REKREASI ALAM DAN EKOWISATA
“ Potensi Objek Wisata Taman Nasional Wakatobi, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Sulawesi Tenggara”
OLEH :
SAHRUN
M1A1 16 174
KONSERVASI HUTAN
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
2019
KATA PENGANTAR
Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatu
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas nikmat dan karunia-Nya Saya masih diberi kesahatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dan tak lupa pula dipanjatkan salam kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW sebagaiman Beliau telah membawa perubahan kepada kita dari masa kegelapan ke masa yang terang benderang seperti saat ini.
Pembuatan makalah ini berjudul “Potensi Objek Wisata Taman Nasional Wakatobi, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Sulawesi Tenggara”, program studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, dalam lingkup Universitas Haluoleo, Kendari.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Saya harapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat membangun. Sekian dan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan infomasi kepada pembaca.
Wassalamuallaikum warahtullahi wabarakatu.
Penyusun
Kendari, 25 September 2019
SAHRUN
NIM. M1A1 16 174
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ............................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah.......................................................................................... 4
1.3. Tujuan............................................................................................................ 4
1.4. Manfaat.......................................................................................................... 44
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Potensi Kawasan Taman Nasional Wakatobi ................................................ 8
2.2. Potensi Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai......................... 12
2.3. Potensi Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa................................. 23
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan................................................................................................... 25
3.2.Saran............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan alam yang luas dengan berbagai potensi yang terkandung di dalamnya berupa sumberdaya alam hayati dan non hayati seluas +99.6 juta hektar (ha) atau 52.3 % dari luas wilayahnya (Kemenhut, 2012), sehingga hutan Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia yang peranannya sangat penting bagi kehidupan di permukaan bumi. Kontribusi hutan sebagai paru-paru dunia bagi kehidupan adalah kemampuannya dalam menghasilkan oksigen dan menyerap karbon (C) di atmosfir melalui proses fotosintesis. Peranan hutan sebagai penyerap C mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa dikenal sebagai pemanasan global.
Sejalan dengan komitmen Indonesia untuk menuju 1.5 derajat Celsius melalui sumber energi terbarukan yang berlimpah dengan komitmen "Selain kebijakan energi, Indonesia akan serius merestorasi hutan dan daerah pesisir untuk turunkan emisi". Disamping itu, mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, memulihkan fungsi ekosistem serta pengelolaan hutan lestari terhadap hutanhutan produksi dan kehutanan sosial dengan cara partisipasi aktif dari sektor swasta, usaha kecil dan menengah, organisasi masyarakat sipil, komunitas lokal dan kelompok yang paling rentan, termasuk komunitas adat, baik dalam hal perencanaan dan pelaksanaan tahapan skala landskap dan pengelolaan ekosistem melalui pendekatan yang menekankan peran yurisdiksi sub-nasional. Dengan demikian, kawasan konservasi termasuk hutan Suaka margasatwa, cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman buru merupakan kawasan hutan yang mampu memperkuat upaya-upaya
pengurangan emisi melalui perlindungan dan konservasi hutan.
Perkembangan pariwisata dunia telah melahirkan bentuk pariwisata baru yang berorientasi pada sumber daya alam / keindahan alam dan potensi masyarakat lokal serta perjalanan yang dilakukan bersifat individual. Bentuk pariwisata ini lebih dikenal dengan ekowisata, lahir akibat dari perubahan dan perkembangan ekonomi dunia khususnya di negara-negara maju yang memicu perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat di negara maju serta kemajuan di bidang teknologi informasi dan transportasi yang menyebabkan motif melakukan perjalanan ke dunia baru (negara-negara berkembang) untuk mencari tantangan dan ilmu pengetahuan (Asit, 2004).
Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud taman nasional yakni kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Rafika, 2011).
Kawasan Taman Nasional dikelola oleh pemerintah dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kawasan Taman Nasional dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, ekonomis, social dan budaya. Rencana pengelolaan taman nasional sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan (Anonymous, 2009).
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan Taman Naional yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri kehutanan No. 756/Kpts-1990 tanggal dengan luas kawasannya 105.194 hektar. TNRAW memiliki arti yang sangat penting bagin sejarah bio-geografi pulau Sulawesi karena memiliki tipe-tipe ekosistem yang sangat khas, unik dan tergolong cukup lengkap antara lain : i). Ekosistem mangrove ii). Ekosistem hutan hujan dataran rendah iii). Ekosistem mangrove iv). Ekosistem rawa v). Ekosistem hutan pegunungan rendah yang menjadi habitat berbagai jenis kehidupan liar (wildlife) yang perlu dipertahankan kelestariannya.
Taman Nasional Laut Wakatobi merupakan taman nasional dengan luas 1.390.000 ha, ditetapkan sebagai taman nasional melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 393/Kpts-VI/1996. Dengan demikian maka Taman Nasional Kepulauan Wakatobi merupakan Taman Nasional Laut terbesar kedua yang di miliki Indonesia setelah Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Berdasarkan studi oleh WWF dengan nama Rapid Ecological Assesment (REA) pada tahun 2003 menunujukan bahwa Taman Nasional Kepulauan Wakatobi memiliki kondisi ekosistem terbaik didunia. Hal ini diindikasikan dengan keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman ikan karang dan biota lainnya dan mengindikasikan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi berada pada pusat keanekaragaman hayati sehingga menempatkan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi sebagai kawasan dengan keanekaragaman ikan karang tertinggi di dunia bersama-sama dengan Teluk Milne, Papua Nugini dan Taman Nasional Komodo, Indonesia (Asit, 2004).
