SOSOK KEHADIRAN PEMIMPIN MILINEAL DAN BERKUALITAS BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KONAWE SELATAN PADA KONSTALASI PILKADA 2020

Image
Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sejumlah nama dari kader-kader potensial partai politik (Parpol) mulai bermunculan. Ada 270 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak salah satunya di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Ada tiga kandidat yang kini ramai diperbincangkan dikalangan masyarakat saat ini, selain itu ada muncul bakal calon bupati dari kalangan milienal. Hal ini menarik dibicarakan. Hal ini disampaikan Ode Undu yang menjabat sebagai Sektaris Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswah K...

Makalah “Sejarah Kehutanan Masyarakat dan Kehutanan Masyarakat Sebagai Proyek, Metode, dan Paradigma”

KEHUTANAN MASYARAKAT

“Sejarah Kehutanan Masyarakat dan Kehutanan Masyarakat 
Sebagai Proyek, Metode, dan Paradigma”






Oleh :

La Ode Abu Hasan M1A1 15 063
Muh. Syaiten Alfaruq M1A1 15 084
Sardianti M1A1 15 114
Sri Familasari M1A1 16 117
La Ode Syaban P M1A1 16 188
La Ode Anando D M1A1 16 097
Sahrun M1A1 16 174
Yogi Sri Munandar M1A1 16 172




JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2019

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga makalah Kehutanan Masyarakat yang berjudul Sejarah Kehutanan Masyarakat dan Kehutanan Masyarakat Sebagai Proyek, Metode, dan Paradigma dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan tugas yang diberikan oleh dosen pengampuh matakuliah Kehutanan Masyarakat.
Rasa terimakasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Saya menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan. sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Wassalamualaikum wr. wb

Kendari,  Oktober  2019

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL  i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 
Sejarah Perkembangan Sistem Informasi 3
Perkembangan SIG di Dunia 5
Perkembangan SIG di Indonesia 6
BAB III PENUTUP 
Kesimpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu berbagai klaim kepemilikanpun muncul yang menyebabkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat, dan antara pemegang konsesi (HPH/HPHTI) dengan masyarakat. Untuk penyelesaian konflik tersebut, perlu pengaturan yang lebih adil dalam menetapkan siapa subyek dalam pengelolaan hutan agar pengelolaan berlangsung secara efektif. Faktor kesejahteraan merupakan salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan.
Kebijakan yang digunakan untuk melegitimasi masyarakat hukumm adat memanfaatkan hutan ialah pasal 67 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal itu antara lain menetapkan masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak mengambil hasil hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari,berhak mengelola hutan berdasarkan hokum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan berhak mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya. UU No 41/1999 itu menetapkan pengukuhan keberadaan dan penghapusan masyarakat hokum adat ditetapkan oleh perda. Pemerintah pusat akan mengatur hak-hak masyarakat hukum adat itu melalui peraturan pemerintah.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang dimaksud dengan “pemungutan hasil hutan” adalah segala bentuk kegiatan mengambil hasil hutan berupa kayu dan atau bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Ketentuan umum ini dijabarkan dalam pasal 32 PP No 34/2002 yang juga menyatakan pemungutan hasil hutan kayu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hidup individu dan atau fasilitas umum penduduk sekitar dengan volume satu izin tidak boleh melebihi 20 meter kubik. Sedang hasil hutan bukan kayu seperti rotan, manau, getah, buah-buahan dapat diperdagangkan dengan volume maksimal 20 ton setiap izin. Jadi hasil hutan kayu tidak untuk diperdagangkan.
Sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa Negara terbesar kedua setelah migas. Rusaknya hutan, maka menghilangkan peluang Indonesia untuk menambah devisa Negara. Dalam rangka menekan laju kerusakan hutan Pemerintah Provinsi Lampung melakukan berbagai program rehabilitasi dan perlindungan hutan. Selain dengan melakukan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan menanam pohon, salah satu langkah yang ditempuh dalam menimalisasi perubahan fungsi hutan adalah melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam pola Community Base Forest Management (CBFM) atau Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang mengupayakan keseimbangan antara kelestarian ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kehutanan Masyarakat?
Bagaimana Kehutanan Masyarakat; Proyek, Metode, dan paradigma?
Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Kehutanan Masyarakat
Mengetahui Kehutanan Masyarakat ; Proyek, Metode, dan Paradigma.


BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Kehutanan Masyarakat (KM)
Sejak tahun 1970-an tidak dapat dipungkiri pemerintah melirik dan memanfaatkan hutan sebagai salah satu sumber penghasilan negara. Pengolaan hutan berbasis exploitasi sumberdaya hutan berlandaskan UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dilakukan dengan penekanan pada keterlibatan swasta dimana program Kehutanan Masyarakat bukan menjadi isu utama. Paradigma pengelolaan hutan berbasis "negara" ternyata gagal menjawab isu pengelolaan hutan berkelanjutan dan kemiskinan. Kongres Kehutanan Dunia 1978 yang dilaksanakan di Jakarta pun kemudian menyuarakan gagasan 'forest for people'. Walau demikian butuh waktu beberapa tahun hingga kemudian mulai ada program Perhutanan Sosial oleh Perum Perhutani dan Hutan Kemasyarakatan oleh Departemen Kehutanan. Hingga akhirnya seiring dengan proses reformasi UUPK No. 5/1967 kemudian dirubah menjadi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang di dalamnya mengakui keberadaan hutan adat dan peran serta masyarakat. Namun dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dimana terdapat beberapa syarat dalam pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat melalui Perda (Peraturan Daerah). Dalam peran sertanya masyarakat juga dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, akan tetapi belum dijelaskan bagaimana mekanismenya. 
Pengakuan hutan adat pada hutan negara dengan persyaratan tertentu menimbulkan penolakan yang cukup kuat sehingga draf PP Hutan Adat tidak kunjung disepakati menjadi sebuah peraturan pemerintah. Walau demikian beberapa Bupati membuat terobosan kebijakan dengan membuat SK Bupati untuk Pengakuan Hutan Adat : Bungo dan Merangin. Pada sisi lain program hutan kemasyarakatan yang dikembangkan mendapat apresiasi dari masyarakat.
Seiring dengan desakan dari masyarakat sipil terhadap pengakuan hak dan akses tersebut kemudian PP 34/2004 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan dirubah menjadi PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. PP ini menetapkan Hutan Kemasyarakatan sebagai salah satu skema pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, selain Hutan Desa dan Kemitraan. Melalui skema-skema ini masyarakat dapat memanfaatkan hutan secara legal dimana dalam hal ini terbuka pula kesempatan yang lebih luas untuk memanfaatkan hasil hutan kayu pada hutan tanaman melalui HTR atau Hutan Tanaman Rakyat.
HKm, Hutan Desa dan HTR menjadi program sosial unggulan Kementrian Kehutanan sehingga dalam RKTN 2010-2030 ditargetkan 5,6 juta ha lahan hutan untuk tiga skema pemberdayaan masyarakat ini. Akan tetapi progres hingga awal 2011 tercatat baru 0,67 juta ha kawasan hutan yang diberikan izin pemanfaatan untuk HKm, Hutan Desa, dan HTR ini atau sekitar 12% dari yang ditargetkan. Sementara alokasi lahan hutan untuk pengusahaan hutan skala besar (IUPHHK- HA/HT/RE) seluas 43,6 juta ha dan hingga awal tahun 2011 izin yang sudah dikeluarkan seluar 34,47 juta ha atau sudah mencapai 79%. Kemitraan yang merupakan skema pemberdayaan masyarakat dengan pemegang konsesi hutan juga tidak kunjung diterbitkan aturan pendukungnya. Walaupun praktek-praktek kemitraan banyak ditemui dengan beragam bentuk dan kesepakatannya. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama asyarakat) merupakan transformasi perhutanan sosial, skema kemitraan yang dikembangkan Perum Perhutani di Jawa. Pola-pola PMDH (Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan) juga dikembangkan oleh HPH/HTI dalam mengembangkan pola kemitraan ini. 
