I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan memberikan peranan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Manfaat yang diperoleh dari keberadaan hutan, tidak hanya manfaat langsung (tangible yield) seperti hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu, namun juga manfaat yang diperoleh secara tidak langsung (intangible yield) seperti fungsi bhutan sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air. Berkaitan dengan manfaatnya yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya, hutan mempunyai peranan dan kedudukan yang strategis dalam kerangka pembangunan nasional.
Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Konsep hutan tersebut berbeda dengankawasan hutan yang didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Hutan di Indonesia ditiap hari terjadi degradasi dan deforestasi mencapai puluhan hektar. Faktor kerusakan tersebut salah satunya adalah konversi lahan, dari hutan alam menjadi lahan pertanian. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal memandang alam semesta ini, manusia menemukan solusi atau jalan untuk menyeimbangkan keadaan tersebut agar hutan tetap lestari dan lahan pertanian tetap .
Agroforestry adalah system teknologi penggunaan lahan, dimana tanaman berkayu ditanam secara sengaja pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak serta perikanan. Menurut (Huxely, 1999) menyakakan bahwa agroforestry merupakan sisterm penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomi antar komponen tanaman (Utami et al, 2003).
Keadaan tanaman pepohon dalam pengembangan agroforestry mempunyai dua peranan utama. Pertama dapat membantu dalam mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh besar pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan unsur hara dan energi, dan menahan daya perusak air serta dari terpaan angin. Kedua hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan dan input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa serta produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga (Hariah et al, 2003).
Terung (Solanum melongena L.) merupakan komoditi hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Buah terug sering dijadikan sebagai sayur dalam melengkapi lauk pada menu sehari-hari dalam kehidupan. Buah terung juga dapat dijadikan menjadi aneka makanan ringan atau camilan. Kadiret al. (2015) menyatakan bahwa anyaknya bentuk makanan ringan yang dikomsumsi oleh masyarakat saat ini merupakan salah satu bentuk kegemaran oleh para konsumen dalam mengkomsumsi makanan ringan. Aer et al. (2013) menyatakan bahwa pada umumnya masyarakat telah mengenal, mengonsumsi terung ungu dan menggunakannya secara empiris dalam pengobatan diabetes.
Tanaman terung mempunyai khasiat sebagai obat karena mengandung alkaloid solanin, dan solasodin yang berfungsi sebagai bahan baku kontrasepsi oral. Terong juga mrupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang digemari oleh masyarakat karena selain memiliki rasa yang enak, juga banyak mengandung vitamin dan gizi seperti; vitamin A, vitamin B, vitamin C, kalium, fosfor, zat besi, protein, lemak, dan karbohidrat. Buah terung juga diekspor dalam bentuk awetan, terutama jenis terung ungu.
Berdasarkan utaian diatas, maka perlu dilaksanakan praktikum agroforestri yang berjudul adaptasi perubahan iklim dengan model agroforestri.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan di laksanakannya praktikum ini yaitu untuk mengetahui adaptasi perubahan iklim dengan model agroforestri.
Kegunaan di laksanakannya praktikum ini yaitu agar dapat mengetahui adaptasi perubahan iklim dengan model agroforestri.
1.3. Hipotesis
Pemberian pupuk kandang terhadap tanaman jagung dan terung berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroforestri
2.1.1. Pengertian Agroforesteri
Agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis (Hairiah et al, 2003).
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinas ikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini, terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan sehingga akan mengurangi risiko kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta mengurangi kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur-ulang sisa tanaman (Ruijter dan Agus, 2004).
2.1.2. Manfaat Sistem Agroforestri
Agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat pada masyarakat atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan panga. Tingginya laju pertumbuhan penduduk mengindikasikan meningkatnya pangan yang harus tersedia. Pencapaian sasaran peningkatan produksi pangan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi melalui peningkatan teknologi budidaya dan ekstensifikasi antara lain dapat dilakukan melalui perluasan areal pertanian dilahan hutan dengan sistem agroforestry. Kementrian kehutanan merupakan salah satu sektor yang ikut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan, yang antaralain mendapat tugas menyediakan lahan hutan untuk pengembangan pangan seperti dalam bentuk tumpangsari atau agroforestry. Tumpangsari atau agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan diamana pada lahan yang sama ditanam secara bersama-sama tegakan hutan dan tanaman pertanian. Manfaat yang diperoleh dari ogroforestry adalah meningkatnya produksi pangan, pendapatan petani, kesempatan kerja, dan kualitas gizi masyarakat bagi kesejahteraan petani sekitar hutan (Mayrowani dan Ashari, 2011).