Potensi dan daya tarik atraksi wisata alam yang dimiliki Taman Nasional Kepulauan Wakatobi telah mengundang investor untuk mengembangkan kegiatan pariwisata dan menarik para wisatawan untuk mengunjungi kawasan Wakatobi. Kegiatan pariwisata di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi mulai berjalan sejak tahun 1996. Oleh karena itu pengembangan kegiatan pariwisata di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi harus tetap memperhatikan kelestarian dan keutuhan kawasan sebagai kawasan konservasi (Asit, 2004).
Hutan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai kawasan suaka margastwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 393/Kpts-VII/1986 tanggal 23 Desember 1986. Sebelumnya telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 845/Kpts/Um/11/1980 tanggal 25 November 1980, dengan memperhatikan rekomendasi Gubernur KDH TK. I Sulawesi Tenggara Nomor : Pta.4/1/11 tanggal 16 Januari 1973 dan Surat Direktur Jenderal Kehutanan Nomor : 3689/DJ/I/1980 tanggal 25 Oktober 1980. Latar belakang penunjukannya adalah merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropika dengan tipe vegetasi hutan non dipterocarpaceae, hutan belukar, hutan pantai dan hutan bakau sebagai habitat jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi (BKSDA, 2009).
Rumusan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut Taman Nasional Wakatobi sebagai Ekowisata ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana Potensi Kawasan Taman Nasional Wakatobi ?
Bagaimana Potensi Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ?
Bagaimana Potensi Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa ?
Bagaimana perbedaan potensi Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa ?
Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :
Dapat memahami Potensi Kawasan Taman Nasional Wakatobi
Dapat memahami Potensi Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Dapat memahami Potensi Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
Dapat memahami perbedaan potensi Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang ditemukan dalam pembuatan makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber ilmu, literature, maupun dasar ilmu pengetahuan terutama dalam kajian tentang pengembangan rekreasi alam dan ekowisata.
BAB II
PEMBAHASAN
Potensi Kawasan Taman Nasional Wakatobi
Secara umum perairan laut Taman Nasional Wakatobi mempunyai konfigurasi dari mulai datar sampai melandai ke arah laut dan beberapa daerah terdapat yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang. Sementara itu kekayaan sumberdaya laut di Taman Nasional Wakatobi di kelompokkan menjadi 8 sumberdaya penting, yaitu : terumbu karang, mangrove, padang lamun, tempat pemijahan ikan, tempat bertelur burung pantai, dan peneluran penyu, cetacean serta potensi ikan yang bernilai ekonomis. Kedelapan sumberdaya penting tersebut merupakan bagian dari ekosistem Taman Nasional (Dephut, 2008).
Berikut ini beberapa tipe ekosistem penyusun Taman Nasional Wakatobi, yaitu sebagai berikut :
2.1.1. Terumbu karang
Terumbu karang perairan Wakatobi berada di pusat segitiga karang dunia (the heart of coral triangle centre), yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia, yang meliputi Phillipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon. Penafsiran citra Landsat 2003, diketahui luas terumbu di P. Wangi-Wangi lebar terumbu 120 m dan 2,8 km. Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar 60 m dan 5,2 km. P. Tomia rataan terumbunya mencapai 1,2 km untuk jarak terjauh dan 130 m terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 km dan 14,6 km. Panjang atol Kaledupa ± 48 km. Karang Kaledupa merupakan atol memanjang ke Tenggara dan Barat Laut 49,26 km dan lebar 9.75 km (atol tunggal terpanjang di Asia Pasifik). Ada 396 spesies karang Scleractinia hermatipic terbagi 68 genus, 15 famili, serta rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies (Santoso, 2009).
Jenis terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari terumbu karang cincin (atol reef), terumbukarang tepi (fringing reef), terumbukarang penghalang (barrier reef) dan karang gosong (patch reef). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 hektar. Adapun komponen utama yang menyusun terumbu karang di Kepulauan Wakatobi yaitu karang hidup (hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta organisme lain yang bersimbiosis dengan karang. Pada kedalaman 1 meter dan 3 meter banyak ditemukan jenis karang bercabang dari marga Acropora selain itu juga ditemukan jenis karang masif (Haryono (2002) dalam Dephut (2008)).
Gambar 2. Pusat Segitiga Karang Dunia
Mangrove
Tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain : Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis. Kondisi mangrove ini sedang sampai baik. Luasan areal mangrove tertinggi di P. Kaledupa. Mangrove di P. Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia kondisinya sudah mengalami tekanan masyarakat lokal. Sedang di P. Binongko kondisi mangrove relatif terjaga, karena umumnya berstatus hutan adat atau masih mengandung SARA (Santoso, 2009).
