MAKALAH AGROFORESTRI
“Peran Agroforestri terhadap Kondisi Hidrologi Kawasan pada Skala Bentang Lahan”
OLEH :
SAHRUN
M1A1 16 174
KEHUTANAN B
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
2019
KATA PENGANTAR
Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas nikmat dan karunia-Nya Saya masih diberi kesahatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dan tak lupa pula dipanjatkan salam kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW sebagaiman Beliau telah membawa perubahan kepada kita dari masa kegelapan ke masa yang terang benderang seperti saat ini.
Pembuatan makalah ini berjudul “Peran Agroforestri terhadap Kondisi Hidrologi Kawasan pada Skala Bentang Lahan”, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, dalam lingkup Universitas Haluoleo, Kendari.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Saya harapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat membangun. Sekian dan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan infomasi kepada pembaca.
Wassalamuallaikum warahtullahi wabarakatuh.
Kendari, 16 Desember 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang................................................................................................ 1
1.2. Rumusan masalah........................................................................................... 2
1.3. Tujuan............................................................................................................ 2
1.4. Manfaat........................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHANSAN
2.1.Pengertian........................................................................................................ 3
2.2. Kriteria dan Indikator..................................................................................... 7
2.3. Peran Agroforestri terhadap Fungsi Hidrologi dengan Tutupan Lahan oleh
Pohon............................................................................................................... 8
2.4. Kebun Lindung............................................................................................. 10
2.5. Sistem Pendukung Negosiasi........................................................................ 11
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan.................................................................................................... 17
3.2.Saran............................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsep pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai penyedia air berkualitas baik secara terus menerus, mungkin merupakan konsep lama yang hampir sama lamanya dengan konsep pertanianberirigasi. Namun demikian, masih terdapat ketidak jelasan antara kriteria dan indikator yang dapat memenuhi harapan realistik kita yang didasarkan pada hubungan sebab – akibat pengelolaan DAS dan mengikutsertakan para multipihak. Pengelolaan DAS seringkali dihubungkan dengan tingkat penutupan lahan oleh hutan, dengan asumsi bahwa ‘reforestasi’ atau ‘reboisasi’ dapat mengembalikan dampak negatif dari terjadinya deforestasi (penggundulan hutan). Dewasa ini masih banyak kebingungan di tingkat masyarakat dalam menjawab pertanyaan apakah aliran sungai akan meningkat atau menurun setelah terjadi alih guna hutan atau setelah dilaksanakan
reboisasi.
Istilah ‘pengelolaan secara berkelanjutan’ (sustainable management) menjadi istilah ‘klise’ yang kurang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang dapat berubah sesuai dengan permintaan pasar. Masalah lainnya adalah tidak tersedianya metoda pemantauan (monitoring) atau bahkan mungkin metoda pemantauan telah tersedia tetapi belum digunakan, dan belum diberlakukannya kriteria yang jelas untuk keberhasilan suatu usaha konservasi lingkungan. Tambahan lagi, kurang diperhatikannya aspek kepadatan jumlah penduduk, kebutuhan hidup dan harapan masyarakat dalam berbagai diskusi yang berhubungan dengan sistem penutupan lahan yang dibutuhkan. Kenyataan tersebut di atas akan menyebabkan adanya perbedaan antara warna peta sistem penggunaan lahan yang diharapkan perencana dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Pada makalah ini kami mengajukan satu kumpulan kriteria dan indikator dari fungsi hidrologi DAS, yang dapat dipakai untuk mengevaluasi dampak berbagai teknik pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Kajian akan lebih difokuskan kepada potensi agroforestri yang juga dikenal dengan ‘wanatani’ dalam mempertahankan produktivitas lahan, dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap fungsi hidrologi.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa pengertian Daerah Aliran Sungai dan Agroforestri ?