Adapun keunggulan-keunggulan dari agroforestry ini yaitu (a) pengolahan dan pemanfaatan lahan yang lebih efektif dan efesien, (b) kesinambungan ekologi dan ekonomi tetap terjaga, (c) pendapatan yang diperoleh dari praktik agroforestry adalah setara atau bahkan bisa lebih besar ketimbang pendapatan di luar agroforestry, (d) waktu panen dapat bervariasi antara satu produk agroforestry dengan produk lainnya, dan (e) dapat mengurangi kerugian akibat gagal panen terhadap salah satu produk agroforestry (Zega, 2015).
2.1.3. Pengaruh Agroforestri Terhadap Iklim
Agroforestri memberikan tawaran yang cukup menjanjikan untuk mitigasi akumulasi GRK di atmosfer (IPCC, 2000), karena pohon yang ditanam petani pasti bermanfaat secara ekonomi dan kadang-kadang memberikan nilai ekologi. Gas CO2 sebagai salah satu penyusun GRK terbesar di udara diserap pohon dan tumbuhan bawah untuk fotosintesis, dan ditimbunnya sebagai C-organik (karbohidrat) dalam tubuh tanaman (biomasa) dan tanah (bahan organik tanah) dalam waktu yang lama, hingga mencapai 30-50 tahun. Selama tidak ada pembakaran di lahan, emisi gas karbon dioksida (CO2) ke atmosfer dapat ditekan (Hairiah dan Ashari, 2013).
Agroforestri dapat berperan dan berfungsi mitigasi dengan membandingkan tapak yang sebelumnya tanpa vegetasi dengan agroforestri akan menyimpan karbon atau akan menyerap karbon, sehingga efek GRK akan berkurang. Jika dibandingkan dengan vegetasi berhutan, akan berbeda, tetapi pencegahan disini tidak berarti pencegahan total, tetapi mengurangi emisi GRK dengan menyerap karbon yang ada. Sistem agroforestri juga dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim melalui perbaikan iklim mikro dan pencapaian ketahanan pangan (Butarbutar, 2011).
2.1.4. Pengaruh Agroforestri Terhadap Kesuburan Tanah
Penurunan kesuburan tanah menyebabkan gangguan terhadap proses pertumbuhan tanaman yang menjadikan media tanah tersebut sebagai media tumbuh. Tanah sudah selayaknya menyediakan unsur hara yang cukup agar tanaman dapat hidup normal. Kualitas tanah dapat dipertahankan melalui pemanfaatan lahan yang bijaksana. Agroforestry merupakan solusi bagi pemanfaatan lahan yang tetap menjaga kesuburan tanah saat ini. Pemafaatan tanah melalui agroforestry ini dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan pertanian dan/atau peternakan pada suatu lahan secara bergiliran atau bergantian (Fahruni, 2017).
Penerapan sistem agroforestri tradisional maupun modern sangat terkait dengan komponen tanah dan pengelolaannya. Beberapa sistem pertanian tradisional misalnya ‘ladang berpindah’ dan sistem multistrata pohon (kebun campuran) seringkali terpaksa dilakukan untuk tujuan pemulihan dan pemeliharaan kesuburan tanah. Penerapan sistem penggunaan lahan dengan memasukkan komponen pepohonan atau agroforestri dapat memberikan beberapa keuntungan terhadap tanah. Menurut Young (1997) ada empat keuntungan yang diperoleh melalui penerapan agroforestri antara lain adalah: (1) memperbaiki kesuburan tanah, (2) menekan terjadinya erosi (3) mencegah perkembangan hama dan penyakit, (4) menekan populasi gulma (Suprayogo, 2003).
2.2. Tahapan Pengelolaan Lahan Agroforestri
Agroforestry dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan dapat ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak (Widyawanto, 2016).
Sistem agroforestri telah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh para petani di berbagai daerah dengan aneka macam kondisi iklim dan jenis tanah serta berbagai sistem pengelolaan. Pengelolaan sistem agroforestri meliputi pengolahan tanah, pemupukan, penyiangan, pemangkasan, dan pemberantasan hama/penyakit, seringkali berbeda-beda antar lokasi dan bahkan antar petani. Sistem pengelolaan yang berbeda-beda itu dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi biofisik di antaranya tanah dan iklim, perbedaan ketersediaan modal dan tenaga kerja, serta perbedaan latar belakang sosial-budaya. Oleh karena itu, produksi yang dihasilkan dari sistem agroforestri juga bermacam-macam, misalnya buah buahan, kayu bangunan, kayu bakar, getah, pakan, sayur-sayuran, umbiumbian, dan biji-bijian (Widianto et al, 2003).
2.3. Teknik Pengukuran Tanaman
2.3.1. Faktor yang Mempengaruhi Kesalahan Pengukuran
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalah-kesalahan dalam pengukuran tanaman, antara lain kesalahan dalam melihat puncak pohon, pohon yang diukur tingginya dalam keadaan tidak tegak, jarak antara pengukuran dan pohon tidak diatas ataupun karena jarak ukur tidak tepat (Marhamah, 2015).