Mangrove atau bakau adalah jenis tanaman yang hidup pada ekosistem peralihan antara pantai dan daratan. Hutan bakau menjadi pelindung pantai dari ancaman gelobang pasang atau tsunami. Fungsi Mangrove atau bakau menurut Faruli (2008), yaitu :
Sebagai habitat atau tempat yang nyaman untuk memijah.
Tempat membesarkan anak, mencari makan dan tempat berlindung bagi ikan, udang dan kepiting.
Padang lamun
Tercatat 9 jenis lamun di perairan Wakatobi dengan sebaran yang umumnya merata, tersebar pada daerah intertidal setelah terumbu karang dan juga ditemukan di antara terumbu karang. Jenis lamun yang telah diidentifikasi di perairan Kepulauan Wakatobi yaitu Enhalus acororides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Thalassodenron ciliatum, Halodule uninervis, Cymodocea serullata. Jenis E. acoroides dan C. Rotundata banyak ditemukan pada substrat pasir dan pecahan karang, sedangkan jenis T. hemprichii, S. isoetiofolium dan H. ovalis banyak ditemukan substrat pasir halus dan pasir kasar (Dephut, 2008).
Cetacean
Berdasarkan hasil monitoring Balai TNW-WWF-TNC sampai tahun 2006 tercatat 12 jenis cetacean di kawasan TNW yang terdiri dari 8 jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba (RPTNW (2008) dalam Santoso (2009)).
Peneluran penyu
Monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006 ( RPTNW (2008) dalam Santoso (2009)) tercatat 2 jenis penyu dijumpai di Kepulauan Wakatobi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Ada 5 lokasi peneluran penyu hijau yaitu Pulau Runduma, Pulau Anano, Pulau Kentiole, Pulau Tuwu-tuwu (Cowo-Cowo) dan Pulau Moromaho.
Ikan
Berdasar Indeks Keragaman Ikan Karang (RPTNW (2008) dalam Santoso (2009)), menunjukkan ± 942 spesies terdapat di wilayah Wakatobi. Menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo. Famili paling beragam spesiesnya yaitu wrasse (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan angel (Pomacanthidae). Sepuluh famili ini meliputi hampir 70% total hewan tercatat. Hasil survei Rapid Ecological Assessment menyatakan lebih 80% ada di peringkat 2 - 3 dari range 6 keanekaragaman hayati.
Gambar 3. Jenis ikan hias biota Wakatobi
Daerah pemijahan ikan
Meskipun pada survey pertama sejak tahun 2003 telah teridentifikasi sekitar 29 lokasi, akan tetapi hanya 4 lokasi yang positif menjadi daerah pemijahan ikan (pemijahan kerapu dan kakap) (BTNW, 2009).
Gambar 4. Pemijahan ikan pada ekosistem laut Wakatobi
Habitat burung pantai
Dari hasil beberapa pengamatan visual di kawasan TNW di Pulau Moromaho yang terletak di bagian paling tenggara kepulauan Wakatobi diduga merupakan habitat burung pantai dan daerah persinggahan/transit bagi beberapa jenis burung migran yang bermigrasi dari benua Australia menuju Pasifik. Namun sampai saat ini belum dilakukan identifikasi dan inventarisasi untuk mengetahui informasi yang lebih lengkap tentang habitat dan keragaman burung pantai di P. Moromaho. Burung (aves) mempunyai peran sebagai indikator kondisi suatu ekosistem atau habitat, selain itu juga diduga berperan dalam penyebaran bibit beberapa jenis tumbuhan dalam wilayah jelajahnya (BTNW, 2009).
Gambar 5. Pendaratan burung di sekitar Wakatobi
Potensi Taman Nasional Taman Nasional Rawa Aopa
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai adalah taman nasional yang terletak di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai termasuk salah satu taman nasional tua yang dikukuhkan di Indonesia, yaitu tahun 1990 atau tahun yang sama dengan pengukuhan UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjadi payung hukum pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya di Indonesia. Rawa Aopa Watumohai ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1989 dan memiliki wilayah seluas 1.050 km.
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan kawasan konservasi yang mayoritas masyarakat sekitarnya bergantung pada berbagai potensi sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Konsekuensi dari keadaan tersebut adalah terjadinya degradasi keanekaragaman hayati yang cukup serius terutama pada kawasan taman nasional yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. Bila hal ini dibiarkan terus berlanjut, dikhawatirkan kawasan taman nasional yang mengalami kerusakan akan semakin luas dan degradasi berbagai potensi sumberdaya alam hayati akan semakin parah.
Rawa Aopa secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Dari Kota Kendari, lokasi ini berjarak sekitar 80 km dan dapat ditempuh selama ± 2 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Untuk mencapai Rawa Aopa dapat mengambil rute Kota Kendari Unaaha-Rawa Aopa. Aksesibilitasnya cukup lancar karena didukung oleh prasarana jalan raya dari Kota Kendari sampai Rawa Aopa yang semuanya beraspal. Bahkan kualitas jalan yang menghubungkan Kota Kendari-Unaaha termasuk yang terbaik di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sugiarto, 2007).
