SOSOK KEHADIRAN PEMIMPIN MILINEAL DAN BERKUALITAS BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KONAWE SELATAN PADA KONSTALASI PILKADA 2020

Image
Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sejumlah nama dari kader-kader potensial partai politik (Parpol) mulai bermunculan. Ada 270 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak salah satunya di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Ada tiga kandidat yang kini ramai diperbincangkan dikalangan masyarakat saat ini, selain itu ada muncul bakal calon bupati dari kalangan milienal. Hal ini menarik dibicarakan. Hal ini disampaikan Ode Undu yang menjabat sebagai Sektaris Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswah K...

Makalah Sikap Masyarakat Internasional Terhadap Lingkungan Hutan

MAKALAH
Asas/Prinsip 23
“Sikap Masyarakat Internasional Terhadap Lingkungan Hutan”






Oleh :
Nama : Sahrun
Nim : M1A116174
Kelas : kehutanan D

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017





KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “KRITERIA LINGKUNGAN MASYARAKAT INTERNASIONAL”, untuk memenuhi tugas mata kuliah PENGANTAR ILMU LINGKUNGAN,

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.



Kendari,2 April 2o17


                                                                                                     Penulis




















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB I. PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
B. Tujuan 
C. Batasan Masalah 
BAB II. PEMBAHASAN
Pendekatan masyarakat internasional ekologi dan upaya melindungi keanekaragaman hayati
Rehabilitasi dan sumber daya hutan 
Pengelolaan hutan tanaman
Hak pengusaahan hutan dan rehabilitasi lahan kritis
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan 
B. Kritik Dan Saran 
DAFTAR PUSTAKA 













BAB 1
PENDAHULUAN 

A.    Sejarah dan Perkembangan Hukum Lingkungan internasional
Deklarasi Stockholm 1979 merupakan pilar perkembangan hukum lingkungan international modern, artinya semenjak saat itu hukum lingkungan berubah sifatnya dari use-oriented menjadi environment-oriented .[1] hukum lingkungan yang bersifat use-oriented maksud produk hukum yang memberikan hak kepada masyarakat international untuk mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikannya. Misalnya Konvensi Hukum Laut  1958  secara umum hanya memberikan hak kepada Negara untuk mengambil smber daya kelautan, tetapi konvensi ini tidak mewajibkan Negara untuk menjaga laut dari tindakan pencemaran dan perusakan.
Adapun produk hukum yang bersifat environment-oriented adalah produk hukum yang tidak saja memberi hak kepada manusia untuk memakai lingkungan, tetapi juga membebani manusia dengan suatu kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikanya, misalnya Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi ini tidak saja memberikan hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumbe daya kelautan, tetapi juga memberikan kewajiban kepada Negara-negara agar menjaga lingkungan laut dari perusakan dan pencemaran dalam melakukan hal tersebut. Kewajiban menjaga lingkungan ini diatur pada part XII Konvensi Hukum Laut 1982.
Deklarasi Stockholm 1972 yang ditandatangani oleh 113 kepala Negara berisikan 26 prinsip pembangunan demi memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup generasi hari ini dengan tidak mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konsep ini disebut Sustainable Development atau pembangunan berkelanjutan yang kemusian dijadikan prinsip hukum dalam Deklarasi Rio 1992.
Deklarasi Stockholm memicu lahirnya beberapa konvensi internasional yang melindungi lingkungan hidup. Diantara konvensi itu adalah Konvensi Paris 1974 , Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi Wina 1985, Konvensi Perubahan Iklim 1992, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, dan lain-lainnya.

B. Tujuan
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan sebagai pen, paru-paru dunia, konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus diusahakan. Prinsip-prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan
C. Rumusan masalah
Meskipun dihadapkan pada berbagai masalah, selama Lingkungan hidup telah memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan nasional. Peranan hutan menjadi semakin penting terutama hasil hutan yang diolah sebagai komoditas ekspor. Dalam PJP II mendatang, diperkirakan pembangunan kehutanan akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala, di samping ada pula peluang.