2. Bagaimana kriteria dari fungsi DAS yang berhubungan dengan karakteristik lokasi dan aliran sungai ?
3. Bagaimana peran agroforestri terhadap fungsi hidrologi dengan tutupan lahan oleh pohon ?
4. Bagaimana sistem klasifikasi dan sistem pendukung agroforestri ?
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dalam makalah ini untuk memberikan pengetahuan mengenai peranan agroforestri dalam fungsi hidrologi tehadap tutupan lahan. Manfaat dalam makalah ini dapat memberikan pengetahuan mengenai peranan agroforestri dalam fungsi hidrologi tehadap tutupan lahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Tingkat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia dalam 2 (dua) dekade terakhir semakin meningkat. Pada tahun 1984, terdapat 22 DAS kritis, kemudian meningkat menjadi 39 pada tahun 1992, 59 pada tahun 1998. Tahun 2003, jumlah DAS kritis sudah mencapai 62 (Suradiputra et al., 2005; Junaidi, 2009). Berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Kehutanan (2009), jumlah DAS prioritas meningkat menjadi 108 DAS. Penyebab utama peningkatan kerusakan DAS, salah satunya adalah penyimpangan pemanfaatan penggunaan lahan (Emilda, 2010; Susetyaningsih, 2012).
Perkembangan penduduk yang cepat pada suatu DAS akan berakibat kepada intensitas kebutuhan lahan yang semakin tinggi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini akan berakibat penggunaan lahan akan cenderung lebih memperhatikan faktor peningkatan produksi daripada faktor lingkungan (Bahrun, 2012). Penggunaan lahan yang kurang bijaksana oleh penduduk pada DAS akan mempercepat proses kerusakan lingkungan DAS, berupa terganggunya fungsi hidrologi yang mengakibatkan sering terjadinya banjir, kekeringan dan sedimentasi (Chu et al., 2013; Mahmoud & Alazba, 2015). Untuk mengurangi permasalahan tersebut, pengelolaan penggunaan lahan pada DAS harus memperhatikan kondisi sosial (Abbas et al., 2015; Bajocco et al., 2012; Ragosta et al., 2010).
Agroforestri merupakan suatu bentuk penggunaan lahan dengan mengasosiasikan pohon dengan tanaman semusim pada satu unit lahan untuk meningkatkan, menganekaragamkan, dan menjaga keberlanjutan keuntungan dan juga untuk preservasi lingkungan (Atangana et al., 2014b). Dalam preservasi lingkungan, agroforestri dapat berperan sebagai pengatur tata air, mengurangi erosi tanah, keanekaragaman hayati, dan penyerapan karbon (Atangana et al., 2014a; Smith et al., 2013). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa agroforestri dapat menurunkan laju aliran permukaan hingga 26% (Udawatta et al., 2015). sementara itu, penelitian lain menggunakan model apex (agricultural policy environmental extender) menunjukkan bahwa sistem agroforestri dapat menurunkan aliran permukaan hingga 5,2% (senaviratne et al., 2013). di indonesia, junaidi (2013) melaporkan bahwa sistem penggunaan lahan agroforestri, mempunyai kemampuan dalam mempertahankan fungsi hidrologis das, menyerupai kemampuan sistem penggunaan lahan hutan.
Hubungan antara pengelolaan DAS yang berkelanjutan (lestari) dengan fungsi hidrologi dan agroforestri, diberikan dalam Gambar 1 dan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini.
Gambar 1. Hubungan antara pengelolaan DAS berkelanjutan dengan fungsi hidrologi dan agroforestri.
2.2. Kriteria dan Indikator
Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan daripada oleh proses hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama yang termasuk dalam aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan aliran, frekuensi terjadinya banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan ketersediaan air pada musim kemarau. Agar lebih terfokus dalam mempelajari fungsi DAS diperlukan pemilahan antara kontribusi hujan, terrain (bentuk topografi wilayah serta sifat geologi lain yang tidak dipengaruhi langsung oleh adanya alih guna lahan), serta peran tutupan lahan (terutama yang langsung dipengaruhi oleh aktivitas manusia). Sekumpulan kriteria fungsi DAS yang dapat diukur diajukan dalam makalah ini, yaitu berdasarkan pada besarnya debit sungai relatif terhadap jumlah curah hujan.