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan kawasan pelestarian alam dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Berdasarkan data potensi Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, tercatat 321 jenis satwa liar yang terdiri dari mamalia sebanyak 28 jenis, aves sebanyak 218 jenis, reptil sebanyak 11 jenis, pisces sebanyak 28 jenis, amphibia sebanyak 3 jenis, dan lain-lain (BTNRAW, 2011). Taman nasional ini terdapat beberapa jenis satwa yang endemik dan unik karena berada di kawasan wallacea. Salah satu satwa liar endemik penghuni kawasan taman nasional adalah anoa (Bubalus spp.).
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) merupakan salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata alam dan sebagai tujuan ekowisata. Dalam pemanfaatannya kawasan TNRAW dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam. Kawasan TNRAW memiliki 4 (empat) tipe ekosistem, terdiri dari : (1) ekosistem savana, (2) ekosistem mangrove, (3) ekosistem rawa, dan (4) ekosistem hutan hujan dataran rendah dan pegunungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a) mengkaji kelayakan pengembangan ekowisata di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. (b) mengetahui permintaan pengunjung terhadap kegiatan ekowisata di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Penelitian dilaksanakan pada zona pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di hutan pendidikan Tatangge dan safari savana Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, abupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi penelitian terkait dengan kelayakan pengembangan ekowisata di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai yaitu wisatawan, pelaku usaha dan masyarakat local.
Kelayakan pengembangan ekowisata di kawasan TNRAW digolongkan hutan pendidikan Tatangge dan safari savana di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai layak untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Disisi lain permintaan pengunjung terhadap kegiatan ekowisata di kawasan TNRAW adalah kesediaan membayar pengunjung terhadap kegiatan ekowisata hutan pendidikan Tatangge dan safari savana rata-rata jangkauan kesediaan membayar sebesar Rp. 1.250, dengan persentase responden sebesar 47,46 % dengan populasi pengunjung sebanyak 171 orang.
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang berada di Sulawesi Tenggara selain memiliki potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi (BTNRAW 2013), jumlah wisatawan yang berkunjung selama 5 tahun terakhir (2011-2015) relatif mengalami peningkatan yakni sebanyak 671 orang pada tahun 2011 dan pada tahun 2015 mencapai 1.003 orang (BTNRAW 2015). Namun jumlah pengunjung masih dikatakan relatif rendah bila dibandingkan taman nasional lainnya yakni Taman Nasional Lore Lindu yang mencapai ± 3.000 orang dan Taman Nasional Tanjung Puting mencapai ± 16.000 orang, dengan karakteristik potensi alam, wilayah, dan masyarakat yang hampir sama (DIRJEN PHKA 2014).
Gambar 6. Ekosistem hutan mangrove
Kawasan TNRAW memiliki 4 (empat) tipe ekosistem, terdiri dari : (1) ekosistem savana, (2) ekosistem mangrove, (3) ekosistem rawa, dan (4) ekosistem hutan hujan dataran rendah dan pegunungan. Kawasan TNRAW juga memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi dan berpotensi dijadikan sebagai obyek wisata karena berbagai obyek daya tarik biofisik yang khas dan unik. Obyek-obyek itu berupa kelimpahan vegetasi, keanekaragaman flora dan fauna, pemandangan alam, aliran sungai dan hutan pendidikan. Selain daya tarik tersebut, daya tarik sosial budaya masyarakat sekitarnya juga menjadi obyek ekowisata yang bernilai dan menarik. Salah satu kebijakan Balai TNRAW sehubungan dengan pemanfaatan kawasan yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi TNRAW sebagai obyek wisata yang bernuansa lingkungan hidup yaitu melalui peningkatan peran TNRAW dalam bidang pariwisata atau rekreasi (RPTN, 1997). Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di kawasan TNRAW dapat dilakukan pada Zona Pemanfaatan (ZP), zona ini memiliki potensi fenomena alam yang menarik, secara fisik dan biologi kurang sensitif untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana fisik bagi akomodasi pariwisata alam dan pengelolaan taman nasional. Zona Pemanfaatan (ZP) kawasan TNRAW diperuntukkan untuk kegiatan, yaitu (1) pengembangan pariwisata alam, pusat rekreasi dan pendidikan konservasi alam dan lingkungan hidup, (2) menunjang peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan jasa pariwisata alam dan pengembangan ekonomi dan daerah.
Gambar 7. Ekosistwm rawa
Taman nasional Rawa Aopa memiliki satwa liar endemik sulawesi yang sangat unik dan menarik. Eksistensi satwa tersebut telah muali terancam punah. Berikut adalah satwa tersebut.
2.2.1. Babirusa (Babyrousa celebensis)
Babirusa (Babyrousa celebensis) adalah salah satu keanekaragaman hayati endemik Sulawesi yang saat ini menjadi sangat mengkhawatirkan populasinya. Pada saat ini, hewan tersebut dalam kategori spesies yang terancam punah dan dikhawatirkan punah akibat perusakan habitat, perburuan, predator, dan penyakit. Hewan ini dianggap Rentan (VU A2cd) ; IUCN Red Data Book (IUCN, 2008) dalam (Anwarhadi et al, 2018).
