LAPORAN PEMANENAN
Oleh:
SAHRUN
M1A1 16 174
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam hayati yang berfungsi sebagai
pelindung sistem penyangga kehidupan dan berperan penting dalam perekonomian. Oleh sebab itu, eksistensi dan keberadaan hutan menjadi jaminan
keseimbangan mutu lingkungan hidup. Degradasi hutan menimbulkan bencana
banjir, tanah longsor dan kekeringan yang sangat mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan. Dampak lanjutan berupa rusaknya tanaman pangan, hilangnya
kesempatan kerja dan rusaknya akses perhubungan yang akan mengakibatkan
peningkatan kemiskinan baik bagi masyarakat sekitar hutan maupun di luar
kawasan hutan (Helni, 2010).
Pembangunan hutan tanaman dipterokarpa dengan teknik SILIN berkaitan dengan investasi dalam jangka waktu pengusahaan yang panjang. Diperlukan analisis kelayakan finansial dan ekonomi untuk mengetahui manfaat bagi perusahaan dan masyarakat secara luas serta analisis sensitivitas untuk mengetahui kepekaan pembangunan hutan tanaman dipterokarpa terhadap berbagai kemungkinan dan perubahan pada arus biaya atau pendapatan. Mengacu kepada suku bunga sebesar 6,4%, untuk analisis finansial dan 4,04% untuk analisis ekonomi penelitian ini menganalisa kelayakan dari pembangunan
hutan tanaman dipterokarpa dengan teknik SILIN di PT. Sari Bumi Kusuma (PT. SBK). Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa dari empat skenario penilaian, tiga diantaranya secara finansial pembangunan hutan tanaman dipterokarpa di PT. SBK layak untuk diusahakan sedangkan satu skenario dimana pendapatan yang diperoleh dari tebangan di jalur tanam tidak layak untuk diusahakan. Sedangkan dari hasil analisis ekonomi pembangunan hutan tanaman dipterokarpa layak untuk diusahakan dari semua skenario pendapatan yang ada (Yuniati , 2011).
Hutan adalah sekelompok tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon berkayu yang menempati suatu tempat dan mempunyai struktur serta komposisi yang berbeda dengan lingkungan di luarnya. Tingginya kebutuhan terhadap hasil hutan berupa kayu menyebabkan hutan alam terdegradasi baik kuantitas maupun kualitasnya, oleh karena itu kedepannya preskripsi pengelolaan hutan alam harus dapat ditentukan dengan lebih akurat dan efisien. Potensi tegakan dimasa yang akan datang dapat diduga berdasarkan potensi tegakan sisa tebangan yang ada
sekarang melalui data hasil pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP), untuk itu perlu juga diketahui keragaman struktur tegakan setelah penebangan (Saputra, 2009).
Rendahnya nilai kekayaan jenis yang didapat disebabkan HPGW merupakan hutan tanaman dengan jenis tumbuhan yang lebih homogen. Hasil indeks kekayaan yang selalu sama pada tingkat pohon dan tiang dikarenakan tidak munculnya jenis baru pada tingkat pertumbuhan tersebut karena untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut dibutuhkan periode yang lebih lama. Pada tingkat pancang indeks kekayaannya bernilai 0 dikarenakan hanya 1 jenis tumbuhan yang ditemukan. Hal yang sama terjadi pada tingkat semai yang tidak mengalami perubahan dalam periode 6 bulan dan 8 bulan tetapi pada periode 10 bulan setelah terbakar baru terjadi penurunan indeks kekayaan jenis hal ini dikarenakan bertambahnya kelimpahan jenis semai yang ditemukan (Perdana, 2016).
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan praktikum mengenai pemanenan kayu, penentuan arah rebah, takik rebah dan takik balas serta teknik yang digunakan dalam pemanenan kayu. Sebab dengan begitu akan memberikan ilmu pengetahuan yang lebih spesifik.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan pada praktikum pemanenan hasil hutan adalah :
Untuk mengetahui potensi tegakan yang ada pada hutan tanaman dan hutan alam yang ada di Universitas Halu Oleo.
Untuk mengetahui proyeksi tajuk, arah rebah, lebar takik, takik balas, dan engsel pada hutan tanaman dan hutan alam yang ada di Universitas Halu Oleo.
Kegunaan pada praktikum pemanenan hasil hutan adalah :
Dapat mengetaui Potensi tegakan yang ada pada hutan tanaman dan hutan alam yang ada di Universitas Halu Oleo.