Kesalahan dalam pengukuran merupakan hal yang biasa terjadi dalam pembelajaran, namun hal ini sebisa mungkin harus diminimalisir agar kesalahan pengukuran yang terjadi tidak begitu mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Salah satu faktor yang paling mendasar dalam kesalahan pengukuran adalah alat ukur itu sendiri. Salah satu langkah yang bisa guru lakukan untuk meminimalisir hal tersebut, guru harus bisa membuat alat ukur yang valid dan reliabel, agar alat ukur tersebut bisa menghasilkan kesalahan pengukuran yang sekecil mungkin. Pada umumnya untuk membuat alat ukur yang memiliki tingkat kesalahan pengukuran yang kecil tidak mudah, guru harus selalu mengevaluasi dan memperbaiki alat ukur yang dibuatnya dengan cara selalu melakukan analisis butir soal secara kontiniu dan mengestimasi besarnya kesalahan baku pengukuran dari alat ukur yang dirancang atau dibuat oleh guru (Ruslan, 2017).
2.3.2. Alat yang Digunakan dalam Pengukuran Tanaman
Pengukuran diameter pohon dapat dilakukan dengan berbagai alat antara lain phi-band, garpu pohon, dan pita keliling (Ryan, 2015). Untuk pohon tanpa banir, pengukuran diameter dilakukan pada ketinggian 1,3 meter di atas tanah atau kurang lebih setinggi dada, sedangkan pada pohon berbanir dilakukan 5–10 cm di atas banir. Untuk memperoleh data diameter tanpa kulit (dtk), sekalipun informasi ini lebih penting daripada diameter dengan kulit (ddk), namun pengukuran ini biasanya memerlukan lebih banyak waktu dan relatif mahal dengan kemungkinan kesalahan yang lebih besar jika dilakukan pada saat pohon berdiri (Li & Weiskittel, 2011 dalam Endom & Soenarno, 2018).
2.4. Hama dan Penyakit
2.4.1. Pengertian Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit merupakan salah satu masalah penting bagi produktivitas tanaman, apalagi dibudidayakan di lahan basah (sawah). Keadaan lingkungan yang cenderung lembab menjadi faktor pendukung meningkatnya serangan penyakit (Rondo, 2006).
Hama dan penyakit adalah kendala utama dalam budidaya tanaman perkebunan yang dapat menurunkan produksi sampai 40% serangan nematoda pada kopi padat menurunkan hasil sampai 30% penyakit cacar daun pada karet yang berumur 5-10 tahun dapat menurunkan produktivitas sampai 30% serta penyakit layu pada nilam dapat menimbulkan kerugian antara 60-90%. Kemunculan serangan hama penyakit tersebut pada tanaman disebabkan oleh berbagai faktor (Kementrian Pertanian, 2011).
2.4.2. Perbedaan Hama dan Penyakit
Pengamatan hama dilakukan secara langsung yaitu dengan mengamati jenis hama, gejala serangan dan menghitung populasi hama. Pengamatan tentang tingkat populasi hama hanya dilakukan terhadap hama yang dianggap dominan pada saat pengamatan di lapang. Serangga yang belum teridentifikasi, serangga tersebut dimasukkan ke dalam plastik atau botol yang berisi alkohol 70% dan diidentifikasi di Laboratorium. Pengamatan penyakit dilakukan secara langsung dengan mengamati gejala yang ditimbulkan, kemudian membawa contoh tanaman sakit untuk diidentifikasi di laboratorium. Identifikasi cendawan Deuteromycetes yang menyebabkan penyakit dilakukan menggunakan kunci identifikasi Barnett dan Hunter (1999). Sedangkan identifikasi penyebab penyakit layu bakteri dilakukan dengan menggunakan media selektif (Rizky, 2013).
Hama adalah semua binatang yang menimbulkan kerugian pada pohon hutan dan hasil hutan seperti serangga, bajing, tikus, babi, rusa dan lain-lain. Tetapi kenyataan di lapangan hama yang potensial dan eksplosif menimbulkan kerugian adalah dari golongan serangga. Sehingga masyarakat umumnya mengidentikan hama sama dengan serangga. Penyakit adalah adanya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotik /abiotik) yang mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan dalam bentuk patologi yang khas yang disebut gejala/tanda. Gejala/tanda inilah yang memberikan petunjuk apakah pohon di dalam hutan sehat atau sakit (Anggraeni, 2012).