Kriteria ini difokuskan kepada fungsi DAS yang dipengaruhi oleh sistem penggunaan lahan dan sistem tutupan lahan, dengan karakteristik lokasi yang berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya. Kriteria fungsi DAS tersebut berbeda relevansinya bagi setiap multi pihak sesuai dengan kepentingan dan sudut pandang masing-masing (Tabel 1). Tersedianya indikator kuantitatif untuk berbagai kriteria sangat diperlukan karena akan membantu proses negosiasi bagi multi pihak, walaupun kriteria ini mungkin tidak dapat memenuhi keinginan semua pihak di dalam pengelolaan DAS. Kriteria ini dapat dihubungkan langsung dengan pengertian kuantitatif bagaimana hujan atau presipitasi (P) terurai menjadi aliran sungai (Q) dan evapotranspirasi (E) pada suatu sistem neraca air (Gambar 2). Hubungan antara faktor-faktor tersebut dapat membantu kita dalam memahami logika dan tarik ulur antara perubahan transmisi air, daya sangga kejadian puncak hujan dan fungsi DAS dalam menyalurkan air secara perlahan.
Tabel 1. Tujuh kriteria dari fungsi DAS yang berhubungan dengan karakteristik lokasi dan aliran sungai, relevansinya dengan multi pihak yang tinggal di daerah hilir serta beberapa indikatornya.
Karakteristik
alami
Fungsi DAS yang
di pengaruhi oleh
alih guna lahan (kriteria)
Relevansi dengan pengguna dan pihak terkait lainnya
Indikator umum
Curah hujan
Bentuk lahan
Jenis tanah
1. Transmisi air
Semua pengguna air, terutama masyarakat berada didaerah hilir
Hasil air per curah hujan Tahunan
2. Menyangga pada
kejadian puncak hujan
Masyarakat yang tinggal dan bergantung pada bantaran sungai dan bantaran banjir
Kejadian banjir relatif terhadap
kejadian hujan
3. Pelepasan air
secara bertahap
Masyarakat yang tidak memiliki sistem
penyimpanan air untuk ketersediaan air pada musim kemarau (‘water reservoir’: misalnya danau,waduk,embung atau tandon air)
Ketersediaan air selama musim
Kemarau
4. Memelihara kualitas air
Masyarakat yang tidak memiliki sistem purifikasi Petani dan nelayan
Ketersediaan air bersih sepanjang waktu
Keberadaan jenis ikan tertentu
Biodiversitas dan bioindikator (adanya bentos, nimfa bangsa Plekoptera dll)
5. Mengurangi longsor
Masyarakat yang tinggal di kaki bukit
yang berpotensi tinggi terjadi (tertimpa)aliran lumpur, banjir dan tanah longsor PLTA, sehubungan dengan umur paruh waduk
Intensitas kejadian longsor
D. Akar vegetasi
alami sebagi
jangkar tanah
6. Mengurangi erosi
Petani
Ketebalan seresah dan ketebalan lapisan tanah atas
E. Iklim makro
7. Mempertahankan
Iklim mikro
Petani dan wisatawan
Suhu dan kelembaban udara
Gambar 2. Skema hubungan presipitasi, evapotranspirasi, infiltrasi dan aliran sungai.
2.3. Peran Agroforestri terhadap Fungsi Hidrologi dengan Tutupan Lahan oleh Pohon
Tutupan lahan oleh pohon (tutupan pohon) dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, atau sebagai permudaan alam (natural regeneration), pohon yang dibudidayakan, pohon sebagai tanaman pagar, atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri). Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air adalah dalam bentuk :
Intersepsi air hujan. Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
Daya pukul air hujan.Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pelapukan; seresah berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi penutupan permukaan tanah tidak bertahan lama.
Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organik (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah.
Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’ (slow flow).
Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air tanah’ (quick flow).
Selain tutupan pohon, ada faktor lain yang dapat mempengaruh fungsi hidrologi DAS. Pada hutan alami, perlintasan hewan biasanya meninggalkan jalan setapak yang merupakan pemicu petama terbentuknya jalur aliran permukaan walaupun tingkatannya masih belum terlalu membahayakan. Jalan setapak yang terbentuk oleh roda pedati atau kendaraan berat selama penebangan pohon di hutan cenderung meningkatkan intensitas aliran permukaan dan penghanyutan sedimen ke sungai. Pengelolaan lahan setelah konversi hutan biasanya ditujukan untuk perbaikan drainase guna melindungi tanaman dari bahaya penggenangan dan atau aliran permukaan. Adanya daerah rawa pada suatu lansekap mempunyai peranan penting dalam mengurangi terjadinya banjir di daerah hilir. Namun sebaliknya, jika ada usaha mengurangi frekuensi terjadinya banjir di daerah hulu dengan mempercepat aliran ke hilir, justru akan meningkatkan resiko banjir di daerah hilir. Jadi, dampak umum dari konversi hutan dan atau perubahan tutupan pohon pada suatu bentang lahan dapat dipahami dari kombinasi dan interaksi berbagai proses tersebut di atas.