Dapat mengetaui proyeksi tajuk, arah rebah, lebar takik, takik balas, dan engsel pada hutan tanaman dan hutan alam yang ada di Universitas Halu Oleo.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Hutan Alam
Hutan alam (natural forest) adalah hutan yang tumbuh yang tumbuh secara alami tanpa adanya campur tangan manusia. Hutan ini berisi bermacam-macam jenis, umur, dan ukuran puhon (Arief, 2001).
Hutan alam merupakan hutan yang tumbuh dan hidup secara alami tanpa
adanya campur tangan manusia, dimana secara fisik tegakan mempuyai tiga ciri
utama, yaitu tegakan tidak seumur, komposisi jenis yang heterogen dengan jumlah
jenis yang sangat tinggi, dan memiliki jenis pohon yang bernilai ekonomis tinggi
yang cocok untuk setiap penggunaan kayu (Suhendang, 1995 dalam Saputra, 2009). Hutan alam tidak seumur ditinjau dari sifat-sifat silvikulturnya adalah hutan dengan distribusi umur yang tidak seragam serta sulit untuk menerangkan fase umurnya dan pertumbuhannya, sehingga umumnya digunakan dimensi kelas diameter pohon sebagai pencirinya (Saputra, 2009).
Hutan alam merupakan hutan yang beregenerasi secara alami dari spesies aslinya, dimana tidak terlihat adanya indikasi dari aktivitas manusia dan proses
ekologi tidak secara nyata terganggu. Beberapa karakteristik utama dari hutan primer adalah: memperlihatkan adanya dinamika hutan alam, seperti komposisi
jenis tumbuhan asli, terdapatnya kayu mati, struktur umur alami dan proses regenerasi alam; nareal cukup luas untuk memelihara karakteristik alaminya; tidak dijumpai adanya intervensi atau campur tangan manusia dalam waktu yang sangat lama dan memungkinkan terjadinya proses dan komposisi spesies alami untuk dapat pulih kembali (Dijk dan Savenije, 2011).
Pemanenan kayu di hutan alam dengan sistem tebang pilih dapat mempengaruhi potensi simpanan karbon hutan melalui kegiatan penebangan pohon-pohon komersial serta kematian pohon-pohon yang mengalami kerusakan sebagai dampak dari kegiatan pemanenan kayu tersebut. Simpanan karbon yang hilang dari pohon-pohon yang rusak akibat pemanenan kayu maupun sisa-sisa penebangan yang berada di dalam hutan yang nantinya terdekomposisi akan berpotensi menghasilkan emisi karbon. Besarnya pengurangan simpanan karbon ini perlu diketahui untuk mengkaji dampak pemanenan kayu terhadap potensi emisi karbon yang ditimbulkan (Wayana, 2011).
Konversi hutan alam hujan tropis menjadi hutan tanaman secara drastis
menyederhanakan kompleksitas struktur hutan dan mengurangi komposisi jenis
penyusun hutan. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi ekologis, antara lain
menurunnya keragaman hayati, meningkatnya serangan hama dan penyakit
tanaman dan potensi penurunan kesuburan tanah. Penerapan prinsip-prinsip
ekologi dapat dilakukan untuk mengurangi dampak ekologis hutan tanaman.
Kompleksitas struktur hutan dan keragaman hayati dapat ditingkatkan dengan
mempertahankan dan menambah jalur hutan alam yang terhubung satu sama
lain. Jalur hutan alam ini berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hewan,
termasuk penyerbuk tanaman dan predator yang dapat mengendalikan populasi
hama dan penyakit tanaman. Kesuburan tanah dapat dipertahankan dengan
pengembalian seresah dan limbah kayu dan kulit pohon ke tanah (Wiryono, 2017).
2.1. Pengertian Hutan Tanaman
Hutan tanaman merupakan hutan yang secara predominan terdiri dari pohon-pohon yang dikembangkan melalui penanaman dan/atau pembesaran biji/
perkembangbiakan. dalam konteks ini, predominan berarti bahwa pohon yang
ditanam/pembesaran pohon melalui biji diharapkan dapat menjadi penopang lebih dari 50% stok pertumbuhan pada tingkat dewasa, meliputi trubusan (coppice) dari pohon-pohon yang asalnya dari penanaman atau pengembangbiakan/pembesaran biji, tidak termasuk pohon-pohon yang menyebar sendiri dari spesies yang diintroduksi (Dijk dan Savenije, 2011).