2.4.3. Jenis Hama Penyakit yang Menyerang Tanaman Pertanian
2.4.3.1. Hama Jagung
Hama dan penyakit merupakan kendala pada budi daya jagung. Ada beberapa jenis hama dan penyakit yang merupakan kendala utama dalam budi daya jagung yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil. Hama utama yang menyerang tanaman jagung adalah lalat bibit, ulat tanah, lundi (uret), penggerek batang, ulat grayak, wereng jagung, penggerek tongkol. Hama di penyimpanan adalah kumbang bubuk dan Tribolium castaneum. Penyakit tanaman jagung adalah bulai, Virus Mozaik Kerdil, bercak daun, upih daun, busuk batang dan busuk tongkol. Cendawan yang banyak menginfeksi jagung di tempat penyimpan adalah Aspergillus flavus, A. Parasiticis. Pengendalian hama maupun penyakit yang menyerang jagung disesuaikan dengan fase pertumbuhannya (Surtikanti, 2011).
Hama dan penyakit utama pada ekosistem tanaman jagung manis varietas Bonanza F1 menunjukkan bahwa, terdapat 4 jenis hama dan 3 jenis penyakit utama yang menyerang tanaman jagung. Hama yaitu belalang (Oxya spp), lalat bibit (Atherigona exigua), ulat grayak (Spodoptera litura) serta ulat tongkol (Helicoverpa armigera). Penyakit yaitu hawar (Helminthosporium turcicum Pass), karat (Puccinia sorghi Schwein) dan bulai (Peronosclespora maydis) (Rondo, 2016).
2.4.3.2. Hama Terung
Hama kumbang Henosepilachna sparsa juga sebagai salah satu OPT terung. Hal ini dapat menyebabkan kerugian panen hasil. Kumbang pemakan daun (H. sparsa) merupakan salah satu hama penting pada terung dan leunca (Maulani 2015). Jenis serangga lain yang dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama tanaman pertanian adalah serangga pemakan daun dari ordo Coleoptera, yaitu kumbang koksi (Epilachna admirabilis). Pada daerah tertentu, misalnya di kecamatan Baturiti, kabupaten Tabanan Bali, kumbang koksi merupakan salah satu hama yang cukup mengkhawatirkan petani, karena serangga ini aktif memakan beberapa jenis tanaman sayuran, misalnya pada terung. Preferensi makan kumbang E. admirabilis terhadap tiga jenis daun cabai (Capsicum annum), terung (S. melongena) dan tomat (Lycopersicum esculentum) pada waktu 2 jam dan 24 jam menunjukkan preferensi makan kumbang tertinggi adalah pada daun tanaman terung dan diikuti oleh daun tomat, sedangkan daun cabai sama sekali tidak disukai oleh kumbang (Suyoga et al, 2016 dalam Apriliyanto dan Setiawan, 2019).
Kendala utama dalam meningkatkan produksi tanaman terong di daerah tropis adalah serangan hama dan tungau. Hama utama terong diantaranya adalah penggerek pucuk dan buah terong, wereng daun, kutu putih (whitefly), thrips, aphid, kumbang lembing, penggulung daun, penggerek batang, kumbang melepuh, tungau merah dan penyakit daun. Untuk melindungi tanaman terong para petani masih bertumpu pada penggunaan pestisida, misalnya di Philipina petani terong menggunakan pestisida selama satu musim dapat mencapai 56 kali penyemprotan dengan jumlah pestisida lebih kurang 41 liter pestisida dari berbagai merek dagang yang dikelompokkan kedalam empat kelompok pestisida (Gapud dan Canapi 1994; Orden et al., 1994 dalam Srinivasan, 2009).
2.5. Pupuk Organik
2.5.1. Pengertian Pupuk Organik
Dalam kementrian No. 2/Pert/Hk. 060/2/ 2016, tentang pupuk organik dan pembenah tanah, mengemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Darwis dan Rachman, 2011).
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari alam, yang berupa sisa-sisa organisme hidup baik sisa tanaman maupun sisa hewan. Pupuk organik mengandung unsur-unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh tumbuhan, supaya dapat tumbuh dengan subur. Beberapa jenis pupuk yang termasuk pupuk organik adalah pupuk kandang, pupuk hijau, kompos dan pupuk guano (Handayani dkk, 2011). Bahan organik yang digunakan untuk pupuk organik terbagi menjadi dua yaitu : 1) bahan organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) tinggi dan C (Karbon) tinggi, contohnya pupuk kandang, daun legume (gamal, lamtoro, kacang-kacangan) atau limbah rumah tangga, 2) bahan organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) rendah dan C (Karbon) tinggi, contohnya dedaunan yang gugur, jerami, serbuk gergaji (Firmansyah, 2010 dalam (Winarni, 2013).