Beberapa simulasi model telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk menguji kedekatan hubungan data empiris dengan data hasil prediksi. Model-model yang sudah ada bervariasi dalam skala spasial, resolusi temporal maupun masukan data yang dibutuhkan. Sebagai contoh, pengaruh sistem Agroforestri terhadap aliran permukaan harian pada skala plot dapat dievaluasi dengan menggunakan model WaNuLCAS (Khasanah et al., 2004). Dampak alih guna lahan terhadap neraca air harian pada skala bentang lahan dapat dipelajari dengan menggunakan model GenRiver (Farida dan Van Noordwijk, 2004) dan model fallow (Suyamto et al., 2004) memprediksi dampak alih guna lahan terhadap neraca air tahunan.
2.4. Kebun Lindung
Sistem klasifikasi lahan hutan di Indonesia arif terhadap sejumlah ‘fungsi hutan’. Fungsi hutan tersebut antara lain meliputi konservasi, perlindungan DAS, produksi kayu dan non kayu. Aturan yang ada tentang penggunaan lahan bervariasi tengantung dari fungsi utama yang lebih dipentingkan. ‘Hutan lindung’ mempunyai fungsi perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir.
Dalam istilah Belanda ‘hutan lindung’ atau ‘schermbos’ berarti hutan yang berfungsi sebagai ‘payung’ atau ‘lindung’. Fungsi ‘penyangga’ (Kriteria 2 dalam Tabel 2) sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi ‘lindung’, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan. Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan (hillslope). Pada skala lansekap fungsi penyangga banjir dapat juga dilakukan dengan jalan mempertahankan daerah rawa yang dapat menjadi penampung luapan air akibat banjir. Fungsi perlindungan pada daerah hulu sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama sistem tersebut mampu dalam: (a) mempertahankan lapisan seresah di permukaan tanah, (b) mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi, (c) menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi lainnya, maka fungsi ‘lindung’ masih tetap ada.
Sistem pembukaan lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan fungsi lindung. Namun dari catatan sejarah yang ada, menunjukkan bahwa prinsip sistem agroforestri adalah menghindari semaksimal mungkin adanya penebangan hutan dalam skala luas. Dalam konsep Indonesia, kata ‘hutan’ adalah lahan yang kepemilikan dan pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Lahan milik petani yang ‘menyerupai hutan’ atau ‘agroforest’, umumnya disebut ‘kebun’. Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu fungsi ‘produksi’ dan fungsi ‘lindung’.
Dalam kaitannya dengan kriteria dan indikator hidrologi seperti telah diuraikan di atas, beberapa macam kebun telah dievaluasi. Hasilnya menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, ‘parak’ sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah misalnya di Sumatra Barat, kebun buah-buahan (mixed fruit tree homegardens) dan sistem ‘repong’ damar merupakan sistem yang masih dapat memenuhi berbagai ‘fungsi lindung’ pada daerah perbukitan. Dengan demikian kebun tersebut dinamakan sebagai ‘kebun lindung’ karena dapat berfungsi ganda yaitu fungsi ‘produksi’
dan fungsi ‘lindung’.
