MAKALAH
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT PULAU-PULAu KECIL DI INDONESIA
Oleh :
SAHRUN
M1A1 16 174
KEHUTANAN D
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “.Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia.” Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk menuju kesempurnaan makalah ini. Tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.
Kendari, 26 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masaalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Pesisir 3
2.2 Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan Strategi Pemberdayaan
Masyarakat……………………………………………………...……… 3
2.3. Strategi pemberdayaan masyarakat………………………………… 5
2.4 Potensi Dan Permasalahan Wilayah Pesisir……………..………….. 6
BAB III PENUTUP
3.1 kesimpulan………………………………………………………….. 16
3.2 saran………………………………………………………………… 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih prasejahtera. Keadaan pantai di Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal, bervegetasi-berlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan berbagai peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri perhotelan, turisme, dan lain-lain.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM) menurut Nikijuluw 1994 dalam Zamani dan Darmawan 2000, merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu, mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Carter 1996 dalam Zamani dan Darmawan 2000, Suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara masyarakat setempat dan pemerintah dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaannya.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
Bagaimana Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Pesisir ?
Bagaimana Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan ?
Bagaimana Potensi Dan Permasalahan Wilayah Pesisir ?
Bagaimana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ?
Bagaimna Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir ?
Tujuan
Adapun tujuan makalah ini jangka panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain:
Untuk Mengetahui Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Pesisir.
Untuk Mengetahui Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan.
Untuk Mengetahui Potensi Dan Permasalahan Wilayah Pesisir.
Untuk Mengetahui Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Untuk Mengetahui Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Pesisir
Kebijakan bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan komunitas negara maju didunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada obyektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar.
2.2 Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan
Dalam konteks epistemologi pembangunan, termasuk arah kebijakan pembangunan sektor kelautan sebenarnya masih didominasi oleh terminologi pemikiran Michael Redclif tentang konsep pembangunan berkelanjutan. Pemikiran ini kemudian diperjelas dan dikritisi oleh seorang pakar ekonomi pembangunan yaitu Feyereban. Menurutnya pemikiran Redclif tentang konsep pembangunan berkelanjutan, secara epistemology pembangunan terlalu didominasi oleh pemikiran barat. Oleh karena itu menurut Feyereban diperlukan suatu multiple epistemology dalam memahami pemikiran pembangunan yakni menggabungkan tradisi abstrak yang didominasi pemikiran barat dengan tradisi historis yang menjadi ciri utama negara-negara sedang berkembang. Namun, karena posisi epistemologi lokal ini semakin melemah dan tersingkir, meskipun telah terbukti mampu menjamin keberlanjutan penghidupan masyarakatnya, maka perlu ditemukan metode atau upaya untuk memperkuat posisinya dalam perkembangan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan termasuk pembangunan sektor kelautan.
Penguatan pengetahuan lokal mensyaratkan redefenisi dari pembangunan sektor kelautan sebagai sebuah epistemologi baru guna menunjang otonomi daerah di wilayah pesisir dan lautan. Pembangunan sektor kelautan yang semacam ini dimana pengetahuan lokal menjadi landasan utama mensyaratkan adanya cirri-ciri endogen dari pembangunan tersebut. Ciri-ciri endogen tersebut dijelaskan oleh Friberg dan Hettne dalam Kusumastanto (2002), yaitu (1) bahwa unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada nilai-nilai dan pranatanya; (2) adanya kemandirian, yakni setiap komunitas bergantung pada kekuatan dan sumberdayanya sendiri bukan pada kekuatan luar; (3) adanya keadilan sosial dalam masyarakat dan (4) keseimbangan ekologis, yang menyangkut kesadaran akan potensi ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.
Dengan epistemologi semacam ini dalam konteks otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut, maka proses konsultasi sangat mudah dilakukan ketimbang sentralistik karena pemerintah (negara) jauh dari masyarakatnya. Mengapa hal ini terjadi ? karena, masyarakat tidak memiliki akses terhadap kekuasaan yang mengatur kehidupan mereka, sehingga negara menjadi otonom hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk masyarakatnya. Akibatnya otonomi negara menjadi kuat yang melahirkan moral hazard seperti era Orde Baru dimana negara sebagai agen dari masyarakat yang bertindak “sewenang-wenang” dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu pilihan otonomi merupakan suatu mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya. Tujuannya adalah masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara.
Otonomi daerah di wilayah laut juga akan memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan bagi masyarakat nelayan dan petani ikan serta perlindungan lingkungan alam di laut, jika masyarakat diberikan kembali haknya (re-entitle) dalam menguasai dan mengelolanya sumber daya sektor kelautan secara kolektif dan partisipatif. Oleh karena itu political will pemerintah adalah (1) bagaimana menfasilitasi proses peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan secara kolektif dan berkelanjutan, (2) bagaimana melindungi masyarakat dan sumber daya sektor kelautan dari penetrasi kekuatan rent seeker yang semakin mudah menemukan jalannya ke daerah-daerah dengan perangkat institusional yang sudah mereka kuasai dengan paradigma otonomi daerah ala Orde Baru.
2.3 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen yang paling banyak, serta cakupan atau batasan pemberdayaan maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki cirri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan.
Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan tragedy milik bersama.
Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan system dan nilai sosial yang positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.