BAB II PEMBAHASAN

Pendekatan masyarakat internasional ekologi dan upaya melindungi  keanekaragaman hayati
Ekologi membahas hubungan timbal balik antara manusia dangan lingkungan hidupnya, dimana selalu terjadi interaksi antara keduanya. Interaksi itu terjadikarena mereka saling membutuhkan, saling mempengaruhi, dan saling membentuk.Karena itu sesungguhnya terdapat saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya manusia dengan lingkungan hidupnya terdiri atas berbagai macam makhluk hidup beserta benda tak hidup membentuk suatu ekosistem, dimana masing-masing merupakan suatu sub ekosistem yang mempunyai fungsi masing-masing dalam satu kesatuan yang utuh. Kerusakan pada salah satu sub ekosistem akan mempengaruhi ekosistem yang lain termasuk manusia.
B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring dampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan prasarana. 
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.
Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas adalah kekhasan, keterancaman, dan kegunaan. Beberapa pendekatan yang digunakan dengan pendekatan jenis / spesies, pendekatan komunitas dan ekosistem,pendekatan kawasan dan manusia. Penilaian kawasan konservasi berdasar Pedoman Penetapan Kriteria Baku KKL yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995).
Keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya,`luasan kawasan,`keindahan alam ,`kenyamanan,`kemudahan pencapaian nilai sejarah, kehendak politik, aspirasi masyarakat. Kriteria umum penetapan kawasan konservasi dalam memilih calon lokasi konservasi adalah dengan mempertimbangkan Kriteria Ekologi, Kriteria Sosial, Kriteria Ekonomi, Kriteria Regional, dan Kriteria Pragmatik. Fungsi penetapan kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem.
C. Pengelolaan Hutan Tanaman
Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produk¬tivitasnya sudah semestinya tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode ter¬tentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
I. Pengelolaan Hutan Alam
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam eko¬sistem hutan tropika humida dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelo¬laannya sampai saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula.
Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia – TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struk¬tur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in¬ternal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat di¬perlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka penge¬lolaan hutan alam akan beralih ke hutan bekas tebang¬an. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebang¬an perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produk¬sinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tam¬paknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, peng¬adaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman, pem¬bebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini terjadi karena tindakan pen¬jarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po¬hon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat per¬tumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap berfungsi se¬bagai pembentuk struktur sehingga terus memberi¬kan jasa lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuai¬an lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pe¬ngelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh fak-tor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produk¬tivitas maupun jasa lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan produksi hendaknya di¬kaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hu¬tan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sa¬ngat tergantung sumber daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baik¬nya.
II. Pengelolaan Hutan Tanaman
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilaku¬kan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pesti¬sida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan out¬put utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman ma¬sih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas eko¬sistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penu¬runan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soe¬kotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produk¬tivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagai¬nya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 – 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi men¬jadi bencana besar bagi pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva & Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organi¬zation of The United Nations) juga melaporkan kondisi se¬rupa di banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tinggi¬nya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai berikut:
a. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan se¬hingga struktur hutan yang terbentuk selalu mono¬kultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional
b. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan
c. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran ta¬pak hutan yang ditandai dengan penurunan produk¬tivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus di¬ganti dengan jenis tanaman lain
d. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai penge¬lolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan ke-lembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan me¬nyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelola¬an hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkung¬an yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.
D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan KritisDari Repelita hingga masa Reformasi
Pada tahap awal pembangunan nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan kebijakannya untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi hutan diluar jawa, melalui ekspor log (kayu bulat) dan hutan menjadi agen pembangunan selama tiga dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu Provinsi, yaitu Kalimantan Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75 persen diantaranya eksport.
Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun 1969 menjadi US$ 564 juta tahun 1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam bentuk log, diantaranya ke Jepang 5,5 juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta m3, Afrika Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10 juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis, Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol 28,18 juta hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian membentuk kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional, dan mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar 585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh Indonesia. Menyita lebih dari 62,5 juta hektar (49%) hutan alam yang selanjutnta disebut “hutan negara”. Sekitar 28,18 juta hektar dikuasai oleh 10 perusahaan.
Pada tahun 1996, pemegang HPH berjumlah 445 menguasai areal seluas 54 juta hektar lebih, hampir 50% masih dikuasai 10 perusahaan besar yang sama. Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian disebabkan karena pelanggaran hukum dan menurunnya nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya, pencabutan izi lebih dari 100 HPH tidak berarti mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH dengan perioda kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan kelia perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I – V) atau dibentuk kembali menjadi usaha patungan antara perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan usaha milik negara.
Pada pertengahan tahun 1998, hanya 39 juta ha tetap berada ditangan pemegang konsesi diperusahaan swasta, sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5 perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada dibawah perusahaan patungan swasta dan negara, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan sebagai wilayah non kehutanan.Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279, sekitar 107 diantaranya dinyatakan tidak aktif. Pada tahun 2006, dengan sisa hutan produksi seluas 57.620.301,63 ha, tercatat ada 303 perusahaan yang memliki izin IUPHHK (pengganti HPH) yang mengusai 28 juta ha lebih.
Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan 17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen, konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan “rent seeker”. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun pihak perusahaan membenarkan alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya produksinya .Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu,pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun menjadi 9,1 juta meter kubik pertahun.
Hampir seluruh hutan produksi merupakan hutan alam. Hutan produksi tanaman terdapat di Jawa yang sebagian besar berupa hutan jati. Sejak tahun 1969 pengusahaan hutan sebagian terbesar dilakukan oleh swasta dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu tersebut produksi rata-rata per tahun kayu bulat adalah 26 juta meter kubik. Selama empat tahun terakhir Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu bulat turun menjadi 24,2 juta meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi 579 buah dengan luas areal konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin kelestarian hutan, para pemegang HPH dipersya¬ratkan untuk menyusun Rencana Karya Pengusahaan Hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan, melaksanakan sistem tebang pilih Indonesia dan melaksanakan pemeliharaan dan pena¬naman baru di areal yang tidak produktif serta melaksanakan pengamanan hutan.
Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun 1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun 1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar 40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan hak. Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block board, particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya dengan jumlah pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993 kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang terkait dengan HPH diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik. Perkembangan industri ini sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan kerja dan usaha, serta pendapatan masyarakat dan negara. Kapasi¬tas industri pengolahan kayu telah melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987 dalam usaha meningkatkan penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan, mulai dikembangkan pem¬bangunan hutan tanaman industri (HTI) melalui pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini digolongkan ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan sebagian dari investasinya dibiayai dengan dana reboisasi.
Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu hektare. Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur masak tebang. Oleh karena itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap produksi hutan alam, khususnya kayu lapis dan penggergajian, tetap masih sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi telah pula dimulai dalam Repelita V.
Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai luas 92,4 juta hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare, dan hutan konversi 21,6 juta hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu bulat dari hutan produksi tetap mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di samping itu dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton serta hasil hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun campuran juga menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang digunakan untuk keperluan peru¬-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.
Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992, investasi di bidang kehutanan rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per tahun. Pada tahun 1993 total investasi swasta pada bidang kehutanan diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun, yaitu terdiri atas investasi industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun dan kegiatan pembalakan (logging) sebesar Rp8,1 triliun.
 penggergajian merupakan industri kehutanan terbe¬sar. Walaupun demikian produktivitas per unit industri penggerga¬jian relatif rendah, yaitu sekitar 9 ribu meter kubik per tahun dibanding dengan kapasitas per unit industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter kubik per tahun. Pada tahun 1993 realisasi pro¬duksi kayu gergajian 4,0 juta meter kubik, kayu lapis 9,1 juta meter kubik dan pulpa 450 ribu meter kubik.
Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan. Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu bulat menjadi ekspor kayu olahan.
Pada tahun 1990 ekspor kayu gergajian setengah jadi dike¬nakan pajak ekspor yang tinggi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian hutan alam dan mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan barang jadi di dalam negeri. Kebijaksanaan ini telah menurunkan ekspor kayu gergajian se¬tengah jadi, tetapi telah meningkatkan industri kehutanan dalam negeri yang mengolah bahan jadi. Industri kehutanan ini yang mencakup antara lain industri perabot rumah tangga, komponen bangunan dan pulpa dan kertas, telah meningkatkan kesempatan kerja dan nilai tambah ekspor hasil hutan yang berupa barang jadi.
Pada tahun 1973 total ekspor kayu Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter kubik dengan nilai sekitar US$583,9 juta, dan ekspor kayu lapis baru mencapai sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah kebijaksanaan pelarangan ekspor kayu bulat dan peningkatan pajak ekspor kayu olahan setengah jadi dilaksanakan, maka pada tahun 1993 volume ekspor kayu lapis telah meningkat menjadi 9,6 juta meter kubik dengan nilai sekitar US$3,487 miliar. Peningkatan ekspor hasil hutan olahan telah menghemat sumber daya hutan per satuan nilai yang dihasilkan, di samping telah menghasilkan manfaat nilai tambah. Kayu lapis Indonesia telah menguasai lebih kurang 80 persen pasaran kayu tropis dunia.
Pelestarian Hutan dan Ekosistem
Pelestarian manfaat hutan alam, perluasan hutan baru yang berkualitas dan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi meru¬pakan upaya yang terus ditingkatkan untuk meningkatkan peranan dan fungsi hutan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup baik lingkungan lokal maupun lingkungan global. Di samping itu, pene¬tapan kawasan lindung yang berupa hutan gambut, hutan bakau, hutan lindung, kawasan konservasi, dan kawasan pelindung sempadan sungai dan danau, taman nasional, terumbu karang, dan sebagainya perlu diikuti dengan pembinaan dan pengelolaannya yang lebih baik. Pengelolaan hutan lindung, terumbu karang, taman nasional dan kawasan konservasi alam ditingkatkan terus agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat pula bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan ekonomi. Dalam upaya pelestarian kawasan lindung perlu diper¬hatikan pula kepentingan masyarakat sekitarnya, terutama dalam memperoleh manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manfaat ekonomi dari pengembangan pariwisata
Program Pembangunan Hutan Tanaman Baru
