I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan cagar alam yang dilindungi dengan ekosistem yang merupakan gabungan antara hutan hujan pegunungan rendah, hutan bakau, hutan pantai, savana dan hutan rawa air tawar. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan taman nasional yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai menjadi salah satu taman nasional tua yang dikukuhkan di Indonesia, pada tahun 1990 karena di tahun yang sama juga menjadi tahun pengukuhan UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjadi payung hukum pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya di Indonesia.
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai memiliki wilayah seluas 1.050 km² dengan Ketinggian taman ini bervariasi di atas permukaan laut hingga ketinggian 981 m. Kawasan ini menjadi tempat perlindungan satwa-satwa langka dan endemik. Tercatat ada 155 jenis burung dengan 37 jenis burung endemik dan 32 jenis burung langka. Hewan langka seperti Anoa, babirusa, buaya muara, rusa, musang sulawesi dan beberapa jenis primata seperti tangkasi dan monyet hitam juga terdapat di kawasan ini.
Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (Departemen Kehutanan, Undang – undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Satwa liar dapat diartikan binatang yang hidup liar di alam bebas tanpa campur tangan manusia. Dalam ekosistem alam, satwa liar memiliki peranan yang sangat banyak dan penting, salah satunya adalah untuk melestarikan hutan.
Satwaliar juga binatang yang hidup di dalam ekosistem alam. Pola pengelolaan satwaliar telah berkembang dengan pesat, yaitu bukan saja untuk keperluan perlindungan tetapi juga pemanfaatan yang lestari. Pemanfaatan satwaliar ini meliputi untuk kegiatan penelitian, pendidikan, pariwisata, rekreasi, bahkan jika memungkinkan untuk beberapa jenis satwa tertentu dapat dilakukan pemanenan sebagai komoditi ekspor.Pada kenyataannya satwaliar memmiliki nilai dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, maka ruang lingkup pengelolaannyapun harus diperluas.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan suatu pengamatan terhadap jenis atau spesies satwaliar serta bagaimana status konservasi satwaliar tersebut yang berada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Kab. Konawe Selatan, Prov. Sulawesi Tenggara.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
Apa saja jenis atau spesies satwaliar yang terdapat di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai?
Bagaimana status konservasi satwaliar yang berada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut
Untuk mengetahui penjelaskan tentang jenis atau spesies satwaliar dan komponen habitat satwaliar ( makanan, naungan, perlindungan, air dan ruang )
Untuk mengetahui hubungan satwaliar dengan habitat ( tropoc, level daya dukung, dan efek tepi )
Untuk mengetahui apa itu manajemen habitat.
Manfaat dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
Agar mampu menjelaskan tentang jenis atau spesies satwaliar dan komponen habitat satwaliar ( makanan, naungan, perlindungan, air dan ruang )
Agar dapat mengetahui hubungan satwaliar dengan habitat ( tropoc, level daya dukung, dan efek tepi )
Agar dapat mengetahui manajemen habitat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Satwaliar yang ada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
2.1.1. Babi rusa (Babyrousa babyrussa)
Babi rusa memiliki klasifikasi sebagai berikut menurut IUCN (2008) yaitu,
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Order : Cetartiodactyla
Family : Suidae
Spesies : Babyrousa babyrussa
2.1.1.1. Habitat Babi rusa (Babyrousa babyrussa)
Habitat babirusa berupa hutan hujan dataran rendah, menyukai kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukan-cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempattempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara Teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral untuk membantu pencernaannya. Sebagai herbivore, babirusa di SM Nantu menyukai makanan buah pangi (Pangium edule), yang banyak terdapat di SM Nantu. Selain itu babirusa juga menyukai jenis umbi-umbian, juga jamur dan buah-buahan seperti mangga (Hamidun et al., 2016).
2.1.1.2. Persyaratan hidup Babi rusa (Babyrousa babyrussa)
Habitat babirusa adalah hutan hujan tropis dataran rendah. Satwa ini menyukai kawasan hutan yang terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan aliran air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini sering mengunjungi sumber air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral yang dibutuhkan untuk membantu pencernaannya (Clayton, 1996). Sebelumnya babirusa dapat dijumpai di kawasan hutan dekat pantai, namun saat ini habitat satwa tersebut semakin jauh masuk kedalam hutan, atau habitatnya semakin naik ke kawasan pegunungan yang sulit diakses oleh manusia. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai (Suripto, 2000).
