tersebut didapatkan dari nilai erodibilitas (K) yaitu jenis tanah di Indonesia (litosol, kompleks regosol kelabu dan grumusol kelabu tua regosol kelabu regosol coklat grumusol kelabu tua. Erodibilitas tanah merupakan faktor kepekaan tanah terhadap erosi. Nilai erodibilitas tanah yang tinggi pada suatu lahan menyebabkan erosi yang terjadi menjadi lebih besar dan sebaliknya. Faktor erodibilitas tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah dan juga kandungan bahan organik tanah (Wibowo et al, 2015).
Jenis tanah terbagi menjadi tujuh ordo tanah yaitu : 1. Andisol: andisol merupakan tanah berwarna hitam atau coklat tua, remah, kandungan bahan organik tinggi. 2. Incepticols: jenis tanah yang belum matang dengan perkembangan profil yang lambat, tekstur lempung hingga berpasir, menyerupai sifat bahan induknya. 3. Alfisol: tanah yang sangat lapuk, tekstur berat dan kadang-kadang lekat, struktur gumpal, bahan organik rendah, pH 6,0 - 7,5. 4. Ultisol: tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi (60%), remah sampai gumpal, gembur, permeabilitas rendah, pH 4,2- 4,8 (Hardjowigeno, 1992 dalam Maria dan Lestianna, 2014).
Erosi adalah pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat yang lain oleh media alami (Arsyad, 2010 dalam Fauzi dan Maryono, 2016). Erosi tanah mengurangi kemampuan tanah menahan air karena partikel-partikel lembut dan bahan organik pada tanah terangkut. Selain mengurangi produktifitas lahan dimana erosi tanah terjadi, erosi tanah juga menyebabkan problem lingkungan yang serius di daerah hilirnya. Sedimen hasil erosi mengendap dan mendangkalkan sungai-sungai, danau, dan waduk sehingga mengurangi kemampuan air dalam melakukan irigasi, pembangkit listrik, perikanan, navigasi, dan rekreasi (Suripin, 2002 dalam Fauzi dan Maryono, 2016).
2.3. Kelerengan
Kemiringan lereng merupakan factor yang perlu diperhatikan, sejak dari penyiapan lahan pertanian, usaha penanamannya, pengambilan produk-produk serta pengawetan lahan. Lahan yang mempunyai kemiringan dapat lebih mudah terganggu atau rusak, lebih-lebih bila derajat kemiringannya besar. Tanah yang mempunyai kemiringan >15% dengan curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan longsor tanah (Kartasapoetra, 1990 dalam Andrian et al, 2014).
Tidak terdapat hubungan yang kuat antara kemiringan lereng terhadap tekstur tanah pada berbagai posisi lereng, kemiringan lereng terhadap bahan organik tanah pada berbagai posisi lereng, kemiringan lereng terhadap permeabilitas tanah pada berbagai posisi lereng serta antara kemiringan lereng terhadap erodibilitas tanah pada berbagai posisi lereng. Kemiringan lereng 26-40% pada posisi lereng tengah dan atas mempunyai nilai erodibilitas yang tertinggi dibandingkan dengan kemiringan dan posisi lereng lainnya (Yulina et al, 2015).
Panjang lereng dan kemiringan lereng merupakan bagian dari faktor yang
menentukan besar erosi pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemetaan panjang lereng dan kemiringan lereng secara manual untuk suatu area yang luas secara manual melalui survey lapangan membutuhkan waktu, usaha dan biaya yang besar. Agar dapat dilakukan pemetaan panjang lereng dan kemiringan lereng dapat dilakukan dengan cara pemodelan menggunakan sistem informasi geografis. Hasil akhir dari pemetaan adalah berupa peta digital panjang lereng dan kemiringan lereng dari suatu DAS (Sukoco, 2009).