2.5.2. Cara Membuat Pupuk Organik
Pembuatan pupuk organik cair dapat dibuat menggunakan metode komposting sederhana. Komposter yang digunakan berupa galon 25 L dengan selang penghubung luar yang ujungnya dibenamkan dalam botol berisi air untuk menjamin keberlangsungan proses pengomposan dalam suasana anaerob. Produk pupuk organik cair yang dihasilkan memiliki kandungan hara makro yang beragam yang sangat tergantung pada campuran bahan organik pupuk yang digunakan. Lima produk pupuk yang telah berhasil diproduksi dengan bahan baku hijauan dan kotoran ternak dengan bahan tambahan terasi dan gula merah serta EM4. Produk pupuk tersebut memiliki kandungan NPK tertinggi masing-masing sebesar 0,16 %, 153,75 mg/L dan 663,98 mg/L (Kasmawan, 2018).
Dalam pembuatan pupuk organik bahan yang digunakan adalah sampah organik (daun tumbuhan), sekam (kulit padi), kotoran sapi, tanah dan air. Sedangkan alat yang digunakan adalah ember plastik, cangkul, karung goni, parang, sekop, sendok, neraca dan gelas ukur. Selanjutnya langkah kerja dalam pembuatan pupuk organik (Teruo, 1999) adalah: (1) memisahkan sampah organik (daun tumbuhan) dari sampah yang lainnya, (2) mencincang sampah organik dengan ukuran 2 cm, (3) mencampur sampah organik yang sudah dicincang dengan sekam dengan perbandingan 4 : 1, (4) membuat galian lubang dengan ukuran 100 cm x 100 cm dan kedalaman 120 cm (5) meletakkan campuran sampah organik sekam yang sudah dibasahi ke dalam lubang yang sudah disediakan setebal 12 cm, (6) meletakkan kotoran sapi yang sudah dibasahi di atas campuran sampah organik sekam setebal 6 cm, (7) mengaduk campuran di atas sampai rata, (8) mengulangi langkah 5, 6 dan 7 sampai 80% lubang galian terisi bahan pupuk organik, (9) menutup campuran tersebut dengan karung goni dan sedikit tanah, (10)mengaduk campuran tersebut sekali sehari (Raksun, 2016).
2.5.3. Sumber-Sumber Pupuk Organik
Pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain sisa tanaman (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur, limbah pasar, rumah tangga, dan pabrik serta pupuk hijau. Oleh karena bahan dasar pembuatan pupuk organik sangat bervariasi, maka kualitas pupuk yang dihasilkan sangat beragam sesuai dengan kualitas bahan dasar dan proses pembuatannya (Hartatik, 2015).
Pupuk organik yang dapat digunakan adalah kompos, pupuk kandang, azola, pupuk hijau, limbah industri, limbah perkotaan termasuk limbah rumah tangga. Bahan dasar pupuk organik, dalam bentuk kompos dapat berasal dari limbah pertanian, seperti : jerami dan sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, belotong, batang jagung, dan bahan hijau lainnya. Dengan berkembangnya permukiman, perkotaan, dan industri maka bahan dasar kompos makin beraneka. Bahan yang banyak dimanfaatkan antara lain : tinja, limbah cair, sampah kota dan permukiman (Sutanto, 2002). Ada banyak jenis pupuk dengan bahan dasar organik yang dapat digunakan petani sebagai pengganti pupuk anorganik. Beberapa jenis pupuk organik yang dapat digunakan tersebut antara lain pupuk kotoran ayam (3 ton/hektar), pupuk bokashi (2,5 ton/hektar), dan pupuk kompos (2,5 ton/hektar) (Anonim, 2007 dalam Elfarisna dan Nosa T. Pradana 2017).
2.5.4. Manfaat Pupuk Organik
Pupuk organik sangat bermanfaat untuk peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, dapat mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi, dan berfungsi penting terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan (Hapsari, 2013).
Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Disamping itu, dengan pemberian pupuk organik dalam jangka panjang mampu meningkatkan kandungan humus di dalam tanah. Dengan adanya humus tersebut air akan banyak terserap dan masuk ke dalam tanah, sehingga kemungkinan untuk terjadinya pengikisan tanah dan unsur hara yang ada di dalam tanah sangat kecil. Pupuk organik juga memiliki fungsi kimia yang penting seperti penyediaan hara makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur) dan hara mikro seperti zink, tembaga, kobalt, barium, mangan, dan besi meskipun dalam jumlah yang kecil, meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, dan membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti aluminium, besi, dan mangan (Benny, 2010 dalam
Prasetyo, 2014).