2.1.1.3. Perilaku Babi rusa (Babyrousa babyrussa)
Babirusa tergolong satwa yang pemalu, namun dapat menjadi agresif jika diganggu. Babirusa biasa hidup dalam kelompok kecil dengan satu ekor jantan yang paling kuat sebagai pemimpin. Babirusa juga sering terlihat berjalan sendiri atau dalam kelompok kecil dalam ikatan yang kuat sehingga mampu mempertahankan diri dari predator. Induk babirusa membuat sarang untuk anaknya dari berbagai bahan yang ada di hutan seperti rumput, rotan, daun dan ranting tumbuhan bawah (Anwarhadi et al., 2018).
2.1.1.4. Reproduksi Babi rusa (Babyrousa babyrussa)
Babirusa jantan maupun betina mencapai dewasa kelamin (sexual maturity) pada usia 5-10 bulan. Masa hidup maksimum (maximum longevity) mencapai usia 23-24 tahun. Jumlah anak yang dilahirkan seekor babirusa betina setiap kali melahirkan (litter size) adalah 1-2 ekor dengan berat anak pada waktu lahir sekitar 0,715 kg (1,573 lbs). Masa kebuntingan berkisar 155 – 158 hari. Lama anak disusui sekitar 1 bulan dan setelah itu anak disapih untuk mencari makanan sendiri di hutan. Seekor induk betina hanya melahirkan satu kali dalam setahun (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.55/Menhut-Ii/2013).
2.1.2. Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa memiliki klasifikasi sebagai berikut menurut IUCN (2008) yaitu,
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Order : Cetartiodactyla
Family : Bovidae
Spesies : Bubalus depressicornis
2.1.2.1. Habitat Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa merupakan satwa yang memiliki perilaku hidup secara soliter, walaupun tidak jarang dijumpai dalam kawanan tiga sampai lima ekor. Sama dengan satwaliar pada umumnya, anoa lebih memilih hidup di hutan-hutan yang lebat, dekat dengan aliran air/sungai, danau, rawa-rawa, sumber air panas yang mengandung mineral dan di sepanjang pantai dan jauh dari jangkauan manusia sebagai usaha mempertahankan dirinya. anoa memiliki tipe habitat yang spesifik dengan komponen dan sebaran lokasi yang dapat menunjang kebutuhan pakan dan perilakunya dan pada lokasi yang terbuka seperti padang rumput jarang dihuni (Arini, 2013).
2.1.2.2. Persyaratan hidup Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa umumnya hidup di hutan-hutan yang lebat, di dekat aliran air / sungai, danau, rawa, sumber air panas yang mengandung mineral dan di sepanjang pantai. Anoa membutuhkan air setiap hari baik untuk minum maupun untuk berendam ketika terik matahari menyengat. Karena itu aktivitas anoa tidak jauh dari sumber sumber air. Anoa membutuhkan air setiap hari, baik untuk minum maupun untuk berkubang. Demikian pula hutan bambu sangat disukai anoa (Hamidun et al., 2016).
2.1.2.3. Perilaku satwa Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa memiliki perilaku hidup secara soliter, namun tidak jarang juga dijumpai dalam kawanan tiga sampai lima ekor. Anoa umumnya hidup di hutan-hutan yang lebat, di dekat aliran air / sungai, danau, rawarawa, sumber air panas yang mengandung mineral dan di sepanjang pantai. Melaporkan bahwa anoa mempunyai habitat yang spesifik dengan komponen dan sebaran lokasi yang dapat menunjang kebutuhan pakan dan perilakunya dan pada lokasi yang terbuka seperti padang rumput, jarang dihuni (Ranuntu dan Mallombasang, 2015).
2.1.2.4. Reproduksi Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
Anoa yang sedang terluka, birahi, induk yang baru melahirkan atau yang sedang menyapih anaknya akan cenderung bersifat agresif. Masa kehamilan sekitar 275 sampai 315 hari, hanya 1 anak dalam setiap kelahiran. berpendapat bahwa anoa mencapai dewasa seksual pada umur 3-4 tahun dengan siklus estrus 15-23 hari dengan periode estrus 2-4 hari dimana puncak estrus terjadi pada hari ketiga. Dalam satu musim melahirkan (AgustusOktober) hanya melahirkan satu anak. Induk anoa betina menjaga anaknya tetapi induk jantan tidak. Masa sapih biasanya berlangsung antara enam hingga sembilan bulan (Lago et al., 2016).