Gambar 8. Babirusa (Babyrousa babyrousa) di TNRAW
Babirusa (Babyrousa babyrousa) yang merupakan hewan endemik Sulawesi yang memiliki ciri gigi taring yang dapat tumbuh secara terus menerus hingga menembus bagian wajahnya (Ramdhani, 2008). Menurut Lekagul dan McNeely (1988) babi hutan diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Suidae
Genus : Sus
Spesies : S. scrofa L.
Habitat asli babirusa adalah pulau Sulawesi dan beberapa pulau disekitar Sulawesi bagian timur, termasuk pulau lembe, peleng, pagai, kepulauan togian sampai ke pulau biru dan sula kepulauan Maluku bagian tengah (Groves, 1980) dalam (Adnyane et al, 2010). Babi hutan jarang ditemukan pada ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan laut. Habitat yang disukai oleh babi hutan adalah hutan dataran rendah dengan vegetasi hutan sekunder yang luas dan terdapat campuran pohon-pohon dengan umur pertumbuhan yang berbeda dan tanah berumput dengan semak-semak belukar atau hutan dengan kerusakan tinggi (Payne et al, 2000).
Babi hutan mengeluarkan suara geraman saat melakukan aktivitas harian dan mencari pakan yang dapat didengar pada jarak tertentu. Ketika terjadi gangguan, babi hutan akan menuju ke semak-semak tanpa menimbulkan keributan. Babi hutan merupakan mangsa utama dari harimau dan macan dahan yang sering terlihat mengikuti jejaknya. Babi jantan yang memiliki ukuran tubuh yang besar cukup berani untuk menghadapi kucing- kucing besar tersebut (Lekagul dan McNeely, 1988).
2.2.2. Rusa Rusa (Carvus timorensis)
Rusa timor merupakan salah satu satwa liar yang berpotensi untuk dilestarikan dan dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomi yang baik. Dan merupakan satwa yang memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia, termasuk di Taman Margasatwa Tandurusa Aertembaga, Kota Bitung Sulawesi Utara. Sejak tahun 1931 melalui Undang-undang Perlindungan Satw aliar No. 134 dan No. 266 Tahun 1931 Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan rusa sebagai satwa di lindungi dari kegiatan perburuan, penangkapan dan pemilikan (Toelle et al, 2015 dalam Bunga et al, 2018).
Gambar 9. Rusa timur (Carvus timorensis) di TNRAW
Berbagai jenis satwaliar yang hidup di alam memiliki perbedaan karakteristik sesuai dengan potensi genetiknya masing-masing. Perbedaan tersebut akan menentukan pola hidup dan tipe habitat yang diinginkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Hasil studi pustaka menunjukkan, bahwa rusa liar memerlukan komponen penting sebagai habitatnya yang terdiri dari makanan, air dan ruang sebagai tempat berlindung, istirahat maupun kawin. Dengan demikian penjelasan tersebut menegaskan bahwa komponen habitat yang diperlukan berada pada suatu ekosistem hutan yang memiliki beberapa jenis vegetasi. Hasil studi lapangan di areal penelitian (kawasan TN Lore Lindu lembah Napu-Besoa) secara deskriptif kualitatif memperlihatkan, bahwa komponen habitat yang diperlukan oleh rusa liar cukup memadai. Hal tersebut diindikasikan dengan adanya beberapa bentuk vegetasi seperti vegetasi tingkat pohon, semak dan rumput-rumputan yang dapat menunjang kehidupan rusa liar dan berbagai aktivitas lainnya (Taralalu et al, 2006).
Rusa (Cervus unicolor) adalah jenis rusa besar yang umum habitatnya berada di wilayah Asia (Harianto dan Dewi, 2012). Penyebaran rusa sambar di Indonesia terdapat di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sebagai salah satu hewan terrestrial, sebarannya berada pada hutan dataran rendah hingga wilayah pegunungan (Harianto dan Dewi, 2012). Habitat hutan sekunder disukai oleh satwa ini untuk mencari makan, sedangkan habitat hutan primer dimanfaatkan oleh satwa ini sebagai ruang pergerakan atau perlindungan. Rusa sambar (Cervus unicolor) yang mempunyai habitat di Indonesia, India dan sejumlah negara di Asia Tenggara ini populasi di habitat aslinya semakin menipis. Rusa sambar (Cervus unicolor) diklasifikasikan dalam kingdom sebagai berikut menurut (Vivaborneo, 2010; Harianto dan Dewi, 2012) :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
Classis : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Sub Ordo : Ruminansia
Familia : Cervidae
Genus : Cervus
Species : Cervus unicolor
Aktivitas sosial pada rusa dapat di perlihatkan sepanjang hari yaitu dari pagi sampai dengan sore hari dan tertinggi pada pukul 16:00-18:00 WIT, ini terjadi diduga karna pada periode waktu tersebut rusa sudah mau beristrahat dan sehingga lebih banyak bermain. Tetapi pada periode waktu 06:00-08:00 WIT ini terjadi karna di pagi hari rusa lebih banyak merumput karna di pagi hari rumput belum mengalami evavorasi dan periode waktu 14:00-16:00 rendah karna periode ini sushu sangat panas sehingga rusa banyak berbaring di bawa naungan untuk melakukan memabiak aktifitas rusa (Madja et al, 2018).