Program ini ditujukan untuk meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi. Sasaran dari program ini adalah selain untuk meningkatkan produksi hasil hutan juga untuk meningkatkan kesempatan masyarakat berparti¬sipasi dalam pembangunan hutan. Oleh karena itu, kegiatan utama dalam program ini adalah membangun hutan-hutan tanaman antara lain HTI baik yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta besar, koperasi, pengusaha menengah dan kecil, maupun yang dilaksana¬kan oleh rakyat. Pembangunan hutan tanaman baru tersebut dimaksudkan untuk menambah luas kawasan yang berhutan dan tidak merubah hutan alam menjadi hutan tanaman, sehingga kon¬versi hutan alam yang masih utuh dan produktif dapat dihindari. Produksi kayu sebesar 13,5 juta meter kubik akan dihasilkan dari hutan tanaman selama Repelita VI. Selama Repelita VI pembangunan HTI direncanakan seluas 1,25 juta hektare yang terdiri dari HTI pulpa seluas 500 ribu hektare, HTI Trans seluas 300 ribu hektare, budi daya tanaman unggulan (meranti) seluas 450 ribu hektare. Dikembangkan pula dalam program ini budi daya tanaman lainnya melalui hutan kemasyarakatan seperti rotan, sutera alam, dan lain-lain disertai pembuatan kebun benih yang mema¬dai. Keanekaragaman hayati dalam hutan tanaman baru juga ditingkatkan, melalui pencampuran jenis yang tepat dan serasi dengan ekosistem setempat.
Kesadaran Pemerintah untuk mewujudkan kelestarian SDH sekaligus keberlanjutan peran sosal ekonominya. Sumbangan SDH dari hutan alam terhadap pembangunan nasional sangat signifikant selama 2 dekade (1967 – 1980-an). Sisi negatif : banyak terjadi kerusakan hutan di sisi lain industri kayu telah dibangun besar-besaran. Tahun 1984 di Fakultas Kehutanan IPB diadakan lokakarya “Kini Menanam Esok Memanen” dihadiri seluruh komponen rimbawan. Kekhawatiran cukp rasional asumsi produksi kayu hutan alam 47 juta m3/tahun, pertumbuhan industri perkayuan nasional rata-rata 2 – 20 %, maka akan terjadi defisit bahan baku pada tahun 1988/1989 sebesar 1,92 juta m3/tahun untuk kayu perukangan dan 0.7 juta m3/tahun untuk pulp dan kertas
Program Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Hutan
Program ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan baik hasil hutan berupa kayu maupun nonkayu melalui pengembangan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi,. usaha menengah, usaha kecil dan tradisional. Kegiatan utama dalam program ini meliputi, antara lain (1) pengembangan usaha rakyat dalam mengolah hasil hutan melalui berbagai teknologi tepat guna dan mengembangkan akses ke pasaran hasil hutan olahan; (2) meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial usaha pengolahan hasil hutan rakyat melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan teknis, manajerial, dan kepemimpinan; (3) menumbuhkembangkan koperasi usaha pengolahan hasil hutan rakyat dan mendorong tumbuhnya kerja sama antara perusahaan swasta besar dan BUMN kehutanan dengan koperasi usaha pengolahan hasil hutan tersebut berdasarkan prinsip kemitraan usaha; dan (4) mengembangkan berbagai kemudahan berusaha bagi usaha menengah, kecil dan tradisional dalam pengolahan hasil hutan rakyat. Kegiatan¬- kegiatan tersebut dikaitkan pula dengan pengembangan perhutanan rakyat.
Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Pengelolaan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dalam pengelolaan hutan alam diupayakan untuk meningkat¬kan jenis hasilnya sehingga hutan alam dapat memberikan semua jenis hasil yang dikandungnya bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan masyarakat Indonesia pada umumnya tanpa merusak keanekaragaman jenis dan keutuhannya. Pemeliharaan kelestarian hutan akan menjadi lebih berhasil apabila masyarakat sekitar hutan ikut serta memeliharanya. Hal ini dapat dilaksanakan apabila masyarakat sekitar hutan ikut menikmati hasil dari hutan tersebut, oleh karena itu masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan diberikan hak dan kewajiban yang nyata atas manfaat dan kelestarian hutan alam di daerahnya melalui berbagai insentif dan disinsentif ekonomi, pembangunan solidaritas sosial, dan peraturan perundangan yang tepat.
Bersamaan dengan itu, kawasan hutan yang rusak terus dire¬habilitasi dengan jenis tanaman hutan bermutu tinggi yang serasi dengan fungsi lingkungan hidup, permintaan industri perkayuan, dan dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Areal bekas tambang yang tandus dan semacamnya dikembalikan menjadi kawasan hutan dan direhabilitasi agar menjadi hutan yang baik kembali. Semua usaha pembinaan sumber daya hutan yang baru, peningkatan produktivitas hutan dan peningkatan efisiensi pengolahan hasil diarahkan untuk menyerasikan kemampuan hutan dengan perkem¬bangan industri yang semakin meningkat. Pembangunan industri perkayuan yang efisien dan produktif serta menghasilkan hasil hutan bermutu tinggi dan barang jadi berkualitas lebih diutama¬kan.
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas hutan, produksi yang dipanen dari hutan, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman disesuaikan dengan kemampuan hutan tersebut untuk menghasilkannya secara lestari. Kemampuan hutan tanaman untuk menghasilkan jumlah dan mutu hasil yang lebih tinggi dan beraneka ragam ditingkatkan melalui pemilihan jenis unggul dan pemanfaatan teknologi dan kemampuan manajemen yang lebih baik. Dalam hubungan itu, upaya pemanfaatan limbah pembalakan hutan, dan pengolahan hasil hutan terus ditingkatkan pula sehingga jumlah hasil yang termanfaatkan menjadi lebih tinggi. Demikian pula insentif untuk melaksanakan pengurusan hutan yang baik dan disinsentif untuk mencegah sistem pembalakan yang merusak kelestarian hutan ditingkatkan. Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dari industri pengolahan hasil hutan, maka nilai bahan baku hasil hutan diatur sehingga mendekati harga pasar, sedangkan bagi pemakai hasil hutan yang kurang mampu dan miskin diberikan berbagai kemudahan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraannya dan kemampuannya berusaha, sekaligus merupakan perangsang untuk ikut memelihara keamanan dan kelestarian fungsi hutan.
