PENGANTAR ILMU LINGKUNGAN
“ Dampak Perubahan Iklim Terhadap Lingkungan Hidup’’
OLEH :
SAHRUN
M1A1 16 174
KEHUTANAN D
JURUSAN KEHTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul ‘‘Dampak Perubahan Iklim Terhadap Lingkungan Hidup’’ pada mata Pengantar Ilmu Pingkungan. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami permasalahan iklim terutama dalam lingkungan hidup.
Harapan makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini masih jauh dalam kesempurnaan, oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kendari, Juni 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTA…………………………………………………………….....…...i
DAFTAR ISI…………………….……………..………………………………………ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………..………………...…………............1
Tujuan..…………………...………………..…………………..………..…...3
Kegunaan…………………………………………………………...…..……3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Perubahan Iklim……………………………………………………….4
2.2. Faktor-faktor Penyebab Iklim……………………………………….…………….6
2.3. Analisis Resiko Iklim……………………………………………….……………..7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Lingkungan………………….……………10
3.2. Sektor-Sektor Yang Berdampak pada Perubahan Iklim………………………...13
3.3. Strategi Mitigasi Terhadap Perubahan Iklim………..…….………..…………...15
3.4. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim……………………………….………….…17
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan……………...…………………………………………………..…...18
4.2. Saran……………………………………………………………………………..18
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….…………………19
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang awam akan arti pentingnya sebuah lingkungan, maka di dalam pandangannya, lingkungan hanyalah objek sederhana yang sekedar terkait dengan tumbuhan dan hewan. Padahal sesungguhnya, ruang lingkup lingkungan sangatlah jauh lebih luas daripada hal tersebut, yaitu menyangkut entitas menyeluruh dimana semua makhluk hidup berada. Dalam konteks pembangunan negara dan pemberdayaan masyarakat, segala aktivitas dan kegiatannya tidak dapat mengenyampingkan eksistensi lingkungan pada titik dan batas tertentu. Oleh karenanya, pembangunan dan pemberdayaan yang tidak memberikan perhatian serius terhadap lingkungan, sebaliknya justru akan menghasilkan anti-pembangunan dan anti-pemberdayaan, bahkan lebih negatifnya lagi dapat pula berakibat pada penderitaan hebat bagi umat manusia, serta meningkatnya angka kemiskinan dan penindasan terhadap hak asasi manusia.
Menurut Mattias Finger, krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal; teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak; rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya merugikan lingkungan, tindakan dan tingkah laku menyimpang dari aktor-aktor negara yang ‘tersesat’, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs; merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme; serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik. Beranjak dari hal tersebut, maka pada umumnya menurut Finger jalan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik; teknologi baru dan berbeda; penguatan komitmen politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-lingkungan (green thinking); penanganan lingkungan aktor-aktor ‘sesat’; serta merubah pola kebudayaan, tingkah laku, dan kesadaran tiap-tiap individu.
Akan tetapi dalam makalah kali ini, Penulis justru mencoba untuk membahas issu permasalahan lingkungan dengan tidak berpegangan pada mekanisme penanganan konvensional sebagaimana tersebut di atas. Pembahasan akan menggunakan cara pandang yang berbeda dan berada di luar kebiasaan kajian hokum lingkungan yang telah ada, yaitu melalui pendekatan hukum konstitusi (constitutional law). Kendati demikian, kajian ini tentunya tidak menafikan bahwa langkah-langkah konvensional tersebut juga telah membuahkan hasil. Namun sepertinya akan terasa tidak lengkap apabila suatu kajian berperspektif konstitusi tidak diikutsertakan di dalamnya. Oleh karena itu, pembahasan dalam makalah ini dimaksudkan untuk menambah alternatif sekaligus penguatan langkah solutif dalam rangka penanganan masalah lingkungan issu-issu terkait dengan lingkungan hidup.
Memang harus diakui bahwa hingga saat ini masih sangat jarang para ahli hukum dan lingkungan di Indonesia yang memberikan analisa mengenai korelasi dan pertautan antara peran konstitusi dengan mekanisme perlindungan terhadap lingkungan. Sebagai bahan kajian, Penulis akan mengambil salah satu permasalahan lingkungan yang kini telah menjadi keprihatinan dunia, yakni fenomena perubahan iklim(climate change).
Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominant ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi. Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim.
Perubahan temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga 0.74oC antara tahun 1906 hingga tahun 2005. Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari perubahan iklim terhadap lingkungan, membahas tentang resiko-resiko dan dampak dari perubahan iklim serta sektor-sektor yang terdampar, dan juga strategi mitigasi dan adaptasi perubahan lingkungan tersebut.
Kegunaan
Adapun kegunaan dari pembuatan makalah ini yaitu dapat dijadikan sebagai acuan, pedoman, dan sumber ilmu tentang dampak perubahan iklim terhadap lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang. LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.
IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.
Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global (Budianto, 2000).
Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1 bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
2.2. Proses Perubahan Iklim Dan Keadaan Saat Ini
Salah satu komponen iklim adalah temperatur. IPCC menemukan bahwa, selama 100 tahun terakhir (1906-2005) temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.74oC, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Tingkat pemanasan rata-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari yang terjadi pada 100 tahun terakhir. Akhir tahun 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas sejak adanya arsip data modern. Peningkatan pemanasan sebesar 0.2oC diproyeksikan akan terjadi untuk setiap dekade pada dua dekade kedepan.
Gas rumah kaca adalah salah satu kelompok gas dalam atmosfer yang dapat menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Sistem kerjanya adalah dengan mengembalikan pantulan sinar matahari dari permukaan agar tetap berada dalam sistem atmosfer bumi. Kondisi atmosfer bumi yang hangat memungkinkan manusia dan mahluk hidup lainnya tumbuh dan berkembang biak. Dengan demikian, pada dasarnya gas rumah kaca dan efeknya diperlukan untuk menjaga kehidupan di bumi. Tanpa adanya efek rumah kaca yang alami, suhu di permukaan bumi akan berada pada angka -18˚C bukan seperti suhu saat ini. Masalahnya yang terjadi saat ini adalah konsentrasi gas rumah kaca semakin bertambah melebihi tingkat normal sehingga sebagian radiasi yang berasal dari matahari maupun permukaan bumi terjebak oleh gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi tidak dapat ke luar angkasa dan kembali ke permukaan bumi sehingga memanaskan suhu bumi. Memanasnya suhu bumi memicu berbagai peristiwa seperti cuaca ekstri, kekeringan, kebanjiran bahkan mencairnya es dikutub.
Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfer (sebagian besar berupa karbon dioksida yang berasal dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas; ditambah gas-gas lainnya). Tingkat karbon dioksida sebelum masa industri (sebelum Revolusi Industri dimulai) adalam sekitar 280 ppmv, dan tingkat karbon dioksida saat ini adalah sekitar 370 ppmv (IPCC). Konsentrasi CO2 dalam atmosfer kita saat ini, belum pernah meningkat selama 420.000 tahun. Namun, berdasarkan laporan khusus dari IPCC mengenai skenario emisi (Special Report on Emission Scenarios –SRES), di akhir abad ke 21, bahwa konsentrasi karbon dioksida sebesar 490 – 1260 ppm (75 – 350%) di atas angka konsentrasi di masa pra industri. Karbon dioksida tersebut merupakan salah satu dari kontributor utama terhadap pemanasan global saat ini. Gas rumah kaca lainnya yang menjadi kontributor utama pemanasan global adalah metana (CH4) yang dihasilkan dari aktivitas agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2, juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
1). Dampak Perubahan Iklim Regional
Pola musim mulai tidak beraturan sejak 1991 yang mengganggu swasembada pangan nasional hingga kini tergantung import pangan. Pada musim kemarau cenderung kering dengan trend hujan makin turun salah satu dampak kebakaran lahan dan hutan sering terjadi. Meningkatnya muka air danau khususnya danau Toba makin susut dan mungkin danau/waduk lain di Indonesia, konsentrasi es di Puncak Jayawija Papua semakin berkurang dan munculnya kondisi cuaca ekstrim yang sering yang menimbulkan bencana banjir bandang dan tanah longsor di beberapa lokasi dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kajian dari IPCC 4AR yang menyinggung Indonesia secara spesifik antara lain : Meningkatnya hujan di kawasan utara dan menurunnya hujan di selatan (khatulistiwa). Kebakaran hutan dan lahan yang peluangnya akan makin besar dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas El-Nino. Delta Sungai Mahakam masuk ke dalam peta kawasan pantai yang rentan. (Murdiyarso, 2007).
2). Dampak perubahan iklim terhadap pertanian
Diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2o C sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Pada tahun 1991, Indonesia mengimpor sebesar 600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang diimpor lebih dari satu juta ton (KLH, 1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan menciptakan bibit unggul atau mengubah waktu tanam. Peningkatan suhu regional juga akan memberikan dampak negatif kepada penyebaran dan reproduksi ikan.
3). Dampak Perubahan iklim terhadap kenaikan Muka Air Laut.
Naiknya permukaan air laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). Akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah.
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.
4). Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.
Frequensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah meningkat. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan. ”Pemanasan global” juga memicu meningkatnya kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah.. Faktor iklim berpengaruh terhadap risiko penularan penyakit tular vektor seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Semakin tinggi curah hujan, kasus DBD akan meningkat. suhu berhubungan negatif dengan kasus DBD, karena itu peningkatan suhu udara per minggu akan menurunkan kasus DBD. Penderita alergi dan asma akan meningkat secara signifikan. Gelombang panas yang melanda Eropa tahun 2005 meningkatkan angka "heat stroke" (serangan panas kuat) yang mematikan, infeksi salmonela, dan "hay fever" (demam akibat alergi rumput kering).
5). Dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air.
Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air di daerah subpolar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya
6). Dampak perubahan iklim Sektor Lingkungan
Dampak perubahan iklim akan diperparah oleh masalah lingkungan, kependudukan, dan kemiskinan. Karena lingkungan rusak, alam akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Dampak terhadap penataan ruang dapat terjadi antara lain apabila penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi, memicu terjadinya gerakan tanah (longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam, berupa : banjir dan tanah longsor. Dengan kata lain daerah rawan bencana menjadi perhatian perencanaan dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang.
3.2. Sektor Lingkungan Hidup Yang Terdampak Perubahan Iklim
Adapun sector lingkungan hidup yang terdampak perubahan iklim antara lain sebagai berikut :
1). Dampak perubahan iklim pada Sektor Ekonomi
Semua dampak yang terjadi pada setiap sektor tersebut diatas pastilah secara langsung akan memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia akibat kerugian ekonomi yang harus ditanggung.
2). Dampak perubahan iklim pada pemukim perkotaan
Kenaikan muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter juga akan berdampak parah pada kota-kota pesisir seperti Jakarta dan Surabaya yang akan makin rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Masalah ini sudah menjadi makin parah di Jakarta karena bersamaan dengan kenaikan muka air laut, permukaan tanah turun: pendirian bangunan bertingkat dan meningkatnya pengurasan air tanah telah menyebabkan tanah turun.Namun Jakarta memang sudah secara rutin dilanda banjir besar:p ada awal Februari,2007,banjir di Jakarta menewaskan 57 orang dan memaksa 422.300 meninggalkan rumah, yang 1.500 buah di antaranya rusak atau hanyut.Total kerugian ditaksir sekitar 695 juta dolar.
Suatu penelitian memperkirakan bahwa paduan kenaikan muka air laut setinggi 0,5 meter dan turunnya tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan enam lokasi terendam secara permanen dengan total populasi sekitar 270,000 jiwa, yakni: tiga di Jakarta – Kosambi, Penjaringan dan Cilincing; dan tiga di Bekasi – Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.Banyak wilayah lain di negeri ini juga akhir-akhir ini baru dilanda bencana banjir. Banjir besar di Aceh, misalnya, di penghujung tahun 2006 menewaskan 96 orang dan membuat mengungsi 110,000 orang yang kehilangan sumber penghidupan dan harta benda mereka. Pada tahun 2007 di Sinjai, Sulawesi Selatan banjir yang berlangsung berhari-hari telah merusak jalan dan memutus jembatan, serta mengucilkan 200.000 penduduk. Selanjutnya masih pada tahun itu,banjir dan longsor yang melanda Morowali, Sulawesi Utara memaksa 3.000 orang mengungsi ke tenda-tenda dan barak-barak darur.
3.3. Penanganan Masalah Dengan Adaptasi Dan Mitigasi
Mitigasi dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily atinya pengurangan. Sedangkan adaptation atau adaptasi artinya penyesuaian diri. Kedua istilah ini menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi perubahan alam. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global dari sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat. Dan pada saat bersamaan, dapat dilakukan persiapan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada. Sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin kelangsungan hidup manusia.
Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Sedangkan beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan, re-use, recycling dan lain-lain.
Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Seluruh kementerian dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program mereka,berkenaan dengan beragam persoalan seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, keamanan pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan merupakan tugas pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat umum, dan semua organisasi nonpemerintah, serta pihak swasta.
Kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia. Musim tanam dan panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan. Banjir melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir. Air laut menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan. Anak-anak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita perubahan iklim kita yang biasa. Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru merupakan separuh cerita
Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah ‘adaptasi’, banyak yang telah berpengalaman dalam ‘adaptasi’ ini. Orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka, misalnya dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat, atau bahkan berimigrasi sementara untuk mencari kerja di tempat lain. Yang masih perlu dilakukan sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumber-sumber nafkah mereka.