Tarsius (Tarsius spectrum)
Tarsius memiliki klasifikasi sebagai berikut menurut IUCN (2008) yaitu,
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Primata
Subordo: Haplorrhini
Famili: Tarsiidae
Genus: Tarsius
Spesies : Tarsius spectrum
2.1.3.1. Habitat Tarsius (Tarsius spectrum)
Tarsius ditemukan hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat yang berbeda struktur tegakannya, hutan primer, hutan sekunder dan areal perkebunan. Habitat yang disukai adalah hutan hujan tropis yang memiliki sumber air yang banyak sehingga mendukung ketersediaan makanan. Serta juga dapat dijumpai di hutan hutan sekunder dengan pohon-pohon yang berukuran kecil dan sedang (Amnur, 2010).
2.1.3.2. Persyaratan hidup Tarsius (Tarsius spectrum)
Pohon tempat tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu pohon tempat tidur dalam satu wilayah kawanan. Kelompok tarsius dihutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis pohon berongga, terlindung sinar matahari dan agak gelap. Jenis ini di Pulau Selayar menggunakan rumpun bamboo sebagai tempat bersarang terutama dari jenis bambu berduri (Bambusa multiflex), dibagian bawah yang rapat dan berupa lobang-lobang yang dalam, hal ini dilakukan guna menghindari predator. Tempat tidur yang disukai oleh tarsius berupa tempat-tempat yang ditumbuhi gelagah dan berbentuk terowongan yang gelap. Umumnya pohon tidur tarsius di Tangkoko adalah tumbuhan Ficus caulocarpa juga pada akar/liana yang melilit pada pohon utama dan membentuk rongga sedangkan diluar kawasan ditemukan pada rumpun bambu atau pada pertautan daun yang lebat pada rotan dan pada percabangan pohon yang besar (Mansyur et al., 2016).
2.1.3.3. Perilaku satwa Tarsius (Tarsius spectrum)
Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu territorial. Sifat seperti ini akan mempercepat pemusnahan spesies karena sukarnya mereka beradaptasi dengan kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial T. spectrum pada umumnya adalah membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamous) dan hanya sekitar 20% saja yang multi m ale-multi female (lebih banyak jantan atau betina) dalam suatu kelompok. Ukuran kelompok pada tarsius sangat bervariasi dari 2 individu hingga paling banyak 8 individu pada setiap wilayah tidur. Komposisi dalam satu kelompok juga bervariasi, namun lebih banyak ditemukan 1 jantan dewasa, 2 betina dewasa dengan masing-masing keturunannya. Setiap sarang terdapat 3 – 6 ekor tarsius dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk keluarga (Wirdateti dan Dahrudin, 2006).
2.3.3.4. Reproduksi Tarsius (Tarsius spectrum)
Tarsius termasuk golongan hewan poliestrus karena musim kawinnya dapat terjadi beberapa waktu dalam setahun menyatakan bahwa tarsius yang hidup bebas, kawin pada awal dan akhir musim hujan, sedangkan tarsius yang berada dalam kurungan musim kawin dapat terjadi sepanjang tahun Dewasa kelamin tarsius dicapai pada umur 18 bulan sampai 2 tahun khususnya organ kelamin jantan sudah berkembang baik terutama scrotum dan testes. Lama kebuntingan pada tarsius adalah 6 bulan, dengan jumlah anak yang dilahirkan hanya satu dalam setiap kelahiran. (Wirdateti dan Dahrudin, 2006).
Rusa (Carvus timorensis)
Rusa memiliki klasifikasi sebagai berikut menurut IUCN (2008) yaitu,
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Order : Cetartiodactyla
Family : Cervidae
Spesies : Rusa timorensis
2.1.4.1. Habiata Rusa (Carvus timorensis)
Habiata rusa (carvus timorensis) telah mengalami perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, dan diduga telah mengalami penurunan selama tiga generasi sebagai akibat dari hilanganya habitat, dan perburuan masyarakat Untuk itu upaya pendalaman pengetahuan tentang semua aspek yang berkaitan dengan aktivitas harian rusa khususnya dalam penangkaran perlu di tingkatkan untuk perlindungan dan kelestariannya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi rusa timor adalah adanya perburuan liar serta penurunan kuantitas dan kualitas habitat (Kencana, 2000).
2.1.4.2. Persyaratan hidup Rusa (Carvus timorensis)
Salah satu upaya untuk diterapkan dalam meningkatkan populasi dan pelestarian rusa timor yaitu dengan melakukan upaya penangkaran. Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk pengembangbiakan satwa liar yang bertujuan untuk meningkatkan populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alaminya, oleh karena itu usaha penangkaran rusa perlu dilakukan untuk antisipasi kepunahan rusa (Bunga et al., 2018).