Untuk meningkatkan penghasilan negara dari pengusahaan hutan, maka pungutan nilai tegakan yang harus dibayar oleh pengusaha hutan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan ke¬adaan harga pasar. Pungutan tersebut dilaksanakan di hutan berda¬sarkan volume dan jumlah pohon yang ditebang, yang senantiasa harus sesuai dengan rencana kelestarian hasil yang ditentukan.
Peningkatan Kemampuan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan
Kelembagaan dan perangkat hukum di bidang kehutanan terus dikembangkan untuk meningkatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat terutama usaha menengah, kecil dan tradisional dan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan pemerintah daerah dalam pembangunan kehutanan. Sejalan dengan upaya itu ditingkatkan pula kemampuan sumber daya manusianya serta sistem pendukungnya sehingga peranan dunia usaha, masyarakat sekitar hutan dan pemerintah daerah dapat menjadi lebih produktif lagi dalam upaya pelestarian hutan dan peningkatan manfaat hutan bagi pembangunan nasional. Dalam rangka peningkatan otonomi daerah, maka semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan konservasi tanah dan perhutanan rakyat secara bertahap dilimpah¬kan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Koordinasi yang lebih mantap ditingkatkan antara pembangunan industri dengan pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup agar kelestarian hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelan¬jutan dapat mulai terwujud dalam Repelita VI.
PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN
UU no 41 no 1999 tentang kehutanan, perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
1. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan , kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia , ternak , kebakaran , hama , serta penyakit.
a. Mempertahankan dan menjaga hak hak negara , masyarakat dan perorangan atas hutan , kawasan hutan , hasil hutan , investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Perlindungan hutan menurut Harley dan Stikel (1956)
- Perlindungan hutan merupakan bagian dari silvikultur yang membahas tentang metoda perlindungan terhadap hutan dan berbagai faktor pengganggu/ perusak gangguan hutan adalah setiap kejadian pada hutan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan kerusakan hutan terjadinya perubahan fisik atau sifat fisiknya urutan prosedur kerja menghadapi gangguan hutan :
1. Mengetahui macam faktor pengganggu
2. Mempelajari sebab sebab atau latar belakang terjadinya gangguan
3. Mempelajari mekanisme atau proses terjadinya gangguan dan kerusakan
mempelajari pengaruh atau dampak dari gangguan dan kerusakan
mencari metoda-metoda pengendalian gangguan hutan, sesuai dengan macam gangguan tersebut.
Program Rehabilitasi Lahan Kritis
Rehabilitasi lahan kritis ditujukan untuk memulihkan kondisi lahan yang sudah kritis, sehingga fungsinya meningkat baik seba-gai sumber daya pembangunan maupun sebagai penyangga sistem kehidupan. Rehabilitasi lahan kritis ini dilaksanakan pada kawas¬an hutan tetap yang rusak, tanah kritis pada lahan pertanian, dan lahan kritis lainnya. Kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksana¬kan meliputi, antara lain (1) merehabilitasi kawasan lindung yang kritis; (2) meningkatkan konservasi tanah pada lahan usaha tani yang kritis dan tidak produktif; dan (3) meningkatkan peran serta masyarakat perdesaan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan usahanya. Diutamakan rehabilitasi lahan kritis di daerah¬daerah yang miskin untuk meningkatkan mutu sumber daya alam agar kesejahteraan penduduk miskin dapat ditingkatkan.













BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengelolaan hutan dan perlindungan hutan harus sangat diperhatikan karena hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara lain; penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya; rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru dunia yang mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih (overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara dan kebakaran hutan. 
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus diusahakan. Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan. 
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. 2008. Rancangan Teknis Rehabilitasi     Hutan Mangrove Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Kerjasama BBKSDA Propinsi Sumatera Utara dengan CV. Agriforest Mandiri Faperta. Medan. 
Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita. Jakarta. 
Departemen Kehutanan R. I. Indonesia. 
Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta. 
Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku ( Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta, 10-12 Agustus 1995. 
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB-Press. Bogor. 

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pencemaran Laut dari Tumpahan Minyak (Oil Spill))

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM INVENTARISASI SUMBER DAYA HUTAN “Angka Bentuk Pohon Hutan Tanaman Dan Struktur Serta Komposisi Tegakan Hutan Alam”

MAKALAH TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)