Kemitraan dalam kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dikenal dengan kolaborasi dimana masyarakat dapat manjadi pihak atau mitra dalam mendukung pengelolaan kawasan. Program Model Desa Konservasi pun kemudian dikembangkan untuk mencari model yang tepat dalam melakukan pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi. Walau pada sisi lain banyak inisiatif yang dikembangkan oleh masyarakat dan juga dengan bantuan pihak lain untuk melakukan pengelolaan di kawasan konservasi yang tidak kalah bijaksananya dengan pemerintah. Kenyataan ini belum dilihat secara arif oleh pemerintah sehingga masyarakat hanya ditempatkan sebagai mitra saja, bahkan seringkali dianggap sebagai perambah dan perusak kawasan konservasi.
KEHUTANAN MASYARAKAT : Proyek, Metode, dan Paradigma
Kehutanan Masyarakat sebagai Proyek
HKm merupakan salah satu pola pemberdayaan masyarakat selain pola Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, dan Kemitraan. Di beberapa lokasi di Lampung, contoh-contoh kecil penyelenggaraan HKm menunjukkan bahwa pola HKm berkembang secara baik serta dapat diterima dan dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.
Masyarakat yang melaksanakan program HKm bisa mematuhi ketentuan-ketentuan yang disyaratkan. HKm kemudian tidak berkembang hanya sebagai pelaksanaan program penyelamatan hutan, tetapi juga sebuah sarana pembelajaran. Tentu saja pembelajaran tersebut perlu terus dikembangkan sambil menyelesaikan rintangan yang bergelombang.
Peluang masyarakat disekitar hutan untuk meraih kesejahteraannya sembari melestarikan hutan sudah ada didepan mata. Sejumlah kelompok tani kini sudah mendapatkan izin pengelolaan definitif selama 35 tahun. Kelompok-kelompok lainnya juga sedang berlomba-lomba untuk mendapat izin definitif .
Pelaksanaan skema Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan.
Untuk melaksanakan skema HKm ada empat perizinan yang dibutuhkan, yaitu:
a. Permohon IUPHKM;
b. Penetapan Area Kerja HKm;
c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan
d. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK-HKm).
1. Permohonan IUPHKM diajukan oleh kelompok/koperasi masyarakat dalam bentuk surat permohonan yang diajukan kepada Bupati/Walikota untuk lokasi di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau kepada Gubernur untuk  yang berlokasi lintas kabupaten/kota. Di dalam surat tersebut dilampirkan proposal permohonan IUPHKM, surat keterangan kelompok dari Kepala Desa/Lurah, dan sketsa area kerja yang dimohon (memuat letak areal beserta titik koordinatnya, batas-batas perkiraan luasan areal, dan potensi kawasan hutan).
2. Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan: belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan ditetapkan oleh Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang Kehutanan.
3. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat Keputusan Menteri. IUPHKM bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.
Dalam analisis proyek pembangunan hutan kemasyarakatan memiliki tahapan-tahapan proses dalam pengusulan proyek yaitu :
Penjelasan Umum Proyek
Penjelasan Umum proyek merupakan penjelsan mengenai hal-hal dasar dari proyek yang akan dibangun oleh pihak-pihak yang akan terkait dalam suatu proyek, seperti : data perusahaan, kemitraan atau latar belakang. Selain itu, terkait dengan kerjasama-kerjasama dan kegiatan yang telah dilakukan (status negosiasi), kemudian jenis-jenis proyek seperti jenis kegiatan, luas areal, jenis tanaman dan rotasi serta lokasi proyek yang akan dilakukan.
Rencana Kerja
Yang termasuk dalam rencana kerja suatu proyek yaitu periode proyek atau jangka waktu yang ditargetkan, lingkup kegiatan (seperti; persiapan lapangan, penanaman dan pemeliharaan), dan pola penanaman (seperti; silvopasture).
Rencana Investasi
Ruang lingkup dalam rencana investasi seperti perkiraan biaya, perkiraan penghasilan, sumber dana, dan pendugaan keuntungan bersih karbon dari kegiatan.
4.    Perkiraan Keuntungan dari Aspek Lingkungan
-    Perkiraan CO2 yang diabsorbsi
-    Keuntungan terhadap lingkungan global seperti;  Penurunan emisi
- Keuntungan terhadap lingkungan lokal : penurunan erosi  intrusi air laut, pemanenan ikan dan udang, kayu, habitat burung dan ekowisata