Rataan lama waktu makan rusa sambar berkisar 310,16-316,79 menit per 24 jam. Lama waktu makan rusa sambar yang berada di konservasi exsitu. Kebun Binatang Surabaya ini lebih pendek dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa lama waktu makan (merumput) rusa sambar di Penangkaran rusa sambar, Taman Wisata Angsana Pematang Gajah, Jambi 319,45±29,35 menit per 12 jam, sedangkan di penangkaran Ranca Upas diperoleh lama makan 341,80±141,51 menit per 12 jam. Tingkah laku ruminasi adalah pengeluaran makanan dari rumen yang dimuntahkan ke mulut (regurgitasi) yang ditandai dengan adanya bolus yang bergerak kearah atas di kerongkongan dari rumen (Sita dan Aunurohim, 2013).
2.2.3. Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea sulphurea)
Burung kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea sulphurea) merupakan salah satu dari tiga anak jenis burung kakatua yang banyak dimanfaatkan masyarakat karena keindahan bulu dan kemampuannya menirukan suara atau menyebutkan kosa kasa yang diajarkan pemeliharanya. Sejak berkembangnya perdagangan komersial burung kakatua ini sekitar dekade 1970-an dan puncaknya pada akhir dekade 1980-an, maka penangkapan liar terus dilakukan dan akibatnya populasi burung kakatua ini di alam terutama di daerah-daerah penyebarannya seperti di Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara dan Pulau Timor mulai mengalami ancaman kepunahan (Andrew dan Holmes 1990 ; Birdlife Internasional 2001; Agista dan Rubiyanto 2001 dalam Setiana, 2018).
Cacatua sulphurea abbotti adalah subspesies dari Kakatua-kecil Jambul kuning (Cacatua sulphurea) sekarang hanya berada di pulau Masakambing, kepulauan Masalembu. Kondisi populasi dari Subspesies ini sangat mengkhawatirkan dan terancam kepunahan. Kakatua-kecil Jambul-kuning (Cacatua sulphurea abbotti) yang mendiami pulau Masakambing mendiami dua kelompok habitat berdasarkan lokasi, yaitu habitat yang berada di tepian pantai dan habitat yang berada di tengah pulau. Habitat pesisir terdiri dari ekosistem mangrove dan tambak yang sudah jarang dipakai oleh warga. Sedangkan ekosistem darat berupa ekosistem kebun dan pemukiman warga yang didominasi oleh kebun tanaman warga. Ekosistem yang berada di tengah pulau sendiri memiliki tingkat gangguan yang lebih besar karena berdekatan dengan aktivitas manusia (Akbar, 2016).
Ada beberapa aktivitas yang diketahui sebagai bagian dari aktivitas burungtermasuk burung kakatua ini seperti aktivitas melompat, aktivitas mandi, aktivitas kawin, dan aktivitas sosial, namun selama pengamatan tidak ditemukan adanya aktivitas-aktivitas tersebut. Hal ini diduga karena adanya perbedaan habitat ataupun jumlah kelompok sosial (individu) di dalam kandang penangkaran. Sebagaimana diketahui, bahwa secara umum kondisi suatu habitat dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku satwa sebagai bagian dari proses adaptasi satwa terhadap kondisi lingkungan barunya. Artinya setiap satwa selalu melakukan proses belajar (learning process) untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru sebagai bagian dari usaha mempertahankan hidupnya (Hafez 1969; Satriyono 2008; Gita et al, 2012).
Perilaku bercumbu (courtsip) berlangsung paling lama pada jam 15.00-16.00 selama 3.087 menit dan paling cepat pada jam 06.01-07.00 selama 0,427menit. Perilaku kawin (mating) berlangsung paling lama pada jam 05.00-06.00 selama 1,293 menit dan paling cepat pada jam 16.01-17.00 selama o,167 menit. Perawatan keturunan berlangsung paling lama pada jam 16.01-17.00 selama 9,115 menit dan paling cepat pada pukul 17.01-18.00 selama 2,55 menit. Perilaku mempertahankan teritorial paling lama pada jam 06.01-07.00 selama 3,367 menit dan paling cepat pada 16.01-17.00 selama 0,327 (Putra, 1998).
2.2.4. Anoa (Bubalus depressicorni)
Menurut Bismark dan Gunawan (1996) dalam Arini (2013) melaporkan bahwa anoa mempunyai habitat yang spesifik dengan komponen dan sebaran lokasi yang dapat menunjang kebutuhan pakan dan perilakunya dan pada lokasi yang terbuka seperti padang rumput, jarang dihuniMenurut Walker (1964) dalam Arini (2013) klasifikasi taksonomi anoa (Bubalus spp.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Genus : Bubalus
Spesies : Bubalus depressicornis, Smith dan, Bubalus quarlessi, Ouwens
Menurut Hooijer (1946) dalam Kasim (2002) dalam Arini (2013), anoa memiliki perilaku hidup secara soliter, namun tidak jarang juga dijumpai dalam kawanan tiga sampai lima ekor. Anoa umumnya hidup di hutan-hutan yang lebat, di dekat aliran air / sungai, danau, rawarawa, sumber air panas yang mengandung mineral dan di sepanjang pantai. Menurut Bismark dan Gunawan (1996) melaporkan bahwa anoa mempunyai habitat yang spesifik dengan komponen dan sebaran lokasi yang dapat menunjang kebutuhan pakan dan perilakunya dan pada lokasi yang terbuka seperti padang rumput, jarang dihuni
2.2.5. Maleo (Macrocephalon maleo)
Burung maleo (Macrocephalon maleo) adalah salah satu jenis satwa liar endemik Sulawesi yang langka. Burung ini termasuk spesies burrow nester, yaitu burung pembuat lubang atau liang dan tersebar hampir di semua daratan Sulawesi yang meliputi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara (Whitten et al., 1987 dalam Tanari, 2008).