Hutan tanaman adalah tegakan hutan yang dibangun dengan cara penanaman
dan atau penyemaian dalam proses afforestasi atau reforestasi (FAO, 2001 dalam Puspitojati, 2011). Definisi tersebut menggambarkan kondisi biofisik hutan tanaman monokultur kayu. Hutan adalah hamparan lahan atau bidang-bidang lahan yang ditumbuhi pepohonan termasuk bidang lahan yang akan ditumbuhi pohon-pohon sehingga dapat membentuk iklim mikro.
Hutan tanaman merupakan hutan yang dibangun melalui kegiatan
reboisasi dan penghijauan dengan satu atau beberapa jenis tanaman baru
atau dengan jenis asli maupun jenis asing (exotic) baik dengan penanaman
langsung maupun melalui pembibitan. Hutan tanaman ini ditandai dengan
kelas umur dan jarak tanam yang teratur (Anonim, 2001 dalam Harry, 2018).
Hutan tanaman biasanya hanya memiliki satu jenis tanaman seumur yang
ditanam dalam skala luas. Maka, dampak yang langsung terlihat dari konversi
hutan alam menjadi hutan tanaman adalah penyederhanaan struktur dan komposisi
jenis penyusun hutan. Hutan alam yang terstratifikasi secara vertical kedalam
beberapa lapisan tajuk, berubah menjadi hutan yang hanya memiliki satu lapisan
tajuk pohon. Secara horizontal, hutan tanaman merupakan hamparan yang
homogen (Wiryono, 2017).
Pembangunan hutan tanaman sebagai bagian integral dari pembangunan kehutanan secaran nasional, sangat penting dan strategis untuk
mendukung kelangsungan dan keberhasilan pembangunan secara nasional. Keberhasilan pembangunan hutan tanaman dapat dicapai jika terdapat sinergitas antara kekuatan masyarakat, pemerintah, dan industri perkayuan. Demikian pula keberhasilan pengelolaan hutan tanaman sangat bergantung kepada ketiga unsur tersebut (Anonim, 2006 dalam Syahadat, 2013).
2.3. Teknik Pemanenan
Dalam kegiatan pemanenan hutan dibutuhkan perencanaan yang tepat untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal dengan kerusakan yang seminimum
mungkin dari kegiatan proses pemanenan kayu. Ada 2 metode dalam teknik
pemanenan hutan, yaitu dengan teknik pemanenan konvensional atau
Conventional Logging (CL) dan pemanenan yang ramah lingkungan atau Reduced
Impact Logging (RIL) (Pamungkas, 2014).
Untuk mencapai kelestarian hutan, pemanenan hutan dengan teknik
konvensional dirubah dengan penerapan pemanenan hutan dengan teknik RIL
(Reduce Impact Logging). Keberhasilan pemanenan hutan secara lestari dengan
teknik RIL dapat dilihat diantaranya adalah sejauh mana pengelolaan dan
implementasinya sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Untuk
mengetahui ketercapaian sasaran tersebut diperlukan pengukuran kinerja
pelaksanaan (Asmar, 2011).
Pemanenan hasil hutan didefinisikan sebagai serangkaian kehutanan yang merubah pohon atan biomassa lain menjadi bentuk yang dapat dimanfatkan bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan. Sedangkan sistem pemanenan hasil hutan adalah metode pengambilan hasil hutan berupa kayu yang dapat didasarkan pada pada sistem silvikultur, penggunaan alat, penggunan jenis tenaga dan sortimen yang dihasilkan (Suparto, 1979; Sudarmanto, 1996 dalam Hidayat, 2000). Berdasarkan hasil penelitian oleh Misarwan (1996) dalam Hidayat (2000) sistem kerja pemanenan di hutan rawa meliputi kegiatan penebangan yang menggunakan satu buah chainsaw, bahan bakar dan pelumas. Kegiatan ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan awal (di pondok), penebangan dan pengulitan kayu.
Teknik pemanenan kayu yang dilakukan selama ini menyebabkan tingginya tingkat kerusakan lingkungan. Usaha-usaha pencegahan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pemanenan kayu belum banyak dilakukan. Salah satu teknik pemanenan kayu yang diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan adalah dengan teknik Reduced Impact Timber Harvesting (RITH) (Lidiawati, 2002).
Sistem pemanenan kayu ditinjau dari derajat mekanisasinya dibagi
menjadi tiga macam yaitu sistem manual, sistem semi mekanis dan sistem
mekanis. Sistem manual dicirikan dengan penggunaan alat-alat pemanenan kayu
tradisional yang melibatkan teknologi sederhana dan umum nya dilaksanakan
dengan tenaga manusia. Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan
ranting, pemotongan batang-batang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan
hasil penebangan ke TPn serta pengangkutan dilakukan dengan tenaga manusia.