- Metode penghitungan yang akan diaplikasikan : allometric atau destruktif
- Tingkat dari review lingkungan : Analisis dampak lingkungan proyek terhadap lingkungan termasuk keanekaragaman hayati dan ekosistem alam di dalam dan juga di luar proyek apabila diperlukan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah.
5.   Perkiraan Keuntungan dari Aspek Sosial
-    Penyerapan Tenaga Kerja;
- Peningkatan Pendapatan Masyarakat Setempat setelah adanya Proyek : (dihitung berdasar survey pendapatan sebelum dan sesudah ada proyek);
- Pengaruh terhadap perputaran ekonomi setempat : (multiplier effect dari proyek di desa, kecamatan dan kabupaten setempat);
- Efek sosial lain yang mungkin terjadi : pengaruh positif langsung maupun tidak langsung;
- Keterkaitan Proyek dengan Kebijakan Nasional dibidang Sosial dan Ekonomi: hubungannya dengan kebijakan sustainable Forest Management bidang sosial ekonomi (kelestarian akses dan kontrol masyarakat terhadap proyek, kelestarian integrasi sosial dan budaya, kelestarian hubungan tenaga kerja);
- Deskripsi rencana monitoring dampak dan teknologi mengurangi dampak : Dokumentasi dampak proyek di dalam dan di luar batas proyek;
-    Stakeholder yang akan terkait dampak.
6. Kemungkinan Pencegahan dari Dampak Yang Diberikan
- Potensi Kebocoran Negatif (seperti kebakaran, naiknya transportasi emisi, pencurian  kayu, budaya negatif, dan sebagainya);
- Cara-cara penanggulangan untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif: misalnya dengan pengamanan hutan, pelibatan masyarakat, peningkatan awareness, dan sebagainya.
Kehutanan Masyarakat sebagai metode.
Sebagian penggiat kehutanan masyarakat memiliki pahaman bahwa salah tafsir baru kehutanan masyarakat bahwa khutanan masyarakat hanyalah sekedar alat, atau paling jauh metode. Kehutanan masyarakat  adalah piranti yang kira-kira fungsinya tidak berbeda jauh dengan pisau cukur. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehutanan masyarakat adalah metode yang bisa saja salah. Sebagai sebuah alat atau metode, kehutanan masyarakat tentu akan mengalami tambal sulam, pembaruan, ketinggalan jaman, untuk tidak mengatakan usang, dan berbagai sifat keterbatasan lainnya  -  sesuatu yang tidak pernah akan terjadi pada ideologi (Santoso, 2011).
Kehutanan Masyarakat sebagai Pradigma
Memasuki dasawarsa terakhir Abad XX terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Hal ini diduga akibat adanya tuntutan global terhadap pelestarian sumberdaya alam yang menguasai hajad hidup orang banyak tersebut, didasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal. Dimulai dengan boikot kayu tropis oleh beberapa kalangan pencinta lingkungan di beberapa negara Eropa Barat (a.l. Robin Wood) menjelang akhir dasawarsa 80-an, tuntutan sertifikasi pengelolaan lestari dari beberapa negara konsumen (yang mendorong lahirnya ITTO), hingga desakan internal guna meratifikasi hasil-hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992), membuat negara-negara tropis termasuk Indonesia untuk meninjau kembali dan menyempurnakan kebijakan kehutanannya (TTPK-HKM, 2000). 
Gerakan serupa sebenarnya telah dimulai pertengahan tahun 70-an, dimana pada waktu itu juga ada dorongan internasional untuk melihat kepentingan pemanfaatan hutan bagi pembangunan masyarakat lokal (Forestry for Local Community Development FAO), seiring dengan perkembangan social forestry dan agroforestry, serta penetapan tema Forest for People pada konggres kehutanan ke-8 di Jakarta (1978). Hanya saja bagi negara-negara penghasil kayu, khususnya di Asia Tenggara seperti Indonesia, orientasi kemasyarakatan seperti itu belum dipandang kepentingannya. Hal ini terbukti dengan respon yang diberikan terbatas pada proyek-proyek perhutanan sosial di Pulau Jawa, kalaupun ada yang dilaksanakan di luar Jawa (a.l. atas dukungan Ford Foundation) tidak pernah ada tindak lanjutnya, Hal tersebut dikarenakan tahun 70-an justru merupakan awal kebangkitan eksploitasi hutan alam guna mendukung program-program pembangunan. Sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu, pengembangan sistem pemberian konsesi (hak pengusahaan hutan/HPH) kepada perusahaan swasta skala besar dan badan usaha milik negara (BUMN) di Indonesia pada dekade tersebut, justru diikuti dengan pengembangan industri perkayuan dan pembangunan hutan tanaman (HTI) pada dekade berikutnya, 