2.1.4.3. Perilaku satwa Rusa (Carvus timorensis)
Perilaku harian rusa timor yang paling dominan adalah makan. Sementara itu, perilaku seksual hanya ditemukan di kandang kelompok pada saat rusa jantan dan betina digabungkan dalam satu kandang. Analisa uji t pada selang kepercayaan 95% menghasilkan p -value > 0.05 yang berarti bahwa persentase perilaku rusa timor pada pemeliharaan kandang individu dan kandang kelompok tidak berbeda nyata.Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola aktivitas harian adalah karakteristik ekologi habitatnya Rusa juga memiliki periode interval antara periode makan (interval between feeding bout ). Interval ini banyak diisi dengan aktivitas duduk dan ruminasi (Ulhaq, 2013).
2.1.4.4. Reproduksi Rusa (Carvus timorensis)
Berahi menandakan bahwa betina telah mengalami dewasa kelamin dan bersedia menerima pejantan dalam perkawinan. Tanda-tanda berahi pada betina adalah nafsu makan berkurang, tidak tenang, berdiri tenang apabila dinaiki pejantan atau sesame betina, sering kencing, mencium dan menjilat alat kelamin jantan, vulva (alat kelamin betina paling luar) terlihat membengkak, merah, dan apabila dipegang terasa hangat. Tanda-tanda berahi pada jantan adalah sering meraung, berkubang, menancapkan ranggah ke tanah atau pohon, bahkan sering mencium dan membaui urine yang dikeluarkan rusa betina sambil menjulurkan lidah. Lama berahi pada rusa diamati mulai dari permulaan timbulnya keinginan untuk kawin hingga saat terakhir yakni 2,25 hari dengan siklus berahi 20,25 hari (Takandjandji, 2012).
Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Monyet hitam memiliki klasifikasi sebagai berikut menurut IUCN (2008) yaitu,
Kerajaan: Animalia;
Filum: Chordata;
Kelas: Mammalia;
Ordo: Primata;
Famili: Cercopithecidae;
Genus: Macaca;
Spesies: Macaca nigra.
2.1.5.1. Habiatat Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Marga Macaca merupakan marga dengan pesebaran yang paling luas saat ini dan merupakan marga dengan kemampuan adaptasi terhadap iklim serta habitat yang paling paik dibandingkan dengan marga primata yang lain. Macaca nigra dapat dijumpai pada hutan primer dan sekunder. Macaca nigra lebih sering melakukan aktivitas di perkebunan masyarakat dan mengambil hasil panen perkebunan sehingga seringkali jenis ini dianggap sebagai hama perkebunan (Hakim, 2010).
2.1.5.2. Persyaratan hidup Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Daya dukung habitat dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor fisik lingkungan yang salah satunya adalah daya dukung sumber pakan. Daya dukung sumber pakan ditentukan oleh keanekaragaman sumber pakan tersebut. Semakin berlimpah dan tersebar sumber pakan, maka semakin besar daya dukung habitat. Ketersediaan pakan sangat mempengaruhi aktifitas satwaliar termasuk monyet hitam Sulawesi (Rahasia et al., 2013).
2.1.5.3. Perilaku satwa Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Pergerakan dari Macaca nigra adalah menggunakan keempat anggota geraknya atau quadropedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird di CA Tangkoko, Macaca nigra menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh (Pamekas et al., 2013).
2.1.5.4. Reproduksi Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Masa kehamilan Macaca nigra berkisar antara 170-190 hari dan jarak kelahiran 18 bulan. Persentase kematian bayi cukup besar yakni 21% . Monyet ini dapat bertahan hidup hingga 26 tahun. Bahwa masa hidup jenis ini adalah 18 tahun (Mondoringin et al., 2016).
2.2. Domestika Satwaliar (Manfaat)
Ruang lingkup domestikasi dapat dibedakan adanya tiga unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu objek, proses, dan sasaran. Satwaliar merupakan sumberdaya alam, sebagai objek yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai sasaran pengembangan yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas komoditi domestik, sehingga perlu dilakukan suatu proses domestikasi terhadap objek satwaliar (Mirdat et al., 2019).
Domestikasi merupakan suatu proses untuk pembentukan jenis dalam suatu populasi/jenis yang semakin lama semakin disesuaikan dengan keadaan tidak liar, melalui mekanisme-mekanisme genetika populasi, untuk mendekati/mencapai tuntutan kebutuhan manusia. Upaya domestikasi satwaliar merupakan suatu proses untuk mengembangkan satwa liar menjadi komoditi domestic (Mytasari et al., 2014).