Sistem semi mekanis merupakan sistem pemanenan kayu yang dilakukan dengan
tenaga manusia namun dengan bantuan mesin-mesin pemanenan kayu. Dalam
sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian
batang, penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi mekanis. Sistem
mekanis merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin
pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem mekanis sejak
dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta
penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis (Wayana, 2011).
2.4. Metode Proyeksi Arah Rebah, Takik Balas, Takik Rebah, dan Engsel
Sebelum kegiatan penebangan dilakukan, terlebih dahulu ditentukan arah rebah pohon dengan mempertimbangkan kerusakan (pecah banting) seminimal
mungkin. Pada kenyataan di lapangan sering terjadi ketidak sesuaian arah rebah
pohon dengan rencana yang ditentukan. Hal ini disebabkan karena kondisi
kemiringan pohon yang tidak sesuai dengan arah rebah yang ditentukan. Selain itu
33 hal tersebut dapat disebabkan karena kesalahan dalam membuat takik rebah dan takik balas (Wahidi, 2009).
Kegiatan penebangan dilakukan oleh operator chainsaw selama ±4 menit.
Lama proses penebangan ini tergantung pada diameter pohon yang akan ditebang. Proses takik rebah dan takik balas ini merupakan proses pemotongan pangkalpohon. Proses pengerjaannya dilakukan oleh satu orang berperan sebagai operator chainsaw dan satu sebagai helper (Sabiila, 2013).
Pada umumnya penebangan Jati dilakukan dengan menggunakan tekiik penebangan dtakik rebah. Keuntungan dari penerapan takik ini adalah mudahnya perebahan pohon, karena dengan adanya takik rebah, pohon nienjadi lebih mudah diarahkan ltearali rebali yang diinginkan, seliingga kentsakan/cacat pada pohon dapat diminimalkan. Kelemahannya adalah adanya Iimbah berupa tuuggak yaug dihasilkan. Salah satu usaha efisiensi produksi kayu Jati adalah dengaii menerapkan teknik penebangan tanpa takik rebah dengan sasarali untuli
men~iimalkan tunggak (Amaliah, 2000).
Pembuatan takik rebah dan balas yang benar akan menyebabkan porsi ketepatan penyimpangan jatuh pohon berturut-turut 29% dan 2% dari total pohon contoh. Pembuatan takik rebah dan balas yang salah akan menyebabkan arah jatuh pohon yangtepat 19% dan menyimpang 8% dari pohon contoh. Kesalahan pembuatan takik rebah adalah atap takik dibuat dengan kemiringan kurang 300, takik rebah dibuat dua kali dengan posisi yang salah dan tanpa atap takik. Kesalahan pembuatan takik balas adalah berupa pembuatan takik balas kurang dari 4 cm dari alas takik rebah, sejajar dengan alas takik rebah dan lebih rendah dari alas takik (Hidayat dan Hendalastuti, 2014).
2.5. Metode Pendugaan Dimensi Pohon (Beserta Gambar dan Rumusnya)
Metode nondestructive dengan alometrik bisa lebih dapat cepat dilakukan dan banyak karena yang lebih luas dijadikan contoh, metodeini Model persamaan regresi penduga volume yang terbaik berdasarkan peubah bebas diameter tajuk (D) dan tinggi pohon (T) yang diukur melalui foto udara dalam kondisi hutan primer dengan kerapatan jarang untuk keseluruhan jenis pohon contoh adalah Y = 30,615-1,580 D = 1,24lebih dapat mengurangi kesalahan seperti yang ditemukan dengan metode destructive. Bila kemungkinan, persamaan yang digunakan untukmenduga biomassa dengan seluruhnya dikembangkan untuk setiap lokasi, spesies, atau grub dari spesies dan untuk pohon-pohon yang mempunyai umur dan ukuran yang sama (Murdiyarso et al, 1994 dalam Handayani, 2003).
Metode destructive adalah mengukur biomassa secara langsung dengan cara pemanenan pohon contoh dan mengukur biomassa aktual setiap komponen individu pohon contoh (batang, cabang, ranting, daun, akar, bunga dan buah jika ada) dengan cara penimbangan. Tipe volume pohon yang dihitung untuk model alometrik volume yaitu tinggi total, tinggi pohon komersial atau sampai diameter ujung batang tertentu (Krisnawati et al., 2012)
Pengolahan data hasil pengukuran di lapangan ditujukan untuk memperoleh nilai dugaan volume per hektar. Rumus yang digunakan untuk mengukur Untuk menduga volume tegakan ratarata per ha menggunakan rumus Vjlk = (Arland et al, 2018)..