2.5.5. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Pertanian
Penggunaan pupuk secara setimbang akan meningkatkan produksi tanaman. Peningkatan produksi juga meningkatkan jumlah sisa – sisa tanaman (daun, batang, akar) yang tertinggal atau yang dapat dikembalikan ke dalam tanah. Kesetimbangan unsur hara tentang pengembalian 80% sisa – sisa tanaman dapat memperkaya cadangan unsur hara, sehingga mengurangi kebutuhan hara yang harus ditambahkan. Perlakuan ini jika dilakukan secara terus menerus akan mengurangi kebutuhan hara sehingga akan dicapai kondisi hara yang cukup untuk pertumbuhan dan produksi tanaman tinggi tanpa ada masukan pupuk dari luar. Pengembalian sisa – sisa tanaman ini akan memperbaiki sifat – sifat kimia dan fisika tanah, meningkatkan kemampuan menyimpan air, meningkatkan kemudahan pengolahan dan kesuburan tanah (Roidah, 2013).
Tanaman jagung tidak akan memberikan hasil maksimal manakala unsur hara yang diperlukan tidak cukup tersedia. Pemupukan dapat meningkatkan hasil panen secara kuantitatif maupun kualitatif. Lingga dan Marsono (2007) menyatakan bahwa, pupuk merupakan kunci dari kesuburan tanah karena berisi satu atau lebih unsur untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman (Pasta, 2015).
2.6. Biomassa dan Karbon
2.6.1. Pengertian Biomassa
Biomassa adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volumetertentu (a glossary by the IPCC,1995). Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas Biomassa hutan (Forest biomass ) adalah keseluruhan volume makhluk hidup dari semua species pada suatu waktu tertentu dan dapat dibagi ke dalam 3 kelompok utama yaitu pohon, semak dan vegetasi yang lain (Brown, 1997 dalam Sutaryo,2009).
Lodhiyal et al. (2003) dalam Purwanto (2012) menyatakan bahwa secara umum biomasa adalah total kandungan material organik suatu organisma hidup pada tempat dan waktu tertentu. Whittaker et al. (1975) menyatakan bahwa biomasa tumbuhan merupakan material kering dari suatu organisma hidup (tumbuhan) pada
waktu, tempat dan luasan tertentu, sehingga satuan biomasa tumbuhan biasanya dinyatakan dalam kg/m2 atau ton/ha. Biomasa pohon dalam penelitian ini dinyatakan dalam berat kering yang merupakan gabungan dari organ tanaman hidup yang berada di atas tanah (total aboveground biomass) yang komponen utamanya terdiri dari organ batang, cabang/ranting dan daun.
2.6.2. Pengertian Karbon
Karbon salah satu unsur terpenting dalam kehidupan sehari-hari dan berperan sebagai pembentuk Gas Rumah Kaca (GRK). Di sektor kehutanan, kontribusi terhadap GRK terutama disebabkan oleh gas karbon dioksida (CO2). GRK lain yang mengandung unsur karbon adalah gas metan (CH4), Cloro Fluoro Carbon (CFC), dan Per Fluoro Carbon (PFC). Konsentrasi gas-gas ini dalam skala global secara kumulatif dipengaruhi langsung oleh aktivitas manusia, meskipun gas-gas tersebut juga terjadi secara alamiah (Afriliyanti, 2017).
Karbon merupakan suatu unsur yang diserap dari atmosfer melalui fotosintesis dan disimpan di dalam biomassa vegetasi. Tempat penyimpanan karbon dalam pohon terdapat dalam biomassa batang, cabang, ranting, daun, bunga, buah, dan akar. Massa karbon pada setiap umur tanaman bervariasi. Variasi terjadi karena adanya perbedaan ukuran diameter. Semakin tinggi umur tanaman maka massa karbon menjadi semakin tinggi. Tingginya massa karbon pada tegakan hutan meningkat pada setiap peningkatan umur tanaman, hal ini disebabkan karena dengan meningkatnya umur tanaman maka pohon atau tanaman menjadi lebih besar yang dihasilkan dari proses fotosintesis (Suhartana dan Yuliawati, 2014).
2.6.3. Kandungan Biomassa dan Karbon Tanaman Pertanian
Kandungan biomassa pohon merupakan penjum lahan dari kandungan biomassa tiap organ pohon yang merupakan gambaran total material organik hasil dari fotosintetis (Hairiah dan Rahayu, 2007). Berdasarkan bagian pohon yang ditebang, dapat diketahui bahwa yang memiliki potensi biomassa paling besar adalah pada bagian batang berkisar antara 68,09-82,28% dari biomassa totalnya, kemudian diikuti bagian daun sebesar 4,17-14,44%, bagian ranting sebesar 6,16- 10,32% dan terkecil pada bagian cabang sebesar 7,15- 7,45% dari biomassa. Total biomassa diatas permukaan tanah pada hutan rawa gambut merang bekas terbakar (Solichin, 2010 dalam Tuah et al, 2017).