Klasifikasi burung maleo menurut Widyastuti (1993) dalam Samana (2015) adalah sebagai berikut :
Ordo : Galliformes
Subordo : Galli
Family : Megapodidae
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Aves
Genus : Macrocephalon
Spesies : Macrocephalon maleo
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai habitat, burung maleo lebih banyak menggunakan vegetasi sebagai tempat perlindungan, tempat mengintai, bermain, mencari makan, istirahat dan berinteraksi sosial dengan burung maleo lainnya. Burung maleo datang ke lokasi peneluran lebih kepada untuk tujuan bertelur, bukan untuk mencari makan karena sama sekali tidak ditemukan burung maleo mencari makan. Selain itu juga tidak ditemukan adanya jenis makanan di lokasi bertelur saat dilakukan pengamatan. Jenis-jenis vegetasi yang ada di sekitar habitat bertelur digunakan untuk pergerakan burung maleo dengan cara berpindah dari pohon ke pohon yang mampu dicapainya. Hal ini dilakukan karena kemampuan terbang burung maleo yang kurang baik yang disebabkan ukuran rentangan sayap yang tidak sesuai dengan ukuran tubuh burung maleo yang cukup besar (Nafiu et al, 2015).
Hasil pengamatan menunjukkan aktifitas saat bertelur meliputi penggalian lubang peneluran, peletakkan telur, penim-bunan lubang, pembuatan lubang tipuan, sedangkan aktifitas sesudah bertelur meliput istirahat, mencari makan dan kembali kehutan. Rata-rata lama waktu peneluran memakan waktu 1-3 jam, mulai dari mencari tempat, menggali lubang secara bergantian, bermain, sampai bertelur. Kedalaman lubang peneluran rata-rata 41,8 ± 14,28 cm dan suhu lubang peneluran rata-rata 29-35 oC, suhu udara peneluran rata-rata 27 0 C – 34 oC. Burung maleo lebih banyak bertelur di sekitar menara I dibandingkan di menara II, karena di sekitar menara I masih terdapat pohon-pohon yang dapat dijadikan naungan sekaligus tempat berlindung dari predator dan lebih bersih untuk mempermudah penggaliannya, dibandingkan di menara II yang hanya ditumbuhi kano-kano (Saccharum spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrical), sehingga keamanannya tidak terjamin serta mempersulit penggalian lubang peneluran (Poli et al, 2016).
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa
Hutan Suaka margasatwa merupakan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat perlindungan satwa yang memiliki nilai khas yang dikategorikan ke dalam hutan konservasi bersama dengan cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman buru. Suatu kawasan hutan bisa ditetapkan sebagai suaka margasatwa, jika memiliki kriteria salah satu diantaranya adalah luas kawasan hutan tersebut harus mencukupi sebagai habitat hidup satwa yang bersangkutan.Berdasarkan data statistik (Kemenhut, 2014), Indonesia memiliki 71 unit suaka margasatwa darat dengan total luas 5.024.138,29 ha yang tersebar di seluruh Indonesia, dan 5 unit diantaranya terdapat di Sulawesi Tenggara.
Hutan suaka margasatwa Tanjung Peropa merupakan salah satu hutan konservasi di Provinsi Sulawesi Tenggara yang ditetapkan sebagai tempat perlindungan satwa khas, dan merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropika dengan tipe vegetasi hutan non Dipterocarpaceae, hutan belukar, hutan pantai dan hutan bakau yang terdiri dari jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. Potensi cadangan C pada hutan suaka margasatwa sangat penting diketahui, sehingga pengukuran potensi C di atas permukaan tanah pada suaka margasatwa Tanjung Peropa dilakukan terhadap tingkat vegetasi pohon dan tiang melalui metode non desturuktif, dan tumbuhan bawah dilakukan dengan metode destruktif. Selain itu, pengukuran nekromassa dan serasah dilakukan secara langsung. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan sampel pengamatan melalui plot-plot pengamatan berukuran 20 m x 20 m untuk tingkat vegetasi pohon dan nekromassa, 10 m x 10 m untuk tiang, dan 1 m x 1 m untuk tumbuhan bawah dan serasah. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa potensi cadangan C di atas permukaan tanah pada hutan suaka margasatwa Tanjung Peropa adalah rata-rata sebesar 327.64 t ha-1 yang terdiri dari : tingkat pohon sebesar rata-rata 322.99 t ha-1, tumbuhan bawah 0.93 t ha-1, nekromassa 0.22 t ha-1, dan serasah 3.5 t ha-1. Hasil pengukuran potensi cadangan C di atas permukaan tanah pada hutan suaka margasatwa Tanjung Peropa tersebut tergolong cukup tinggi, maka dengan mempertahankan kelestarian hutan suaka margasatwa yang tersebar di seluruh Indonesia dapat berperan sebagai penyerap C yang paling efisien dan memberikan kontribusi bagi pasokan udara bersih dan mengurangi dampak pemanasan global (Marwah, 2016).