Gambar 1. Bagian-bagian pohon yang diukur untuk model alometrik biomassa pohon
Untuk menentukan model mana yang paling baik sebagai penduga hubungan antara diameter dan tinggi pohon, dilakukan validasi terhadap ke-enam model tersebut Penduga model dengan nilai bias, MSEP dan EI terendah diberi skor 6, sedang penduga model dengan nilai tertinggi diberi skor 1. Penduga model dengan jumlah total skor tertinggi dipertimbangkan sebagai model terbaik. Rumus bias rata-rata dan MSEP (Rawlings, 1988) serta EI (Reynolds et al., 1988) dalam Putranto, 2017) adalah sebagai berikut :
Bias =- , MSEP = , El=
Di mana :
Yi adalah nilai pengamatan ke i
Ŷi adalah nilai dugaan ke i
N adalah banyaknya pengamatan
Persamaan regresi yang digunakan dalam pendugaan volume pohon dan
volume batang pinus yang disadap dapat dilihat pada Persamaan 4 sampai Persamaan 9 (Loetsch et al. 1973) dalam Larasati, 2018) :
V = b0+b1D2 ,V = b0,+b1D+b2 D2 ,V = b0,+b1D2+b2 D2h+b3h ,V = b0 Db1 V = b0(D2h)b2 ,V = b0Db1hb2
Keterangan :
V = volume (m3)
D = diameter setinggi dada (Dbh)
H = tinggi pohon (m)
b0, b1, b2, b3= konstanta
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Waktu praktikum pemanenan hasil hutan dilaksanakan di Kebun Raya Universitas Halu Oleo pada hari sabtu, 8 Desember 2019 pukul 09.00 WITA sampai selesai.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu parang, haga meter sederhana (Mistar 30 cm dan Mistar Busur), materan roll, pita meter, dan patok 4 (empat) batang. Bahan yang digunakan yaitu , tali rafia, kertas label, spidol, dan tally sheet.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan data kuantitatif, data kualitatif adalah data informasi yang berbentuk kalimat verbal bukan berupa simbol angka atau bilangan, data kuantitatif adalah data informasi yang berupa simbol bilangan atau angka.
Sumber data yaitu dari data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung dilapangan, dan data skunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada
3.4. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam praktikum ini terlebih dahulu haru mengetahui tahapan tahapan didalam proses pengumpulan data tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam praktikum ini adalah teknik observasi dan teknik studi pustaka, teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti turun langsung dilapangan berhadapan langsung dengan obyek. Teknik studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mngambil data dari sumber yang sudah ada, mempeljari literatur, berupa laporan buku buku, makalah, karya tulis ilmiah serta skripsi yang memiliki keterkaitan dengan paktikum ini.
3.5. Variabel Praktikum
Variabel yang digunakan di dalam praktikum ini adalah Tinggi Total (TT), Tinggi Bebas Cabang (TBC), Takik Rebah (TR), Takik Balas (TB), Tinggi Mata Pengamat (TMP), Jarak Pengamat (JP).
3.6. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada praktikum ini yaitu melalui pengukuran dan pengamatan pada tegakan pohon. Untuk menganalisis data tersebut maka dapa yang diperlukan yaitu keliling pohon di atas setinggi dada dan setinggi 50 cm dari permukaan tanah, jarak pengamat (JP), tinggi mata pengamat (TMP), tinggi bebas cabang (TBC), tinggi pohon (TP), LBDS (1/4 π.d2 ), dan untuk menentukan arah rebah pohon makan terlebih dahulu kita harus menentukan lebar takik rebah (1/4 dari diameter pohon), lebar takik balas (2/5 dari diameter pohon dan engsel (1/6 dari diameter pohon).
Berikut adalah uraian dari persamaan-persamaan untuk menganalisis data:
Diameter (d) =
Keterangan: K : Keliling (cm)
π
: 3,14
TBC = tan α × TMP × JP
Keterangan: TBC : Tinggi bebas cabang (m)
tan : Besar sudut pengamat terhadap tegakan (α)
TMP : Tinggi mata pengamat (m)
JP : Jarak pengamat dari tegakan pohon (m)
TP = tan α × TMP × JP
Keterangan: TP : Tinggi pohon (m)
tan : Besar sudut pengamat terhadap tegakan (α)
TMP : Tinggi mata pengamat (m)
JP : Jarak pengamat dari tegakan pohon (m)
LBDS = π d2
Keterangan: LBDS : Luas bidang dasar (m2)
π : atau 3,14
d : Diameter (m)
Takik Rebah (cm) = x diameter pohon (d)
Takik Balas (cm) = x diameter pohon (d)
Engsel (cm) = x diameter pohon (d)
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1. Letak dan Batas Wilayah
Lokasi praktikum terbagi atas dua yaitu di kecamatan Poasia tepatnya di Kompleks Perkantoran Gubernur Sulawesi tenggara. Apabila ditinjau dari peta Kota Kendari, secara geografis terletak dibagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatandiantara 3°58’ 58,” – 405’05” Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 122032’ 01” - 122036’04” Bujur Timur. Wilayah Kecamatan Poasia disebelah Utara berbatasan Teluk Kendari, di sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Konawe Selatan, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamayan Abeli, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kambu dan Kecamatan Baruga (BPS, 2017).