2.3. Pengelolaan Satwaliar
Game Ranching dan Game Farming merupakan pola yang telah berkembang dalam proses pengembangan satwa liar, yang merupakan bentuk-bentuk kegiatan penangkaran. Bedanya terletak pada intensitas pengelolaannya. Jika penangkaran dilakukan dengan sistem pengelolaan ekstensif disebut game ranching, dan bila dilakukan dengan sistem pengelolaan intensif disebut game farming. Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwaliar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi untuk selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran (Pattisselanno et al., 2015).
Baik secara langsung maupun tak langsung, satwa liar memiliki nilai ekonomi. Dalam pemanfaatannya kita harus memperhatikan aspek kelestarian dari satwa liar itu sendiri agar menghindari terjadinya kepunahan. Nilai ekonomi satwaliar dapat diperoleh dengan berbagai cara pengelolaan seperti pengembangan rekreasi dan olah raga berburu, pengembangan atraksi satwaliar sebagai objek pemandangan alam, game ranching, dan game farming (Ahcmad et al., 2013).
2.4. Taman Nasional Raw Aopa Watumohai
2.4.1. Sejarah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Taman Nasional Rawa Aopa Watmohai merupakan cagar alam yang dilindungi dengan ekosistem yang merupakan gabungan antara hutan hujan pegunungan rendah, hutan bakau, hutan pantai, savana dan hutan rawa air tawar. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan taman nasional yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai menjadi salah satu taman nasional tua yang dikukuhkan di Indonesia, pada tahun 1990 karena di tahun yang sama juga menjadi tahun pengukuhan UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjadi payung hukum pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya di Indonesia (Yascita, 2003).
2.4.2. Ekosistem Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai adalah taman nasional yang terletak di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Rawa Aopa Watumohai ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1989, dan memiliki wilayah seluas 1.050 km². Ketinggian taman ini bervariasi dari di atas permukaan laut hingga ketinggian 981 m. Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai memiliki 4 ekosistem yang menyusun wilayahnya yaitu ekosistem savanna, ekosistem rawa, ekosistem mangrove dan yang terakhir yaitu ekosistem hutan pegunungan dataran rendah. Terdapat potensi wisata lain yang juga menarik untuk dikunjungi, di antaranya Pulau Harapan II, Pantai Lanowulu, dan Gunung Watumohai. Pulau Harapan II terletak di tengah-tengah Rawa Aopa, yang menyajikan keindahan panorama alam rawa dengan pamandangan burung-burung air yang sedang mengintai ikan. Di Pantai Lanowulu, wisatawan dapat berenang atau melakukan kegiatan wisata bahari, seperti berlayar dan memancing. Sedangkan di Gunung Watumohai, para wisatawan dapat melakukan kegiatan pendakian dan berkemah. Di lereng gunung tersebut, terdapat padang savana untuk tempat berkemah sembari melihat ratusan ekor rusa yang sedang merumput, burung-burung yang bernyanyi saling bersahutan, dan aneka satwa lainnya (Pratiwi, 2015).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at, 3 Mei 2019 – Sabtu, 4 Mei 2019. Bertempat di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai yang terletak Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Rawa Aopa Watumohai ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1989, dan memiliki wilayah seluas 1.050 km². Ketinggian taman ini bervariasi dari di atas permukaan laut hingga ketinggian 981 m.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum manajmen satwa liar yaitu: kamera, papan komputer dan alat tulis menulis. Sedabgkan bahan yang digunakan pada praktikum manajmen satwa liar yaitu tally sheet.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada praktikum ini yaitu sebagai berikut :
Menyiapkan alat dan bahan sebelum melakukan praktikum
Menuju lokasi praktikum di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Menerima penyambutan dari pihak Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Menerima materi berupa sejaran dan Satwaliar sera vagetai yang berada pada kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Melihat lokasi praktikum pada pagi hari, melakukan penanaman pohon di kawasan ekosistem savanna
Menuju lokasi penangkaran satwa Rusa
Menerima materi tentang satwaliar yang ada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Melihat lokasi penangkaran satwa Babi Rusa
Kembali kekampus, kemudian melakukan identifikasi status konservasi terhadap masing – masing satwa yang terdapat di TNRAW melalui IUCN. Cara mencari klasifikasi taksonomi melalui IUCN adalah sebagai berikut :
Masuk kepencarian google dengan mengetik nama satwa yang akan dicari
Kemudian setelah muncul hasil pencarian pilih hasil teratas pencarian
Setelah muncul tampilan utama dari redlist IUCN jangan lupa mendowloadnya
Pilih download
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1. Letak dan Batas Wilayah
Kawasan TNRAW terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara, dengan posisi geografis terletak antara 4°22’- 4°39’ Lintang Selatan dan 121°44’ 122°44’ Bujur Timur. Secara fisik kawasan ini membentang dari selatan mulai dari Selat Tiworo di daerah Tinanggea-Lantari menuju arah utara pegunungan Makaleleo di daerah Lambuya-Tirawuta. Secara administratif pemerintahan, kawasan ini memiliki luas 105 194 ha dan berada pada Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana.