1). Adaptasi dalam perencanaan pembangunan
Di masa lalu sebagian besar pembangunan di Indonesia didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam – dengan manfaat ekonomi yang dinikmati di perkotaan dan biaya lingkungannya dibebankan ke wilayah pedesaan. Pola itu harus diubah. Baik masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan sudah seyogyanya menargetkan pembangunan manusia yang berkelanjutan dan ancaman perubahan iklim kini makin mendesakkan kepentingannya. Jika kita tidak mengubah pola pembangunan,maka seluruh sumber daya yang tersedia bagi rakyat – pangan, air, dan wilayah pemukiman kemungkinan dapat menjadi makin sulit didapat. Perubahan pola pembangunan ini memerlukan strategi adaptasi yang lebih luas yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta – memadukan antara pendekatan pada tingkat pemerintahan dan kelembagaan dengan pendekatan bottom-up yang berakar pada pengetahuan kewilayahan, kebangsaan, dan lokal. Sementara adaptasi merupakan faktor vital dalam seluruh aktivitas pembangunan, secara khusus adaptasi penting dilakukan dalam bidang-bidang pertanian,wilayah pesisir, penyediaan air, kesehatan dan wilayah perkotaan, dengan air memainkan peran lintas sektoral di berbagai bidang ini.
2). Adaptasi dalam pertanian
Di antara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah para petani Indonesia. Sejauh ini, para petani di Jawa berhasil menanam padi dua kali dalam setahun, tetapi dengan perubahan iklim, panen kali kedua tampaknya akan menjadi lebih rentan. Oleh karena itu, para petani yang sudah banyak berpengalaman mengatasi dampak buruk kejadian iklim yang ekstrem akan harus lebih banyak beradaptasi lagi di masa mendatang. Mereka, misalnya akan perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman pangan. Beberapa jenis tanaman pangan memiliki kapasitas adaptasi secara alamiah, seperti jenis padi hasil persilangan yang berbunga pada waktu dini hari sehingga dimungkin terhindar dari suhu lebih tinggi di siang hari. Para petani juga mungkin dapat menggunakan varietas yang lebih mampu bertahan terhadap kondisi yang ekstrem – kemarau panjang, genangan air, intrusi air laut – atau berbagai varietas padi yang lekas matang yang cocok untuk musim hujan yang lebih pendek. Para petani juga perlu mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan bahan-bahan organik bagi tanah supaya lebih mampu menahan air – yaitu dengan menggunakan lebih banyak pupuk alamiah.
Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan. Namun, sebagian dari mereka akan lebih sulit melakukan adaptasi, entah itu karena tanah garapan mereka tidak subur,misalnya, atau karena pasokan air tidak memadai, atau karena mereka tidak memiliki modal. Selain itu, mereka juga mungkin menghadapi berbagai kendala kelembagaan atau kultural.Dalam berbagai kasus seperti ini, pemerintah bisa membantu melalui intervensi yang langsung dan terencana, dengan menyediakan pengetahuan baru atau peralatan baru atau mencarikan teknologi-teknologi baru.
Adaptasi di wilayah pesisir – Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga strategi umum: ‘membuat perlindungan’, yaitu dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove;‘mundur’, dengan bermukim jauh dari pantai, atau ‘melakukan penyesuaian’ yaitu misalnya, dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.
3). Adaptasi untuk penyediaan air
Kita akan perlu menerapkan pengelolaan sumber air yang lebih terpadu – dengan melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk dan infrastruktur lainnya.
4). Adaptasi untuk bidang kesehatan
Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan dasar kesehatan masyarakat.Dan karena iklim yang lebih panas akan memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, maka diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih handal untuk memonitor penyebaran penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu :
1). Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi di bumi ini, keadaan yang harus diwaspadai karena dapaknya yang yang dapat merugikan bagi kehidupan di muka bumi dengan berupaya untuk menjaga dan melestarikan yang parah yang menyebabkan perubahan iklim.
2). Proses mitigasi yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim pada sector pertanian dengan cara mengimplementasikan pertanian organic dan pertanian terintegrasi.
3). Kedua proses adaptasi dan mitigasi bertujuan utuk mengatasi perubahan iklim sebagai salah satu pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang tepat pada proses adaptasi dan mitigasi dengan menggunakan pendekatan integrative yang mengutamakan keterkaitan antara manusia dan alam.
4.2. Saran
Adapun saran dari makalah ini yaitu :
1). Dalam mengatasi perubahan iklim masyarakat dan pemerintah membutuhkan kesadaran mulai dari diri sendiri dengan begitu perubahan iklim tidak berdampak besar terhadap kehidupan.
2). Dalam menghadapi perubahan iklim seharusnya ada kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Y dkk,. 2012. Strategi Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Komunitas Napu Di cagar Biosfer Lore Lindu. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 14 No. 3.
Najmulmunir, Nandang. 2011. Analisis Dampak Penggunaan Ruang Terhadap Risiko Perubahan Iklim: Studi Kasus Provinsi Lampung. governance, Vol.1, No. 2,
Nurdin, 2010. Antipasi Perubahan IklimUuntuk keberlanjutan Ketahanan Pangan. Gorontalo : Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri.
Wahyuni, Nurlita Indah. Rehabilitasi Hutan Dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan Di Sulawesi Utara. Manado : Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Comments
Post a Comment