Lokasi kedua di Kampus Baru Universitas Halu Oleo tepatnya di kecamatan Kambu. Kecamatan Kambu adalah salah satu kecamatan di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Apabila ditinjau dari peta Kota Kendari, secara geografis terletak dibagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan diantara 3°58’39” – 404’45” Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 1220 30’ 39” - 1220 33’ 42” Bujur Timur. Wilayah Kecamatan Kambu disebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mandonga, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Baruga dan Poasia, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Poasia, sebelah Barat berbatasan Kecamatan Kadia, Kecamatan Wua-Wua dan Kecamatan Baruga (BPS, 2017).
4.2. Iklim
Data mengenai keadaan iklim di wilayah Kecamatan Poasia diperoleh dari laporan Stasiun Meteorologi Martin Kendari BMKG. Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia dan Kota Kendari pada umumnya, Kecamatan Poasia hanya dikenal dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan. Keadaan musim sangat dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup di atas wilayahnya. Pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei, angin bertiup banyak mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik, setelah melalui beberapa lautan. Maka pada bulan-bulan tersebut di wilayah Kecamatan Poasia dan sekitarnya biasanya terjadi musim hujan. Tahun 2016 terjadi 205 hari hujan (hh) dengan curah hujan 2148,6 mm (BPS, 2017).
Kecamatan kambu seperti halnya daerah lain di Indonesia, Kecamatan yang berada pada ketinggian 10 meter diatas permukaan laut ini hanya memiliki dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Menurut data yang ada di Kecamatan Kambu pada tahun 2016 terjadi sebanyak 205 hari hujan dengan rata-rata curah hujan 179,1 mm. Suhu udara rata-rata selama tahun 2016 adalah 27,60C dengan suhu minimum adalah 24,80 C dan maksimum adalah 31,80C Kelembaban udara rata-rata selama tahun 2016 adalah 840C dengan suhu udara minimum adalah 560C dan 980C. Rata-rata tekanan udara selama tahun 2016 adalah 1010,03 mb dan rata-rata kecepatan angin 4,9 knot (BPS, 2017).
4.3 Tanah
Secara umum, keadaan tanah (soil) kota kendari ini terdiri dari tanah liat bercampur pasir halus dan berbatu. Diperkirakan sebagai jenis aluvium berwarna coklat keputih-putihan dan ditutupi batuan pratersier yang terdiri dari batuan batu lempung bergelimer, batu pasir dan kwarsa. Dibagian pantai batuan pratersier tersebut ditutupi batuan terumbu gamping. Keadaan batuan yang demikian umumnya tidak meluas air atau kedap air. Terkhusus untuk kecamatan Poasia yakni Filit, Batu Sabak, Batu Pasir Malik Kuarsa Kalsiulit, Napai, Batu Lumpur dan Kalkarenit Lempun. Sedangkan untuk kecamatan kambu yakni Batu pasir Kuarsit, Serpih Hitam Batu Sabak, Batu Gamping dan Batu Lanau (PPSP, 2012).