Sampai tahun 2012, terdapat 16 kecamatan yang bersinggungan langsung dengan kawasan TNRAW. Diantara kecamatan-kecamatan tersebut, sebagian besar luasan taman nasional berada pada Kecamatan Mata Usu. Kawasan
TNRAW berbatasan dengan lahan budidaya masyarakat, kecuali pada bagian Tenggara dengan Selat Tiworo dan Hutan Produksi (HP) pada sebagian kecil di utara kawasan, serta bagian barat dan barat daya. Batas fisik kawasan TNRAW di lapangan ditandai dengan pal batas sepanjang 366 km. Tata batas kawasan ini dilaksanakan tahun 1984-1987 dan telah temu gelang.
4.2. Iklim
Di sekitar kawasan TNRAW terdapat 4 pos pengamatan cuaca. Curah hujan bulanan pada keempat pos hujan ditampilkan pada Tabel 4. Pergantian musim kemarau ke musim penghujan terjadi pada bulan Nopember. Hujan umumnya mulai terjadi pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Mei. Sementara musim kemarau dimulai pada bulan Juli dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dengan curah hujan bulanan dibawah 100 mm. Bagian selatan kawasan Taman Nasional berupa dataran rendah yang didominasi oleh savana seluas 22 000 ha. Kawasan tersebut memiliki karakteristik suhu panas, dapat mencapai kisaran 30-32 °C. Kondisi ini terjadi pula pada bagian tengah taman nasional yang berupa wilayah datar memanjang ke utara sampai kaki gunung Makaleleo.
4.3. Tanah dan Bebatuan
Tanah di kawasan TNRAW umumnya berjenis Inceptisol, tersebar di 3 lokasi dengan luasan 61 121.57 ha atau 58.10 % dari luas seluruh kawasan. Jenis ini mendominasi ekosistem rawa dan savana yang umumnya berada pada bentang wilayah datar sampai landai. Jenis tanah entisol mencakup 5 % luasan yang tersebar di 2 lokasi, salah satunya kawasan yang berdekatan dengan laut. Kawasan ini berupa ekosistem mangrove yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Jenis tanah organosol yang kaya kandungan bahan organik banyak ditemukan di daerah-daerah berlumpur, tergenang air atau berawa. Jenis ini mendominasi ekosistem mangrove dan daerah tergenang Rawa Aopa. Luasan tanah organosol (11.23 %) merupakan terendah dibanding jenis tanah yang lain. Komposisi bahan induk (pengolahan Peta RePProt) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 6 didominasi oleh batuan sedimen yang banyak dijumpai di daerah berbukit atau bergelombang. Bahan ini tersebar di dua lokasi yaitu di daerah sekitar enclave Horodopi dan yang terluas di bagian selatan kawasan, membentang mulai Kecamatan Lalembuu Kabupaten Konawe Selatan sampai dengan Kecamatan Mata Usu Kabupaten Bombana. Luas seluruhnya sekitar 39 125 ha atau 37.19 % dari luasan TNRAW.
4.4. Topografi
Kawasan TNRAW memiliki bentang wilayah mulai dari datar, landai, curam maupun terjal. Terdapat 3 pegunungan di bagian utara dan selatan kawasan, yaitu Gunung Mokaleleo (500 mdpl), Gunung Watumohai (330 mdpl) dan Gunung Mendoke (790 mdpl). Umumnya kawasan TNRAW bertopografi datar dengan kisaran kelerengan 0 – 2 %. Kawasan ini terdiri atas savana, rawa, mangrove dan kawasan di sekitar Desa Bou memanjang sampai Desa Horodopi. Luasannya mencapai 52 147.57 ha atau 49.57 % dari luas seluruh kawasan TNRAW. Kelerengan landai dengan kisaran lereng 2 – 8 % banyak terdapat di kaki Gunung Mendoke dan Gunung Watumohai yang berbatasan dengan lahan budidaya masyarakat.
Kelas lereng curam sampai sangat curam dengan kisaran lereng 20 – 40 % ditumbuhi oleh pepohonan yang membentuk ekosistem hutan dataran rendah di Gunung Mendoke, Makaleleo dan Gunung Watumohai. Daerah puncak Gunung Mendoke dan Makaleleo termasuk wilayah sangat terjal dengan kelerengan di bawah 49 %.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
Hasil pada praktikum ini dapat di lihat pada tabel 1. Ekosistem Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan tabel 2. Status Konservasi Satwaliar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Tabel 1. Ekosistem Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
No.