Untuk mengklasifikasikan kelas kemiringan lereng diperlukan suatu informasi geografis. Informasi geografis merupakan informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana
suatu objek terletak di permukaan bumi dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diketahui.. Dengan SIG akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan kelas kemiringan lereng dan memberi informasi mengenai permukiman yang melanggar kaidah yang berlaku. Dan untuk menginterpretasikan hasil dapat dilakukan melalui visualisasi 3D (Syah dan Hariyanto, 2013).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 29 September s/d 15 Oktober 2018 pukul 08.00 WITA sampai selesai dan praktikum ini bertempat di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo.
Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah : leptop, aplikasi Arcgis dan data shapefile (SHP).
Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada praktikum ini terbagi menjadi 3 bagian diantaranya ialah membuat peta DAS hutan pendidikan, penggunaan lahan, kelerengan dan jenis tanah, membuat peta lahan pertanian dan peta kawasan hutan pada lahan pendidikan dan mengoverlay peta wilayah DAS dan penggunaan lahan, wilayah DAS, kelerengan dan wilayah DAS dengan jenis tanah.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambar 1 (Peta DAS Hutan Pendidikan)
Penggunaan lahan
Kelerengan
Jenis Tanah
Gambar 2 Peta lahan pertanian dan kawasan hutan, Hutan Pendidikan
Lahan pertanian
Kawasan hutan
Gambar 3 ( Peta overlay)
Penggunaan lahan
4.1.3.1. Kelerengan
4.1.3.1. Jenis tanah
Pembahasan
ArcGIS saat ini dapat dikatakan sebagai software paling populer digunakan oleh mereka yang berkecimpung terutamanya di dunia Sistem Informasi Geografis (SIG) dan juga remote sensing (penginderaan jauh). Software ini dikembangkan oleh perusahaan ESRI, yang dirilis pada tahun 2000 silam. ArcGIS merupakan produk sistem software yang merupakan kumpulan (terintegrasi) dari produk software – software lainnya dengan tujuan untuk membangun SIG yang lengkap, dengan framework ArcGIS terdiri dari ArcGIS Desktop, ArcGIS Engine, ArcGIS Server, dan Mobile GIS.
Pembuatan peta menggukan ArcGIS sangat mudah dilakukan serta sangat membatu dalam penentuan lokasi. Peta akan menggambarkan sesuai dengan peta yang di buat seperti peta penggunaan lahan, jenis tanah, lereng, DAS Wanggu dan DAS Abeli dalam wilayah hutan pendidikan Sulawesi Tenggara.
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.
Pembuatan peta hutan pendidikan menunjukkan 2 (dua) DAS yaitu DAS Wanggu dan DAS Abeli dengan perbandingan 1:15.000. DAS Wanggu dan delapan DAS mikro di sekitarnya dengan luas ±45.377, ha memiliki fungsi penting dan peranan strategis di Sulawesi Tenggara karena bermuara di bagian teluk Kendari dan secara administrasi meliputi Kab. KonaweSelatan, Konawe dan Kota Kendari (BPDAS Sampara,2005).
Cara interpretasi kemiringan lereng pada citra satelit Aster dalam hal ini kadang harus berbenturan dengan data peta bentuk rupa bumi dengan skala 1: 15.000. Pada prinsipnya kemiringan lereng dapat dihitung dari kerapatan kontur pada peta bentuk rupa bumi. Semakin rapat garis konturnya disini dapat diasumsikan semakin curam lerengnya. Pada peta terlihat kemiringan lereng mencapai 15-25% dan lebih dari 40%. Serta jenis tanah yang terdapat dalam wilayah hutan pendidikan tersebut yaitu latosol dan regosol.
Setelah mengetahui kondisi konservasi aktual dan alami kemudian melakukan overlay terhadap kedua peta tersebut sehingga didapatkan nilai kesesuaian lahan. Nilai kesesuaian lahan menggambarkan fungsi konservasi dan kondisi hidrologi. Apabila nilai konservasi aktual lebih dari konservasi alami dikategorikan baik, jika kondisi konservasi aktual sama dengan konservasi alami dikategorikan normal, tetapi jika nilai konservasi aktual kurang dari konservasi alami maka dikategorikan (Maria dan Lestiana, 2014).