4.4. Topografi
Dilihat berdasarkan ketinggian, titik tertinggi di wilayah Kota Kendari berada di Kecamatan Mandonga dengan ketinggian 30 meter diatas permukaan laut. Selanjutnya wilayah Kecamatan Abeli dan Kendari Barat berada pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut. Dari acauan tersebut Kecamatan Poasia dan Kambu tidak jauh berbeda yakin sekiatar 30 mdpl (PPSP, 2012).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
Berdasarkan pengamatan dan pengukuran pada sampel 20 m x 20 m dapat di buatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 1. Pohon yang berpotensi dapat di Panen
Nomor
Pohon
Jenis
Diameter
Lebar
Engsel
Sudut
Pohon
(cm)
TR
TB
(˚)
1
EHA
30,25
0,15
0,03
0,03
45
2
EHA
32,80
0,16
0,03
0,03
45
3
EHA
24,52
0,12
0,02
0,02
45
4
EHA
42,68
0,21
0,04
0,04
45
5
Akasia
20,06
0,10
0,02
0,02
45
6
EHA
44,59
0,22
0,04
0,04
45
7
Nona
20,70
0,10
0,02
0,02
45
8
Nona
47,77
0,24
0,05
0,05
45
9
EHA
22,61
0,11
0,02
0,02
45
10
Nona
50,32
0,25
0,05
0,05
45
Sumber: Data Primer, 2018
Nomor
Pohon
Jenis
Keliling
Diameter
Tinggi
LBDS
Volume
Pohon
(cm)
(cm)
BC
Total
TBC
TT
1
EHA
95
30,25
10,05
15,09
0,07
0,45
0,67
2
EHA
103
32,80
15,94
15,94
0,08
0,8
0,80
3
EHA
77
24,52
35,87
93,34
0,05
1,03
2,69
4
EHA
134
42,68
32,85
69,30
0,14
2,82
5,96
5
Akasia
63
20,06
63,95
106,34
0,30
1,29
2,15
6
EHA
140
44,59
34,02
90,11
0,16
3,2
8,49
7
Nona
65
20,70
25,25
61,35
0,03
0,51
1,24
8
Nona
150
47,77
36,61
58,64
0,18
3,93
8,29
9
EHA
71
22,61
17,49
26,67
0,04
0,43
0,65
10
Nona
158
50,32
48,28
91,81
0,02
5,85
11,12
volume 3 plot (m³)
20,31
42,06
volume rata-rata (m³)
6,77
14,02
volume /ha (m³)
169,25
350,5
Sumber: Data Primer, 2018
5.2. Pembahasan
Pemanenan kayu merupakan kegiatan yang dilakukan dalam pengambilan hasil hutan berupa kayu untuk diproduksi kayunya. Pemanenan membutuhkan tahapan perencanaan yang serius agar pemanenannya lebih efisien. Pada praktikum ini sebelum pengukuran dilakukan terlebih dulu membuat sampel 20 m x 20 m sebanyak 3 plot untuk pohon mencari yang berpotensi dapat dipanen. pengamatan dan pengukuran pada hutan alam dan hutan tananaman dengan menggunakan variabel Tinggi Total (TT), Tinggi Bebas Cabang (TBC), Takik Rebah (TR), Takik Balas (TB), Tinggi Mata Pengamat (TMP), Jarak Pengamat (JP) dapat diketahui kondisi potensi hutan tersebut.
Potensi hutan adalah nilai kekayaan yang terkandung dalam suatu lahan hutan, baik secara nyata ada pada saat pengamatan maupun prakiraan pengembangan / pertumbuhan pada masa mendatang. Pohon yang telah berpotensi dapat ditebang adalah yang telah berukuran diameter ≥20 cm. Penebangan merupakan tahapan kegiatan pemanenan kayu untuk merebahkan pohon yang berdiri tegak , berdiameter sama atau lebih besar dari batas yang telah ditetapkan. Dari hasil hasil pengukuran dan pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa salah satu jenis pohon yang telah siap di tebang yaitu pohon eha (Syzygium sp.) dengan diameter 30,25 cm, akasia (Acacia mangium) dengan diameter 20,06 cm, nona (Xanthostemon petiolatus) dengan diameter 20,70 cm masing-masing arah rebah 450. Potensi hutan tersebut sangat berpotensi besar untuk dapat dipanen.
Dilihat dari segi kondisi topografi areal hutan, diestimasikan bahwa pembukaan jalur sarad dapat dilalui berpotensi dapat merusak jenis vegetasi yang ada di sampingnya. Potensi kerusakan dapat diminimalisir sebaik mungkin untuk menghidari besarnya kerusakan tersebut. Olehnya itu, melewati jalur yang telah terbuka sebelumnya sangat efisien karena jalan tersebut telah dibuat sebaik mungkin agar terhindar dari potensi kerusakan tersebut.
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
`Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa potensi tegakan yang ada pada hutan tanaman dan hutan alam yang ada di Universitas Halu Oleo sangat besar
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam praktikum ini yaitu untuk praktikum pemanenan kayu seharusnya memasukan semua komponen kegiatan yang berdampak pada pembukaan areal hutan yaitu kegiatan penebangan, penyaradan, TPn dan jalan angkutan dan pengukuran sebaiknya menggunakan data dari seluruh areal yang terbuka, selain itu juga perlu dilakukan pengukuran keterbukaan pada tajuk pohon dan tanah hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Amaliah. 2000. Pengaruh Diameter terhadap Kesesuaian Arah Rebah, Cacat Kayu dan Prestasin Kerja pada Penebangan jati (Tectona grandis L.f) tanpa Takik Rebah di KPH Mantingan Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.