2.4 Potensi Dan Permasalahan Wilayah Pesisir
2.4.1 Potensi Wilayah Pesisir
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Potensi yang dihasilkan dari daerah ini pada tahun 1987 adalah Rp 36,6 trilyun, atau sekitar 22% dari total produk domestik bruto (Dahuri et al 2001).
a. Sumber Daya Dapat Pulih
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal, adalah kawasan wisata alam (ecotourism). Padahal negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri et al 2001).
Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan negara lain. Hutan-hutan ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan sungai Musi. Keanekaragaman juga tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987 dalam Dahuri 2001).
Terumbu karang
Indonesia memiliki kurang lebih 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis hasil perikanan, batu karang untuk konstruksi. Dari segi estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah. Upaya pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali (Dahuri et al 2001) dimana masyarakat melakukan pengambilan karang secara intesif harus dicegah dengan mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan suvenir, makanan kecil, dan penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; perahu katamaran (perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa scuba diving. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain. Contoh ini kemungkinan dapat dikembangkan di tempat lain sebagai suatu model ekoturisme.
Rumput Laut
Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin (Nontji, 1987).
Melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini telah diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema spp telah di coba di Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk Lampung (Dahuri et al 2001). Usaha budidaya rumput laut telah banyak dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor yang menentukan dalam menggairahkan masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Peranan pemerintah regulasi dalam penentuan daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu produksi serta jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir rumput laut sangat menentukan kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.
2.4.2 Sumber Daya Perikanan Laut
Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.
Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.
Sumber daya yang Tidak Dapat Pulih
Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang termasuk kedalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijh besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, dan lain-lain. Sumber daya geologi lainnya adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi.
Jasa-jasa Lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan.
2.5.1 Tahap Perencanaan
Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam, konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut. Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional.
Dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep pengelolaan sumber daya pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).
2.5.2 Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana
Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya. Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder yang ada sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, Investor/swasta, instansi sektoral, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah: (1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. (2) pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan (3) memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan (4) penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
2.5.3 Tahap Monitoring dan Evaluasi
Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan prinsip Ko-manajemen perikanan yaitu pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Oleh sebab itu keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat mengacu kepada indikator keberhasilan Ko-manajemen perikanan. Menurut Dahuri et al (1998) Indikator keberhasilan Ko-manajemen adalah seperti pada Tabel Lampiran 1.
2.6 Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan Fisik Habitat
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang.
Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang dapat mengrusak ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).
c. Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.
d. Abrasi Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen (2001, 2000) hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota perairan.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya mengelola sumber daya di wilayah pesisir, yang cukup menjanjikan dalam rangka meningkatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Setidaknya ada 4 (empat) keuntungan yang didapatkan dalam pengelolaan berbasis masyarakat : (1) masyarakat ikut mengontrol sumber daya di sekitar mereka, (2) dukungan yang luas dari masyarakat dalam pengelolaan sumber daya yang ada, (3) ketersediaan data yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya tersebut, (4) pengelolaan sumber daya dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Saran
Seharusnya pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam hal pengelolaan daerah pesisir agar dampak yang akan terjadi akibat kelalaian itu dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem dan Sumber daya Pesisir (Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 13-18 November 2000. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB).
__________. 2001. Ekosistem dan Sumber daya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan (Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 29 Oktober – 3 November 2001. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB).
___________. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB.
Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dahuri, R. et al. 1998. “Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat” Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Laporan Akhir.
Departemen Kelautan dan Perikanan R.I., 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. : Kep. 10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Gordon, H.S., 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource.: the Fishery. Journal of Political Economics, 62 (2): 124 – 142.
Kusumastanto, T., 2002. Reposisi “Ocean Policy” Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan, FPIK-IPB.
Nugroho, dkk. 2001. Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk Pemanfaatan Sumber daya Alam yang Berkelanjutan (Peper Kelompok IV Mata Kuliah Falsafah Sain, IPB).
Susilo, S.B. 1999. Perencanaan perikanan nasional dengan pendekatan model dan simulasi. J. II. Pert. Indo. Vol. 8(2).
Assalamualaikum, Nama saya Carkem Anwari dari sebuah kota kecil di Bandung, Indonesia Saya sangat senang bahwa saya mendapat pinjaman pertama dari Rabacca Alma Loan dan kali ini saya mendapat pinjaman Rp30,000,000 juta. Saya secara finansial turun karena pandemi Covid-19 dan saya tidak dapat menjalankan bisnis kecil saya. Semua pujian ditujukan kepada ALLAH, saya mendapat pinjaman Rp30 juta dari RBACCA ALMA LOAN COMPANY semoga ALLAH memberkati mereka semua, saran saya kepada mereka yang mencari pinjaman di situs ini adalah mereka harus berhati-hati karena ada banyak pemberi pinjaman pinjaman palsu, REBACCA ALMA LOAN COMPANY adalah salah satu pemberi pinjaman online terbaik untuk pinjaman 100% garansi, dan Anda dapat menghubunginya melalui:
ReplyDeleteNama: Rebacca Alma
Telepon: +14052595662
WhatsApp: +14052595662
Instagram: Rebacca Alma
Facebook: Rebacca Alma
email: rebaccaalmaloancompany@gmail.com
Saya baru saja mendapat pinjaman pada Juni 2020 ini
Anda dapat menghubungi saya melalui email saya untuk informasi lebih lanjut carkemanwari1@gmail.com atau nomor whatsapp: +62 81319467810
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.