Pemahaman terhadap kondisi dan sistem hidrologi di wilayah ini akan dijelaskan dalam konteks ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Karakteristik spesifik DAS yang berkaitan dengan unsur-unsur seperti jenis tanah, tata guna lahan dan penutupan lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng memberikan respon terhadap curah hujan yang jatuh di wilayah tersebut . Karakteristik tersebut akan mempengaruhi nilai (kualitas dan kuantitas) dari peubah-peubah evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian (run off), air permukaan, kandungan air tanah dan sungai. Beberapa unsur yang memberikan pengaruh tersebut diatas, beberapa diantaranya dapat di rekayasa atau dapat dirubah sifat alaminya terkait dengan pemanfaatan di wilayah tersebut (Risdiyanto, 2017).
Pembuatan peta penggunaan lahan DAS memerlukan beberapa datadata dasar, yakni Peta Rupa Bumi Indonesia Digital Skala 1:15.000 dan Citra Google Earth Tahun 2014. Peta penggunaan lahan DAS Wanggu dan DAS Abeli dibuat menggunakan software ArcGIS 10.1 dengan membandingkan data penggunaan lahan Peta RBI dan penggunaan lahan aktual menggunakan citra satelit google earth 2014. Peta RBI digital selanjutnya ditampalkan dengan citra satelit google earth tahun 2014 hingga terlihat perubahan penggunaan lahan.
Sumberdaya lahan di dalam suatu kawasan DAS merupakan sumberdaya alam yang terbatas. Penggunaan lahan di DAS Abeli dan DAS Wanggu Hutan Pendidikan, Kecamatan beli disusun dan diuraikan berdasarkan Peta Digital Rupa Bumi Indonesia Skala 1:20.000 yang dibuat oleh masing-masing kelompok maupun individu.
Dari hasil kompilasi dan pembuatan pada peta, maka penggunaan lahan di DAS Abeli dan DAS Wanggu Hutan Pendidikan, Kecamatan Abeli, dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis penggunaan lahan, yaitu hutan lahan kering sekunder, pertanian lahan kering campur, dan hutan sekunder.
Penggunaan atau pemanfaatan lahan secara umum dapat didefinisikan
sebagai upaya modifikasi yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan
sekitarnya menjadi lingkungan terbangun yang betujuan memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Lahan merupakan potensi fisik yang secara
kuantitas tidak akan bertambah, sedangkan pertumbuhan penduduk
mengalami perkembangan yang cukup pesat dari waktu ke waktu.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Wanggu DS telah menunjukkan adanya konflik kepentingan antara upaya mempertahankan kualitas lingkungan dengan peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini membutuhkan penanganan yang serius melalui penataan penggunaan lahan yang baik, terencana dan penrapan agroteknologi yang tepat sehingga pembangunan pertanian dapat berkelanjutan, erosi, dan sedimentasi rendah, ketersediaan air merata sepanjang tahun dengan Qmax:Qmin < 30 (Alwi et al, 2011).
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan dapat mengakibatkan beberapa dampak negatif. Terlebih pada permukiman yang berada pada kawasan rentan, seperti kawasan lindung, maupun penyangga. Hal yang ditakutkan adalah terjadinya longsor akibat ketidakmampuan lahan dalam menopang penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristiknya. Sementara penggunaan lahan yang sudah sesuai dengan arahan fungsi pemanfaatan lahan harus dipertahankan. Pengawasan serta penjagaan dilakukan agar tidak terjadi alih fungsi lahan yang nantinya dapat mengganggu bahkan merusak keseimbangan. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat harus diciptakan guna menjaga kelestarian lingkungan (Ake et al, 2018).