Respon yang berbeda terhadap tuntutan global pada tahun 90-an pada dasarnya dikarenakan situasi telah berubah. Disamping adanya kebutuhan mutlak dan saling ketergantungan antar negara yang demikian besar, juga fakta akan semakin menipisnya luasan dan penurunan kualita sumberdaya alam setelah satu periode ijin pengelolaan hutan alam dengan sistem konsesi skala besar. Contoh konkrit adalah di Kalimantan Timur (Kaltim) . Sebagai propinsi kaya hutan kedua di Indonesia setelah Papua (atau Irian Jaya), hingga awal tahun 90 Kaltim diperkirakan telah memiliki lahan hutan tidak produktif seluas sekitar 1,0 hingga 2,0 juta hektar (Fandeli, 1992). Jumlah ini dipertimbangkan bisa jauh lebih besar, karena data yang ada pada statistik sulit untuk dipastikan ketepatannya, sementara kebakaran hutan tahun 1981/82 saja telah menghanguskan 3,6 juta hektar. Ditambah lagi memperhitungkan kebakaran hutan tahun 1997/98, yang diperhitungkan memusnahkan sekitar 5,0 juta hektar hutan meskipun yang resmi diumumkan hanya 600.000 hektar saja (Siegert dan Hoffmann, 1998; Sardjono, 1999b). 
Di sisi lain upaya untuk merehabilitasi dan melindungi sumberdaya alam yang tersisa selain memerlukan kesungguhan dalam pelaksanaannya, juga dana yang besar dan jumlah aparat yang memadai, yang justru menjadi kendala utama Departemen Kehutanan. Dengan demikian dari sisi ekonomis dan politis, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan menjadi alternatif yang paling strategis. Keseluruhan kondisi ini dipertimbangkan mendorong lahirnya berbagai kebijakan kehutanan yang lebih berorientasi kerakyatan, diantaranya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/1995 ; yang selanjutnya diperbaiki dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/1998, tentang Hutan Kemasyarakatan (atau sering disingkat HKM). 
Setelah reformasi digulirkan awal tahun 1998, ruang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat semakin leluasa diperjuangkan oleh berbagai kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat, dan tampaknya juga disadari kepentingannya oleh pemerintah terutama para pembuat kebijakan. Minimal inisiatif politik untuk menegaskan orientasi kerakyatan mulai kental terlihat pada berbagai kebijakan dan peraturan perundangan. Sementara konteks masyarakat lokal senantiasa menjadi "highlight" dalam setiap pertemuan yang membahas tentang pengelolaan SDA. 
Hal penting lainnya yang mendukung adanya peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat lokal, adalah semakin terkikisnya superioritas pemerintah (baca pemerintah pusat) akibat adanya tuntutan-tuntutan desentralisasi dan otonomi dari berbagai daerah, terutama daerah kaya sumberdaya alam seperti keempat propinsi di Kalimantan (Kaltim, Kalteng, Kalbar, dan Kalsel) yang meminjam istilah Lambrie (2000) merupakan "dompet republik".  Mencermati berbagai perundangan terkait desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam a.l. UU 22/1999 (tentang Pemerintahan Daerah), dan UU 25/1999 (tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah), dengan contoh undang-undang yang terkait langsung dengan sumberdaya hutan yaitu UU 41/1999, kita dapat mencatat perbaikan posisi masyarakat dan kelembagaan lokal sebagai berikut (Sardjono, 2000b): 
Adanya kewenangan masyarakat yang berhimpun dalam satu kesatuan masyarakat hukum yang disebut "desa" untuk melaksanakan proses dan mekanisme administrasi pemerintahan dan kelembagaan desa.
Menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan, masyarakat lokal dan adat, khususnya melalui koperasi dan kelembagaan lainnya memiliki kesempatan memperoleh ijin pemanfaatan hutan dalam bentuk ijin Pemungutan Hasil Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Hak, Hutan Adat, dan juga Hutan Desa;
Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan, disamping pemanfaatan masyarakat juga memiliki hak-hak lainnya, yaitu memperoleh dan memberikan masukan informasi dari atau terhadap rencana pemanfaatan sumberdaya, serta terlibat dalam pengawasan pemanfaatan;
Masyarakat juga berhak memperoleh ganti rugi terhadap kerusakan sumberdaya hutan dan melakukan gugatan perwakilan bilamana dirugikan kehidupannya. serta untuk turut serta mengawasinya.
Meskipun demikian peran dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan akan sangat tergantung dari Peraturan Pemerintah dan khususnya Peraturan Daerah sebagai penjabaran dari undang-undang. Dengan kata lain inisiatif proaktif (dan tentu saja keikhlasan) pemda propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya menyeimbangkan kepentingan ekonomi (upaya memperoleh Pendapatan Asli Daerah/PAD sebesar-besarnya) dengan sebenar-benarnya itikad untuk pemberdayaan atau penguatan masyarakat dan kelembagaan lokal di tingkat desa.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berbicara masa depan pembangunan Sumber Daya Alam Hutan (SDAH) maka landasan pemikiran harus mulai dari masalah yang menyebabkan berpikir ke arah paradigma. Dalam konteks Indonesia, kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas, atau kelompok, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individu/keluarga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah tangga dan masyarakat, serta dapat diusahakan secara komersial dan non komersial. Pendekatan komersial dan non komersial akan mempengaruhi bentuk-bentuk teknologi, dan organisasi sosial pelaksana kehutanan masyarakat.
Tujuan paradigma kehutanan masyarakat adalah memposisikan organisasi masyarakat (termasuk individu) agar mampu melakukan pengelolaan atas sumber daya hutan yang menjadi wilayah kelolanya. Jika terletak di atas lahan milik atau komunal dan adat yang diakui oleh pemerintah, maka tidak ada masalah tenurial di dalamnya. Tetapi sebagian besar kasus di Indonesia justru terletak pada hak atas lahan hutan oleh masyarakat adat, yang sementara ini diklaim sebagai milik negara.
Tujuan Pengelolaan Hutan yang tertuang dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak tercantum secara ekplisit, Kondisi seperti ini memang seringkali di temui dalam mengevaluasi kebijakan publik. Seperti di katakan oleh Wibawa (1994) bahwa mengidentifikasi tujuan yang benar-benar ingin di capai oleh suatu kebijakan yang kabur, karena kebijakan adalah produk politik yang mengakomodasi beraneka ragam kepentingan.
Saran
Saran buat Mahasiswa kiranya dapat banyak membaca referensi yang lain terutama memahami peraturan tentang kehutanan masyarakat agar mengetahui kehutanan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Analisis perencanaan dalam proyek pembangunan kehutanan 2014. Http://fauziahforester.blogspot.co.id/2014/03/analisis-perencanaan-dalam proyek_26.html

Hukum lingkungan dan kehutanan.2009. Http://hukumlingkungandankehutanan. Blogspot.co.id/ 2009/01/kehutanan-masyarakat-sebagai-tradisi.html

Santosa, andri dan mangarah silalahi. 2011. Laporan kajian kebijakan kehutanan masyarakat dan kesiapannya dalam redd+. Forum komunikasi kehutanan masyarakat (fkkm). Bogor.

Muhammad, A. K dan Sahide. 2011. Buku ajar kehutanan masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pencemaran Laut dari Tumpahan Minyak (Oil Spill))

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM INVENTARISASI SUMBER DAYA HUTAN “Angka Bentuk Pohon Hutan Tanaman Dan Struktur Serta Komposisi Tegakan Hutan Alam”

MAKALAH TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)