Biomasa masing-masing komoditas ditetapkan berdasarkan berat keringnya, selanjutnya ditentukan stok karbonnya. Biomasa dan stok karbon berbeda beda untuk setiap komoditas, mengingat bentuk tanaman dan usianya berbeda beda pada saat panen. Uraian nilai biomasa masing-masing komoditas sesuai kondisi saat dilapangan. Hasil analisa menunjukkan bahwa kandungan karbon batang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan karbon daun untuk semua jenis komoditas tanaman pertanian (Handayani et al., 2016).
2.6.4. Pengaruh Biomassa Terhadap Kondisi Lahan
Penambahan biomassa ke lahan pertanian merupakan salah satu cara upaya memodifikasi habitat, untuk meningkatkan kinerja arthropoda tanah sebagai bagian dari sistem pengelolaan hama, antara lain dengan menyediakan habitat yang sesuai untuk perkembangannya. Penambahan biomassa juga dapat mempertahankan kelembapan tanah, karena penambahan biomassa merupakan salah satu usaha menambah bahan organik pada tanah sehingga absorbsi air meningkat, selain itu juga memperbesar kapasitas menahan air dan memperkecil terjadinya kehilangan air serta mengendalikan gulma (Subiyakto et al., 2018).
Secara statistik menunjukkan bahwa biomassa akar pada lahan bervegetasi heterogen cenderung lebih tinggi dibanding lahan homogen. Perbedaan biomassa akar ini sesuai dengan hasil penelitian Suprayogo et al., (2004) menyatakan bahwa diversifikasi jenis tanaman dapat meningkatkan jumlah dan sebaran sistem akar. Pola tanam tumpang sari dengan komposisi vegetasi beraneka dapat meningkatkan jumlah bahan organik dalam tanah (Utaya, 2008).
2.7. Berat Volume Tanah
2.7.1. Pengertian Berat Volume Tanah
Berat volume tanah (Bulk density) merupakan perbandingan berat tanah dengan volume total tanah. Berat volume tanah salah satu sifat tanah yang mempengaruhi porositas tanah, pergerakan air, peredaran udara dan pergerakan akar tanaman. Besar kecilnya nilai berat volume tanah dipengaruhi oleh berat jenis partikel, susunan partikel dan bahan organik. Pada umumnya berat volume tanah untuk tanah pertanian berkisar antara 1,1 – 1,6 g/cm3 (Puja, 2016).
Berat volume tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang paling sering ditentukan, karena keterkaitannya yang erat dengan kemudahan penetrasi akar di dalam tanah, drainase dan aerasi tanah, serta sifat fisik tanah lainnya. Seperti sifat tanah yang lainnya, berat volume mempunyai variabilitas spasial (ruang) dan temporal (waktu). Nilai berat volume, Db, bervariasi antara satu titik dengan titik yang lain disebabkan oleh variasi kandungan bahan organik, tekstur tanah, kedalaman perakaran, struktur tanah, jenis fauna, dan lain-lain. Nilai Db sangat dipengaruhi oleh pengelolaan yang dilakukan terhadap tanah. Nilai Db terendah biasanya didapatkan di permukaan tanah sesudah pengolahan tanah. Bagian tanah yang berada di bawah lintasan traktor akan jauh lebih tinggi berat volumenya dibandingkan dengan bagian tanah lainnya (Agus et al., 2010).
2.7.2. Cara Menentukan Berat Volume Tanah
Berat volume tanah dapat ditetapkan secara langsung dengan menggunakan contoh tanah utuh (Blake and Hartge, 1986) dan secara tidak langsung atau pendugaan melalui pengukuran sifat-sifat tanah yang berhubungan dengannya. Pengukuran secra tidak langsung kadang0kadang tidak efisien dari segi waktu, biaya dan tenaga. Namun demikin, pertanyaan yang muncul adalah tentang keakuratan dari nilai-nilai dugaan yang diperoleh dari pengukuran tidak langsung bila dibandingkan dengan nilai-nilai dari hasil pengukuran langsung. Pernyataan ini sebagian dapat dijawab dengan menghubungkan beberapa sifat tanah yang mudah diukur dengan sifat-sifat yang akan diduga, lalu mengevaluasi keeratan dari hubungan tersebut (Hermawan, 2001).