Suaka margasatwa Tanjung Peropa memiliki permandian yang sangat unik dan menarik. Banyak waisatawan yang datang berkunjung hanya untuk menikmati jasa lingkungannya seperti pemandangannya yang masih alami, airnya yang dingin dan beberapa fasilitasnya yang mendukung. Kondisinya cukup aman karena ada pihak pemerintah yang menjaga dan petugas keamanan. Setiap yang datang berkunjung merasa sangat puas bahkan ada yang ingin datang berkali-kali. Ekowisata air terjun moramo ini dapat dinikmati dari segi nilai estetiknya yang masih sangat alami, inilah daya tarik yang dimilikinya dan dapat diandalkan untuk terus dikembangkan.
Gambar 10. Air Terjun Moramo
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diberikan dalam makalah ini yaitu kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai kawasan pelestarian yang dapat menjamin eksistensi sumberdaya alam tersebut. Kawasan konservasi sepaerti potensi objek Wisata Taman Nasional Wakatobi, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa di Sulawesi Tenggara memiliki potensi objek Wisata yang sangat menarik dan.
Saran
Saran yang dapat diberikan dalam makalah ini yaitu perlu adanya praktik langsung agar materi ini dapat dipahami lagi lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Asit, A. R., 2004. Strategi Pengembangan Kegiatan Pariwisata di Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara. Diakses dari http://www.undip.ac.id pada Tanggal 26 Oktober 2012.
Anwarhadi, I. N, E. Labiro, dan I. N. Korja. 2018. Komposisi Vegetasi Habitat Babirusa (Babyrousa Babyrussa) Di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Tadulako Kecamatan Bolano Lambunu Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal Warta Rimba. 6 (4) :8-17.
Arini, D. I. D. 2013. Anoa Dan Habitatnya di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
Bunga, R. Martha M. H. Kawatu, R. S.H. Wungow, Joice J. I. Rompas. 2018. Aktivitas Harian Rusa Timor (Cervus Timorensis) Di Taman Marga Satwa Tandurusa Aertembaga, Bitung-Sulawesi Utara. Zootec. 38(2) : 345-356.
Gitta, A., B. Masy’ud dan E. Suzanna. 2012. Aktivitas Harian Dan Perilaku Makan Burung Kakatua-Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea sulphurea Gmelin, 1788) Di Penangkaran. Media Konservasi. 17(1): 23 – 26.
Jerianto Tawala Madja1, Johan F. Koibur2, Freddy Pattiselanno. 2018. Tingkah Laku Sosial Rusa Timor (Cervus Timorensis) Di Penangkaran Bumi Marina, Manokwari. Jurnal Ilmu Peternakan Dan Veteriner Tropis. 8(2) :51 – 55.
Kurniawan, M. 2013. Seleksi Habitat oleh Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (cacatua sulphurea parvula) di Pulau Komodo taman asional Komodo.
Marwah, S. 2016. Potensi Cadangan Karbon Pada Hutan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa Dalam Implementasi Indc Dan Inisiatif Mitigasi Lokal. Ecogreen, Vol. 2 (2) : 115 – 122
Mukhlisi. 2018. Domestikasi Satwa Liar : antara Peluang dan Tantangan untuk Ketahanan Pangan. Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.
Novriyanti, B.Masy’ud dan M. Bismark. 2014. Pola Dan Nilai Lokal Etnis Dalam Pemanfaatan Satwa Pada Orang Rimba Bukit Duabelas Provinsi Jambi. Jurnal Penelitia Hutan dan Konservasi Alam. 11(3) :299-303.
Bogani Nani Wartabone Kecamatan Dumoga Timur Kabupaten Bolaang Mongondow. Jurnal Zootek (“Zootek” Journal ). 36(2) : 289 – 301.
Putra, E. 2000. Ekologi Perilaku Berkembang Biak Kakatua-Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea abbotti) di Pulau Masakambing. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.
Setiana, T., B. Masy’ud Dan J. B. Hernowo. 2018. Faktor Penentu Keberhasilan Teknis Penangkaran Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea Sulphurea). Media Konservasi. 23(2) : 132-139.
Taralalu, J.M., C. Boer dan Iman Kuncoro. 2006. Kajian Tentang Habitat Dan Populasi Rusa (Cervus Timorensis) Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Kehutanan Unmul 2 (2).
Vina Sita Dan Aunurohim. 2013. Tingkah Laku Makan Rusa Sambar Cervus Unicolor) Dalam Konservasi Ex-Situ Di Kebun Binatang Surabaya. Jurnal Sains Dan Seni Pomits. 2(1).
Comments
Post a Comment