Jenis Ekosistem
Luas
Jenis Satwa Dominan
1.
Savanna
22.964 hektar
Maleo, kakatua jambul kuning dan anoa dataran rendah, Rusa , Monyet hitam sulawesi tenggara, elang sulawesi
2.
Mangrove
6.173 hektar
Buaya, anoa, babi hutan, berbagai jenis ikan, udang, kepiting bakau, Burung pecuk ular, Wilwo dan Bangau.
3.
Rawa
Rawa Aopa seluas 12.000 hektar dan Rawa Lere di bagiantengah kawasanseluas 600 hektar
Burung wilwo
4.
Hutan Pegunungan Dataran Rendah
64.569 hektar
Maleo, kakatua jambul kuning dan anoa dataran rendah, Rusa , Monyet hitam sulawesi tenggara, elang sulawesi
Tabel 2. Status Konservasi Satwaliar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
No.
Spesies
Status Konservasi
Nama Lokal
Nama Ilmiah
UU/PP
IUCN
1.
Burung Maleo
Macrocephalon maleo
Dilindungi / terancam
Genting (Endangered)
2.
Babirusa
Babyrousa babyrussa
Langka dan dilindungi
Rentan (Vulnerable)
3.
Anoa dataran rendah
Bubalus depressicornis
Dilindungi
Terancam punah (Endangered species)
4.
Rusa timor
Cervus timorensis
Langka dan dilindungi
Rentan (Vulnerable)
5.
Monyet hitam
Macaca ochreata
langka dan terancam punah
Krisis
(Critically Endangered)
6.
Kus kus
Ailurops
Dilindungi
Rentan (Vulnerable)
7.
Kakatua kecil jambul kuning
Cacatua sulphurea
langka dan terancam punah
Krisis
(Critically Endangered)
8.
Rangkong Sulawesi
Rhyticeros cassidix
Dilindungi
Rentan (Vulnerable)
9.
Burung kirik-kirik
Merops sp
Dilindungi
Resiko rendah (Least concern)
10.
Elang ikan
Pandion haliaetus
Dilindungi
Resiko rendah (Least concern)
11.
Burung Aroweli atau Bluwok
Mycteria cinerea
Dilindungi / terancam
Genting (Endangered)
5.2. Pembahasan
Taman Nasional Rawa Aopa merupakan Taman Nasional terdapat satwa liar yang memiliki tingkat keragaman jenis satwa. Dalam hal ini jenis dan populasi satwa sangat tergantung pada hutan primer, hutan sekunder dan ada juga yang dapat berkembang pada tegakan pohon di luar hutan seperti jenis-jenis burung tertentu dimana pohon berfungsi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang. Biodiversitas dan tingkat kelangkaan satwa ditentukan pula oleh luas atau sempitnya sebaran geografis, spesifikasi habitat yang lebih bervariasi atau terbatas serta berlimpah atau jarangnya populasi. Selain itu, keanekaragaman jenis dipengaruhi pula oleh pemanfaatan lahan, fragmentasi hutan, jenis pemanfaatan hutan, dan perubahan alam. Berdasarkan dimensi biodiversitas tersebut, keanekaragaman jenis sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan perlakuan terhadap habitat dalam bentuk pengelolaan hutan.
Hasil pada praktikum ini dapat di lihat pada tabel 1 yang menunjukan Taman Nasional Rawa Aopa Watmohai merupakan cagar alam yang dilindungi dengan ekosistem yang merupakan gabungan antara hutan hujan pegunungan rendah, hutan bakau, hutan pantai, savana dan hutan rawa air tawar. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan taman nasional yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai menjadi salah satu taman nasional tua yang dikukuhkan di Indonesia, pada tahun 1990 karena di tahun yang sama juga menjadi tahun pengukuhan UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjadi payung hukum pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya di Indonesia.
Praktikum ini juga meninjukan potensi fauna atau satwaliar yang di milki taman nasinal Rawa Aopa Watumohai yang memiliki wilayah seluas 1.050 km² dengan Ketinggian taman ini bervariasi di atas permukaan laut hingga ketinggian 981 m. Kawasan ini menjadi tempat perlindungan satwa-satwa langka dan endemik. Tercatat ada 155 jenis burung dengan 37 jenis burung endemik dan 32 jenis burung langka. Hewan langka seperti Anoa, babirusa, buaya muara, rusa, musang sulawesi dan beberapa jenis primata seperti tangkasi dan monyet hitam juga terdapat di kawasan ini. Bebberapa satwaliar tersebut dapat di lihat pada tabel 2 yang sekaligus menunjukan status konservasi dari IUCN.