Cara penentuan bulk density adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Agus et al., 2007) (1) Memindahkan contoh tanah yang berasal dari bor gambut atau dari ring secara kuantitatif ke dalam cawan aluminium. Jika menggunakan ring, maka dapat memindahkan contoh tanah yang berada dalam ring ke dalam cawan aluminium atau
mengeluarkan tanah dari ring terlebih dahulu. (2) Menimbang massa tanah basah yang berada di dalam cawan (dan ring) untuk menetapkan kadar air tanah. Massa tanah basah adalah Ms + Mw, dimana Ms adalah massa tanah dan Mw adalah massa air yang terkandung di dalam matriks tanah. (3) Mengeringkan contoh tanah di dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam sampai dicapai berat yang konstan. Berat konstan diperoleh dengan memasukkan contoh ke dalam desikator selama kurang lebih 10 menit sebelum penimbangan. (4) Menimbang berat kering tanah (Ms) + berat ring (Mr) + berat cawan (Mc) (5) Menentukan volume contoh tanah Vt Bila contoh tanah adalah contoh ring maka Vt = ðr2t, dimana r = radius bagian dalam dari ring dan t = tinggi ring (6) Menghitung bulk density (7) Mencuci dan mengeringkan ring dan cawan di dalam oven (105oC) selama 1-2 jam. Menimbang massa ring, Mr dan massa cawan, Mc (Yuniawati dan Suhartana, 2013).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 01 September – 31 Desember 2019. Praktikum ini bertempat di lahan Agroforestry, Kelurahan Watubangga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cangkul, parang, alat tulis menulis, mistar, GPS, camera dan ember. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tali rafiah, tali sheet, benih dan poly bag.
3.3. Prosedur Kerja
Prosedur dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
Membagi lahan kedalam plot 12 m x 13 m kemudian memasang ajir pada setiap sudut plot kemudian memasang tali rafia sekeliling plot sebagai pagar.
Membersihkan plot menggunakan parang dan pacul.
Mengemburkan tanah pada plot yang sudah dibersihkan.
Membuat bedeng pada plot yang sudah digemburkan dan dibersihkan sebanyak 5 dengan ukuran 2m x 12 m bedeng kemudian dilakukan pengemburan kembali pada bedeng.
Melakukan pengambilan titik koordinat pada plot dan pemasangan papan nama plot.
Melakukan pemupukan menggunakan pupuk organik pada bedeng.
Melakukan penyemaian benih tanaman.
Memindahkan tanaman pada bedeng yang sudah dipupuk dan digemburkan.
Melakukan penyiraman dengan rutin dan pengendalian gulma dengan cara mencabut gulma yang tumbuh.
Melakukan pengukuran pada tanamam sampai tanaman berbunga, ketika tanaman berbunga maka yang dihitung jumlah bunganya.
Melakukan pengukuran biomassa dengan mencabut tanaman sebanyak 200 gram dan dibungkus menggunakan kertas sampel serta dilakukan pengovenan selama 4 hari dengan suhu 80 °C.
Melakukan penimbangan kembali pada sampel tanaman yang telah diovenkan.
3.4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
3.4.1. Total Modal
3.4.2. Total Keuntungan
3.4.3. Keuntungan Bersih
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1. Letak dan Batasan Wilayah
Secara astronomis, Kecamatan Baruga terletak antara 3°59’47” -4°5’01” Lintang Selatan, serta antara 122°26’37” - 122°32’57” Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Kecamatan Baruga memiliki batas - batas yaitu: di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Wua Wua dan Puuwatu, sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Konawe Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kambu, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan (BPS, 2017).
Kecamatan Baruga memiliki luas Daerah daratan seluas 49,15 km2 atau 4.915 ha. Saat ini, Kecamatan Baruga terdiri dari 4 Kelurahan :
Kelurahan Baruga
Kelurahan Lepo-lepo
Kelurahan Watubangga
Kelurahan Wundudopi
Tabel 1. Batas Wilayah Kecamatan Baruga Menurut Kelurahan, 2017
No
Kelurahan
Sebelah utara
Sebelah selatan
Sebelah timur
Sebelah barat
1.
Baruga
Kel. Watubangga
Kab.Konawe Selatan
Kel. Lepo - Lepo
Kab.Konawe Selatan
2.
Lepo - Lepo
Kel. Wundudopi
Kel. Baruga
Kec. Kambu
Kel. watubangga
3.
Watubanggga
Kec. Puuwatu
Kel. Baruga
Kel. Wundudopi
Kab. Konawe Selatan
4.
wundudopi
Kec. Wua – Wua
Kel. Watubangga
Kel. Lepo - Lepo
Kel. Baruga
4.2. Iklim
Suhu Udara/Temperature (OC)
Bulan
Min
Maks/Max
Rata-rata/Average
(1)
(2)
(3)
(4)
1 Januari/January
23,4
35,0
28,1
2 Februari/February
24,0
34,2
27,8
3 Maret/March
23,4
33,8
27,4
4 April/April
23,8
33,2
27,5
5 Mei/May
23,6
32,8
26,8
6 Juni/June
23,2
30,8
26,0
7 Juli/July
21,0
31,2
26,1
8 Agustus/August
21,0
31,4
26,2
9 September/September
21,0
33,0
26,8
10 Oktober/October
23,4
35,0
28,3
11 November/November
23,8
34,0
28,7
12 Desember/December
24,0
34,8
28,4
Rata-Rata / Average
21,0
35,0
27,3
Comments
Post a Comment