Arland, S., E. Sadjati Dan Muhammad Ikhwan. 2018. Studi Penerapan Metode Pohon Contoh (Tree Sampling) dalam Pendugaan Potensi Tegakan Hutan Tanaman Ekaliptus. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan Vol. 13(2): 42-52.
Asmar, N. 2011. Kinerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam dalam Pelaksanaan Pemanenan Hutan Ramah Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dijk, K.V dan H. Savenije. 2011. Kelapa Sawit atau Hutan Lebih dari Sekedar Defnisi. Tropenbos International Indonesia Programme. Jakarta.
Handayani, K. 2003. Model Penggunaan Biomassa Shorea leprosula Miq di Kebun Percobaan Carita. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Harry, E.P.P. 2018. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman PT. Antam Ubpe Pongkor, Bogor, Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Hidayat, A dan H.R. Hendalastuti. 2004. Pengaruh Pembuatan Takik Rebah
Dan Takik Balas terhadap Arah Jatuh Pohon : Studi Kasus Di Hutan Tanaman Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Penelitian Hasil Hutan. 22(1) : 51–5.
Larasati, D.M. 2018. Model Penduga Volume Pohon Pinus di KPH Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lidiawati, A. 2002. Analisis finansial Pemanenan Kayu dengan Teknik Reduced Timber Harvesting. . Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muhdi. 2009. Dampak Pemanenan Kayu dengan Teknik Reduced Impact
Logging terhadap Kerusakan Tegakan Sisa Di Hutan Alam Hutan Alam. Berk. Penel. Hayati. (15): 77–84.
Pamungkas, A.M. 2014. Keterbukaan Areal Hutan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu di Pulau Siberut Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Puri, C.R. 2016. Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta Excelsa Jack.) Dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) di Dalam Sistem Agroforestri. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Puspitojati, T. 2011. Persoalan Definisi Hutan Dan Hasil Hutan dalam Hubungannya Dengan Pengembangan HHBK Melalui Hutan Tanaman. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 8(3): 210 – 227.
Putranto, B. 2017. Penduga Model Hubungan Tinggi dan Diameter Pohon Jenis Jambu-Jambu (Kjellbergiodendron Sp.) Pada Hutan Alam di Kab Mamuju Sulawesi Barat. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sabiila, R.A. 2013. Risiko Ergonomi Dan Keluhan Musculoskeletal Disorders
Pada Pekerja Kehutanan Bidang Pemanenan Kayu di KPH
Kendal Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Saputra, H.E. 2009. Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Tanah Kering Bekas Tebangan di Kalimantan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Supriatna, A.H. 2017. Pengaruh Umur dan Dimensi Pohon Sengon terhadap Serangan dan Tingkat Kerusakan Hama Boktor, serta Karakteristik Kayu dari Pohon yang Terserang. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syahadat, E. Strategi Pembangunan Hutan Tanaman di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 10(1): 33– 47.
Wahidi, N. 2009. Analisis Aspek Kompetensi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Kegiatan Pemanenan Kayu di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wayana, P.A. 2011. Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis pada Hutan Alam Tropis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wiryono. 2017. Aspek Ekologis Hutan Tanaman Indonesia. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Yuniati, D. 2011. Analisis Finansial Dan Ekonomi Pembangunan Hutan Tanaman Dipterokarpa Dengan Teknik Silin (Studi Kasus PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 8(4): 239 – 249.
RIWAYAT HIDUP
Nama Sahrun, biasa dipanggil Sahrun lahir di Wacu La’ea pada tanggal 07 Mei 1999. Anak dari pasangan Sinuddin (ayah) dan Mazina (ibu), anak ke enam dari tujuh bersaudara. Masuk Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Kulisusu pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2010.
Masuk di Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kulisusu pada tahun 2010, dan lulus dari SMP pada tahun 2013. Kemudian melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas tepatnya di SMA Negeri 1 Kulisusu tahun 2013 dan lulus pada tahun 2016. Pada tahun 2016 penulis mendaftar di Universitas Halu Oleo melalui jalur ujian tertulis SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima pada program studi manajemen hutan, jurusan kehutanan, fakultas kehutanan dan ilmu lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari. Sehingga pada akhirnya lulus sebagai mahasiswa di Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo.
Comments
Post a Comment