Ekosistem savannah itu membentang dari batas akhir zonasi hutan bakau di sisi timur TNRAW hingga gunung Watumohai dan Mendoke yang terletak di sisi barat. Savannah yang didominasi alang-alang, serta pohon Longgida, Agel, Lontar dan Tipulu itu membentang seperti karpet hijau seluas 22.964 hektar. Ekosistem mangrove terletak di bagian selatan kawasan, membentang dari barat ke timur sepanjang 24 km dengan luas 6.173 hektar. Kelimpahannya juga sangat tinggi. Dalam kawasan tersebut, sedikitnya terdapat 27 jenis tumbuhan, yang didominasi Rhizophora mucronata, Avicennia alba dan Bruguiera gymnorrhyza. Areal mangrove juga menyimpan beragam kekayaan satwa seperti buaya, anoa, babi hutan, berbagai jenis ikan, udang, kepiting bakau, Burung pecuk ular, Wilwo dan Bangau.
Ekosistem rawa menempati urutan ketiga dari sisi luas wilayah. Ekosistem ini terbagi meliputi Rawa Aopa seluas 12.000 hektar dan Rawa Lere di bagian tengah kawasan seluas 600 hektar. Rawa di TNRAW merupakan daerah depresi yang terletak di antara Pegunungan Mendoke, Motaha dan Makaleleo. Kondisinya selalu tergenang sepanjang tahun, karena menjadi muara beberapa sungai yang ada, sebelum mengalir ke Sungai Konaweeha di bagian utara dan Sungai Roraya di bagian selatan kawasan. Ekosistem terakhir dan terluas di TNRAW adalah ekosistem Hutan Pegunungan Dataran Rendah. Ekosistem ini terdapat mulai kawasan datar hingga daerah bergunung dengan tipe vegetasi yang sangat beragam. Tepatnya berada antara Rawa Aopa hingga ke gunung Makaleleo di bagian utara, serta sekitar Pegunungan Mendoke, Gunung Watumohai hingga ke bagian kakinya. Selain itu tipe ekosistem ini terdapat pula di sepanjang alur-alur sungai di tengah savannah.
Saat ini, populasi satwaliar di alam sudah menurun drastis karena perburuan dan kerusakan habitat. Oleh sebab itu, upaya penangkaran satwa yang bernilai ekonomi di luar habitat perlu dilakukan sehingga kelestarian jenis dan populasi, serta pemanfaatan dapat dicapai. Penangkaran satwaliar bernilai ekonomis telah menjadi bagian sumberdaya untuk kebutuhan masyarakat di sekitar hutan. Penangkaran lebih banyak diarahkan pada penangkaran rusa walaupun penangkaran jenis lain telah diupayakan untuk mendukung sistem perdagangan satwaliar. Penangkaran rusa dapat dilakukan dengan mengacu kepada informasi bio-ekologis. Sistem penangkaran rusa, dapat meliputi ranching, semi atau mini ranching dan kandang individu atau berupa panggung yang disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan modal. Beber apa aspek yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran untuk semua sistem tersebut, antara lain jumlah individu, sex ratio, perkandangan, dan habitat buatan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan pengelolaan. Selanjutnya,informasi penelitian dan hasil penangkaran dapat dikembangkan sebagai budidaya komersial dalam berbagai skala usaha, sehingga menambah pendapatan masyarakat, swasta, dan pemerintah.
VI. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
Jenis-jenis atau spesies satwaliar yang dominan terdapat di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai yaitu Maleo, kakatua jambul kuning dan anoa dataran rendah, Rusa , Monyet hitam sulawesi tenggara, elang Sulawesi dan Buaya, anoa, babi hutan, berbagai jenis ikan, udang, kepiting bakau, Burung pecuk ular, Wilwo dan Bangau
Status konservasi satwaliar yang ada di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai menurut UU/PP dan IUCN yang mendominasi yaitu dalam kategori dilindungi dan langka serta Genting (Endangered), Rentan (Vulnerable), Krisis (Critically Endangered).
5.2. Saran
Saran yang kami inginkan yaitu saran yang membangun serta kritikan yang baik untuk kelancaran dan perbaikan laporan ini agar menjadi lebih baik lagi. Serta perlu diadakannya lagi praktikum seperti ini agar mahasiswa dapat membandingkan langsung materi yang didapatkan dalam perkuliahan dengan kondisi sebenarnya dilapangan.
Comments
Post a Comment