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum pembuatan peta pada Potensi Penggunaan Lahan Pertanian Pada Daerah Aliran Sungai di Kawasan Hutan Pendidikan dengan menggunakan ArcGIS, dapat di simpulkan bahwa potensi penggunaan lahan yang dapat terpapar pada bagian hulu DAS wanggu dan DAS abeli adalah kawasan cagar alam semak belukar, tegalan dan kebun, ada bagian tengah adalah kebun, sawah irigasi, dan permukiman, sedangkan bagian hilir yang dapat terpapar adalah permukiman dan irigasi di sepanjang badan sungai. Olehnya itu, pemanfataan lahan harus diatur sesuai dengan kemampuan lahannya agar sumberdaya lahan yang ada dapat dimanfaatkan secara lestari dan mencegah terjadinya degradasi lahan
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam praktikum ini yaitu sebelum praktikum di lakukan harusnya di ajarkan terlebih dahulu cara membuat peta DAS hutan pendidikan oleh asisten. Sebab praktikan tidak bisa membuat peta sebelum di ajarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, L.O., Sinukaban, N., Solahuddin, S dan Pawitan, H. 2011. Kajian dampak perubahan penggunaan lahan terhadap degradasi lahan dan kondisi hidrologi das wanggu DS. AGRIPLUS, Vol. 21 (3): 214-223.
Andrian, Supriadi dan Marpaung, P. 2014. Pengaruh ketinggian tempat dan kemiringan lereng terhadap produksi karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di kebun hapesong PTPN III Tapanuli Selatan. Jurnal Online Agroekoteknologi. Vol. 2(3) : 981-989.
Fauzi, R.M.Z dan Maryono. 2016. Kajian erosi dan hasil sedimen untuk konservasi lahan DAS kreo hulu. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Vol. 12 (4): 429 – 445.
Hasriyanti1, Abbas, I dan Leo, M.N.Z. 2016. Aplikasi peta jenis tanah dalam mengidentifikasi lahan berpotensi untuk perkebunan kelapa sawit
di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Jurnal pendidikan geografi. Vol. 21(1) : 12-21.
Maria, R dan Lestiana, H. 2014. Pengaruh penggunaan lahan terhadap fungsi
konservasi air tanah di Sub DAS Cikapundung. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan. Vol. 24(2) : 77-89.
Sukoco. 2009. Pemodelan dan pemetaan panjang lereng dan kemiringan lereng
Daerah Aliran Sungai Dengan Sistem Informasi Geografis. Journal Speed – Sentra Penelitian Engineering dan Edukasi. Vol. 1(3) : 20-21.
Supriyandono, Senawi, Sabarnurdin, M.S dan Supriyo, H. 2016. Evaluasi penggunaan lahan sub DAS temon berdasarkan kelas kemampuan lahan. Jurnal Agroforestri. Vol. 11(1) : 11-22.
Surni, Baja, S dan Arsyad, S. 2015. Dinamika perubahan penggunaan lahan, penutupan lahan terhadap hilangnya biodiversitas di DAS Tallo, Sulawesi Selatan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. Vol. 1(5) : 1050-1055.
Syah, M.W. Hariyanto, T. 2013. Klasifikasi kemiringan lereng dengan
menggunakan pengembangan sistem informasi geografis sebagai evaluasi kesesuaian landasan pemukiman berdasarkan undang-undang tata ruang dan metode fuzzy. Jurnal Teknik Pomits. Vol. 10(10) : 1-6.
Wibowo, A., Soeprobowati, T.R dan Sudarno. 2015. Laju erosi dan sedimentasi
daerah aliran sungai rawa jombor dengan model usle dan sdr untuk pengelolaan danau berkelanjutan. Indonesian Journal of Conservation. Vol. 4(1) : 16-27.
Yulina, H., Saribun, D.S dan Adin, Z. 2015. Hubungan antara kemiringan dan posisis lereng dengan tekstur tanah, permeabilitas dan erodibilitas tanah pada lahan tegalan di Desa Gunungsari, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Agrikultura. Vol. 26(1) : 15-22.
Comments
Post a Comment