2.5. Sistem Pendukung Negosiasi
Sekitar 70 % dari total luas lahan di Indonesia diklasifikasikan sebagai ‘hutan negara’ atau kawasan hutan, dimana keputusan akan akses terhadap lahan diambil pada tingkat nasional (terutama sebelum tahun 1998) dan pada tingkat lokal (setelah tahun 1998). Pada berbagai daerah, hubungan antara pemerintah lokal dengan petani sering tidak harmonis (terlepas dari lamanya petani tinggal di wilayah setempat). Konflik antara pemerintah dengan masyarakat pemanfaat hutan biasanya memperburuk keadaan; baik terhadap keadaan hutan maupun keadaan masyarakat. Keuntungan sering diambil oleh mereka yang melakukan penebangan hutan, baik secara legal maupun ilegal. Undang-undang kehutanan tahun 1997 yang memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk mengelola hutan dan berbagai peristiwa sesudah reformasi serta otonomi pemerintahan, sudah mengurangi wewenang pemerintah pusat terhadap kawasan hutan. Sejalan dengan itu tercipta pula suatu kondisi yang memungkinkan negosiasi bagi berbagai pihak (stakeholders). Dengan demikian terbuka kesempatan untuk memperbaiki pengelolaan lahan di kawasan DAS. Pasya et al. (2004) mengungkapkan bahwa pengakuan terhadap ‘kebun lindung’ di Sumberjaya, memberikan harapan besar dalam mengurangi konflik. Solusi tersebut juga menjanjikan perbaikan, baik bagi petani penggarap/pengguna lahan maupun bagi pengembalian fungsi hutan, walaupun prosesnya berjalan lambat. Aspek teknis dari negosiasi meliputi intervensi yang mungkin untuk dilakukan sehingga kedua tujuan (ekonomi dan perlindungan) untuk mempertahankan fungsi hutan dapat dipulihkan secara perlahan.
Petani mempunyai pengetahuan dan kearifan lokal yang memadai (paling tidak secara kualitatif) tentang gejala alam di sekitarnya seperti curah hujan, aliran
permukaan, dan gejala-gejala lain di sungai. Akan tetapi mereka masih kurang memahami konsep evaporasi dan transpirasi (Joshi et al., 2004). Pengetahuan ini penting untuk membantu berlangsungnya dialog antara petani dengan pemerintah. Tantangan kedepan untuk berdialog dengan pihak kehutanan adalah bagaimana mengurangi bias yang muncul pada usaha penanaman pohon per se, dan lebihdifokuskan kepada aspek kriteria dan indikator fungsi hutan yang diukur secara kuantitatif. Sejauh ini isu tentang fungsi hutan dan status hutan, merupakan
aspek politis yang sulit dijembatani. Untuk itu pemecahan masalah secara pragmatis yang dapat diterima berbagai pihak perlu sekali dikembangkan sebagaimana yang ada di Sumberjaya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diberikan dalam makalah ini yaitu peran agroforestri terhadap kondisi hidrologis memberikan ketersediaan air bersih sepanjang waktu terutama pada musim kemarau dan mengurangai potensi terjadinya banjir besar pada saat nusim hujan.
3.2. Saran
Pola agroforestri bersifat lokal spesifik, sehingga perlu dikaji pola-pola agroforestri yang paling cocok untuk diterapkan pada suatu penggunaan lahan. Dengan pertimbangan itu, maka kemampuan agroforestri untuk mempertahankan fungsi lingkungan dapat berjalan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H.S. 2009. Analisis lanskap agroforestri: konsep,metode, dan pengelolaan agroforestri skala lanskap dengan studi kasus Indonesia, Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam. Bogor:IPB Press.
Bahrun, A. (2012). Kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun agroforestri pada beberapa zona agroklimat diDAS Ciliwung Hulu. (Disertasi), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Douglas-Mankin, K., Srinivasan, R., & Arnold, J. (2010). Soil and Water Assessment Tool (SWAT) model: Current developments and applications. Transactions of the ASABE, 53(5), 1423-1431.
Emilda, A. 2010. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respon Hidrologi DAS Cisadane Hulu. (Tesis). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kehutanan. (2009). Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) Tahun 2010-2014. (SK. 328/Menhut-II/2009). Republik Indonesia: Kementerian Kehutanan.
Priyono, N.N.S. dan S.A., Cahyono. 2004. Teknologi pengelolaan daerah aliran sungai: cakupan, permasalahan dan upaya penerapannya. Prosidings Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan, Puslitbang Tanah dan Agroklimat - Badan Litbang Pertanian, di Bogor tanggal 18 Desember 2003. In Press.
Thomas, D., Weyerhaeuser, H. dan Saipothong, P., 2003. ‘Improved Tools for Managing Agroforestry Landscapes in Northern Thailand: Pilot Application of Spatial Analysis and Negotiation Support Systems. In: Jianchu, X. And Mikesell, S. (eds) Landscapes of Diversity: Indigenous Knowledge, Sustainable Livelihoods and Resource Governance in Montane Mainland Southeast Asia. Proceedings of the III Symposium on MMSEA 25–28 August 2002, Lijiang, P.R. China. Kunming: Yunnan Science and Technology Press. p. 381–400.
Comments
Post a Comment